Ketika penulis menjadi narasumber dalam acara workshop yang diadakan di Grand Ballroom Hotel Horison Bekasi yang bertemakan Sosialisasi Hak dan Kewajiban Perpajakan Notaris dan PPAT, penyelenggara mengundang bapak Azis Syamsudin Ketua Komisi III DPR RI (lihat tulisan Pengampunan Pajak Tahun 2015). Ada tanda tanya besar ketika beliau (bapak Azis Syamsudin) men-sounding bahwa dalam perubahan UU KUP akan dimasukkan tentang Pengampunan Pajak karena kebetulan pula saat itu penulis akan membicarakan materi terkait tahun pembinaan pajak 2015. Seiring berjalannya waktu istilah Pengampunan Pajak pun berubah menjadi Pengampunan Nasional sebagai mana kita dengar dalam berbagai media sekarang ini.
Ada pemikiran muncul, seandainya dasar motivasi memberikan pengampunan nasional akan memberikan kontribusi penerimaan pajak sekitar Rp. 210 s.d Rp. 350 triliun dari repatriasi dengan kompensasi tebusan (3 – 8%) atas perkiraan sekitar Rp. 3.000 triliun sampai dengan Rp. 4.000 triliun uang warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri dan sekitar Rp. 2.000 triliun s.d Rp. 3.000 triliun uang warga negara Indonesia yang disimpan di kediaman (saya istilahkan sebagai “uang nganggur di peti” warga negara Indonesia). Maka pemerintah sudah mengetahui kepemilikan dana tersebut, dalam hal ini adalah pemerintah bukan Direktorat Jenderal Pajak.
Itulah yang mendasari pemikiran penulis ketika memberikan judul dalam tulisan “Quo Vadis, Tahun Pembinaan Wajib Pajak” tidak adanya semangat menyeluruh dari pemerintah atas ide internal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam tahun 2015 ini. Bagaimana respon Wajib Pajak menggunakan fasilitas ini jika ternyata ada wacana pengampunan nasional yang lebih tepat untuk di tunggu.
Sebagai pegawai rendahan yang juga perduli, sering penulis mengungkapkan dalam ruang kelas bahwa fungsi pajak salah satunya adalah fungsi politik dan itu tampaknya yang utama dalam setiap adanya perubahan ketentuan perpajakan. Demikian juga dengan Pengampunan Nasional ini. Bahwa tidak dapat dipungkiri ide munculnya Pengampunan Nasional lebih banyak bersumber dari partai politik. Pernahkah terfikir oleh mereka bahwa pengampunan ini hanya menyuburkan praktek impunitas terhadap para penyeleweng pajak, membuat mereka ketagihan untuk meminta pengampunan (setiap pemilu di Meksiko), dan menjadi ladang korupsi berupa negoisasi dalam menentukan mana yang bisa diampuni dan mana yang tidak.
Berbicara tentang pengampunan pajak, penulis seringkali mengutip bahkan menulis sebagaimana yang pernah ditulis dalam blog ini yaitu :
- Pengampunan Pajak (Erwin Silitonga), dalam tulisan ini Bapak Erwin Silitonga mencoba memperkenalkan model pengampunan pajak yang sekiranya cocok untuk kondisi Indonesia, tanpa menimbulkan efek “moral hazard“ yaitu pengampunan pajak hanya diberikan terhadap sanksi bunga, denda, atau kenaikan pajaknya saja.
- Pengampunan Pajak? (Ogut), dalam tulisan ini Ogut mencoba memandang dari segi keadilan dan profesional petugas pajak itu sendiri dan pengaruhnya dengan tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
- Pengampunan Pajak Tahun 2015 (ogut), dalam tulisan ini Ogut mencoba menggugah pembaca bahwa yang murni ide pengampunan pajak yang dikeluarkan berdasarkan ide dari putra terbaik bangsa yang bertugas di Direktorat Jenderal Pajak adalah dengan diterbitkannya Peraturan menteri keuangan nomor 29/PMK.03/2015 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 91/PMK.03/2015.
Ada yang menarik dari Koordinator Transparansi Internasional Indonesia mengatakan bahwa mekanisme pengampunan nasional tidak akan efektif diterapkan di Indonesia. Dan menurut beliau pengampunan nasional akan efektif jika sejumlah prasyarat terpenuhi (Indonesia belum memenuhi), prasarat tersebut antara lain :
- terdapat sistem penegakan hukum yang transparan dan akuntabel;
- terdapat transparansi pengelolaan perpajakan;
- terdapat identifikasi tentang pembayar pajak yang bermasalah.
Pada umumnya pengampunan nasional diberlakukan pada saat sistem penegakan hukum negara dalam keadaan baik dan kuat sehingga ada dorongan yang sangat kuat bagi para pelaku (Wajib Pajak yang menyeleweng) untuk mengakui kesalahan dan meminta pengampunan karena soon or later penyelewengan akan terbongkar.
Apapun yang menjadi pemikiran dari para intelektual elit di pemerintah, sebagai “Ujung Tombak” penulis siap melaksanakan karena sejujurnya penulis masih mengharapkan gaji dari pekerjaan ini. Jika Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional ini jadi diberlakukan maka penulis menyarankan kepada :
- Bagi pelaku korupsi, silahkan laporkan kekayaan Saudara baik yang di Dalam Negeri maupun di Luar Negeri dan bayar tebusan serta lunasi tunggakan pajak;
- Bagi pelaku pembalak liar, silahkan laporkan kekayaan Saudara baik yang di Dalam Negeri maupun di Luar Negeri dan bayar tebusan serta lunasi tunggakan pajak;
- Bagi pelaku pencucian uang, silahkan laporkan kekayaan Saudara baik yang di Dalam Negeri maupun di Luar Negeri dan bayar tebusan serta lunasi tunggakan pajak;
- Dan bagi pelaku lainnya selain kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana terorisme, Narkoba, dan perdagangan manusia, silahkan laporkan kekayaan Saudara baik yang di Dalam Negeri maupun di Luar Negeri dan bayar tebusan serta lunasi tunggakan pajak;
…
sumber yang beres akan berujung kepada hal yang beres demikian pula sebaliknya (Mr. Moonlight)