Musim sekolah baru saja dimulai, antusias anak-anak untuk kembali sekolah begitu menggairahkan hal ini tentu salah duanya adalah karena mereka baru saja menjalani liburan panjang. Dan salah satunya adalah karena mereka akan bertemu dengan teman-teman yang baru dan tentu saja dengan kelas yang baru pula. Bahkan beberapa status dalam sosial media seperti BlackberryFacebookTwitter dan lain-lain mereka menuliskan update status “kangen sekolah,”  Rindu teman-teman,” “Pengen cepat-cepat sekolah” dan lain-lain.

Akan lain bagi anak-anak yang lulus sekolah dasar, atau yang lulus sekolah menengah pertama. Ada begitu banyak euforia dan kegalauan indah luar biasa yang ada dalam benak mereka. Beberapa di antaranya karena hal-hal seperti teman-teman yang baru, sekolah yang baru, guru yang baru dan lain-lain.

Namun tidak begitu yang dialami oleh Raneta, dia begitu sedih dan terpukul dengan realitas yang dialaminya. Dia adalah salah seorang siswa yang cerdas di sebuah sekolah dasar swasta yang cukup baik di kotanya. Nilai ujian yang diperolehnya pun tidaklah buruk yaitu 26 atau rata-rata setiap mata pelajarannya adalah 8,7. Pada dasarnya dia menginginkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) terbaik di kotanya namun rata-rata nilai tidak mencukupi di sekolah tersebut, hingga akhirnya dia dipaksa untuk sekolah disekolah negeri yang sama sekali tidak disukainya sesuai dengan batasan nilainya.

Nilai-Nilai Yang Spektakuler

Saat Raneta kelas IV salah seorang kakak kelasnya kita sebut saja namanya Jongara tinggal kelas (mengulang), karena malu maka orang tua Jongara memindahkan sekolahnya di sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) tentu dengan status mengulang. Kini Raneta dan Jongara yang juga bertetangga sama-sama bersaing untuk dapat diterima disekolah negeri yang menjadi dambaan mereka, sungguh sangat malang bagi Raneta, sementara Jongara dapat diterima di sekolah negeri  tersebut karena syarat nilainya ujiannya mencukupi  dan tidak bagi Raneta.

Nilai Ujian Jongara adalah 28.6 atau rata-rata 9,5 untuk setiap mata pelajarannya sangat jauh dengan yang dihasilkan oleh Raneta. Saya pribadi terlalu yakin tentang perasaan Raneta, bahwa dia tidak mempermasalahkan nilai Jongara asalkan juga dia dapat diterima disekolah tersebut. Dan saya juga tidak terlalu yakin bahwa Sekolah Dasar Negeri tempat si Jongara sekolah lebih baik dibandingkan sekolah swasta tempat Raneta bersekolah.

Sebagai orang tua dan pengamat dadakan tentang perilaku dunia pendidikan, tentu terkaget-kaget bahkan terperangah dengan nilai yang diperoleh anak-anak Sekolah Dasar Negeri dibandingkan beberapa sekolah-sekolah swasta (tertentu) yang dikenal cukup baik. Sekolah Negeri nilainya tinggi-tinggi  dapat dilihat, tak lain adalah karena sistem penerimaan sekolah sekarang ini adalah bersifat On-line yang dikenal dengan Penerimaan Peserta Didik Baru on-line (PPDB On-line), sehinggga masing-masing dapat melihat nilai dari siswa dan sekolah-sekolah yang ada. Seperti kita dengar bahwa motivasi pemerintah melakukan penerimaan siswa baru secara on-line adalah untuk memberikan kesempatan secara adil, merata dan transparan bagi siswa untuk dapat belajar disebuah sekolah.

Walaupun dilakukan secara transparan, namun tetap mengundang tanda tanya adalah tentang adanya sekolah dasar negeri yang sama  memperoleh nilai yang sama dan kompak, dapat dilihat pada gambar disamping nilai mereka 28.6 atau rata-rata 9.5. Sedemikian baiknya kecerdasan anak-anak kita?

Tentu kita bangga jika kenyataan  memang siswa-siswa didik ini memiliki kemampuan ingatan, kecerdasan dan intelektual yang baik terkait dengan pelajaran-pelajaran yang sudah mereka pelajari dan baik saat dilakukan pengujian, itu adalah keberhasilan tenaga pendidik, namun pernahkah terfikir jika nilai tersebut hasil dari suatu rekayasa yang  dilakukan secara instan, terstruktur dan sistematis?

Beberapa Pengakuan

Dalam suatu kesempatan, kepala sekolah dimana Raneta bersekolah “curcol” tentang fenomena kenapa anak-anak didik Sekolah Dasar Negeri memiliki nilai ujian yang cukup spektakuler dan kompak tidak lain adalah akibat rekayasa, kok bisa?! Ya karena, saat dipanggil dinas tertentu beliau diminta untuk menebalkan jawaban anak didiknya yang menurut dinas tertentu tersebut kurang tebal sambil mempersilahkan untuk memperbaiki nilainya. Tentu saja hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh sang Kepala Sekolah  karena hal itu merupakan hal yang merusak dan sungguh sangat tidak beres terlebih ditingkat pendidikan dasar.

Pernah suatu waktu dalam pertemuan, seorang teman yang adalah salah seorang guru mempertanyakan nilai Raneta dan mengultimatum bahwa nilai Raneta itu adalah nilai murni karena sekolah Raneta adalah salah satu sekolah yang tidak mau merekayasa nilai  dikarenakan sekolah tempat Raneta adalah sekolah memiliki sekolah lanjutan SMP dan SMK, begitu kilahnya.

Ketika orang tua Raneta ikut antri untuk memasukan berkas kesekolah favorit yang akan dituju dengan Jalur Akademis, banyak peristiwa janggal dan kasat mata seperti persengkongkolan, namun dibuang jauh-jauh karena sistem sekarang ini kan memang On-line dan tidak mungkin direkayasa, demikian ekspektasinya.

Syarat Syahadah DTA atau Ijazah Keagamaan Lainnya

Hal yang  membuat kaget orang tua bahkan siswa didik pencari sekolah adalah dengan adanya nilai tambahan sebagai syarat untuk masuk sekolah negeri adalah DTA (Imtaq Islam), kebanyakan sekolah dasar negeri memiliki sertifikat DTA. Dengan polosnya seorang anak yang bernama Raneta bertanya pada papanya tentang tambahan nilai “DTA” karena hampir semua calon siswa (terkhusus SDN Negeri) memiliki nilai tersebut kecuali Raneta dan teman sekolahnya. Maka orang tuanya langsung menelepon kepala sekolah yang jawabannya pun tidak memuaskan. Nilai Raneta pun langsung menukik tajam paling bawah karena DTA itu menambah nilai sebesar 2.40. Raneta tidak sendiri banyak teman-temannya tersingkir karena persyaratan tersebut. Hingga seleksi Luar Kabupaten, Jalur KTM, Jalur Non KTM dan Non Prestasi,  dan Jalur Prestasi berakhir Orang tua Raneta  tersingkir dan masih tidak paham tentang  DTA tersebut.

Hal yang sama saat Jalur Akademis dibuka, nilai Raneta pun jauh dari memenuhi syarat untuk diterima di beberapa sekolah favorit, sehingga akhirnya dengan dipaksa orang tua akhirnya Raneta memilih SMP Negeri yang tidak disukainya. Raneta yang sudah bersungguh-sungguh belajar dengan tidak pernah keluar dari peringkat 3 (tiga) besar disekolahnya dengan Nilai Ujian Murni yang tidak buruk yaitu rata-rata 8,7 harus menerima kenyataan pahit.

Sebuah Telepon Dan Istilah “Lewat Jendela”

Memang orang tua Raneta pernah mendapatkan telepon dari seseorang yang memiliki “akses” untuk dapat diterima disekolah tersebut, hal itu  ketika dipastikan dia tidak mungkin diterima disekolah yang dituju. Orang tersebut bisa menjamin Raneta dapat diterima disekolah favorit yang diinginkan dengan alasan memanfaatkan jatah kursi kosong yang memang dipersiapkan oleh sekolah. Sempat membuka harapan kembali buat Raneta tetapi tidak berlangsung lama, karena  jumlah nilai uang untuk mendapatkan kursi kosong tersebut cukup besar bagi orang tua Raneta yang adalah seorang buruh pabrik yang tidak miskin dan juga tidak kaya.

Adalah Pranata yang mengambil kesempatan itu, Pranata adalah teman sekelas Raneta yang nilai lebih tinggi dari Raneta yang nasibnya sama persis. Namun sampai hari ini Pranata bersembunyi di rumah karena dia tidak mengikuti MOS atau Masa Orientasi Peserta Didik Baru, Kenapa!? Karena bagi siswa didik yang mengurus lewat “jalur jendela” tidak mengikuti MOS tersebut namun langsung masuk pada saat sekolah dimulai nantinya, begitu penjelasan dari pemilik “akses” tersebut. Itulah kenapa Pranata bersembunyi di rumah, karena dia tidak tahan setiap pertanyaan orang-orang yang akan dihadapinya jika dia bermain keluar rumah.

Raneta dan Pranata di usia yang masih belia sudah melihat dan menyaksikan kekacauan moralitas yang ada, sungguh sangat ironis di mana orang-orang intelektual selalu berkoar-koar tentang integritas dan kejujuran, namun … ini nyata.

Beberapa Sudut Pandang

Seorang teman yang konon katanya bijaksana  mengatakan, sudahlah, “kenapa anak-anak itu dipaksa masuk SMP Negeri, kalau semua mau masuk sekolah negeri lalu siapa yang masuk SMP Swasta?” Dalam hati ini berguman, sedemikiankah tingkat bijaksana seseorang di jaman milenium ini.

Apa yang dilakukan Pranata tidaklah salah, nilai murni setinggi itu seharusnya berhak mendapatkan lebih yaitu sekolah favorit sebagaimana yang diharapkannya. Kalaupun dia  harus “lewat jendela” dia tidak dapat dituntut, justru yang menuntutlah seharusnya yang dituntut karena tidak melakukan hal  yang beres  seharusnya, yaitu memberikan supervisi  dengan baik.

Peristiwa yang dialami Jongara adalah suatu permasalahan yang sangat serius, karena ini menyangkut generasi masa depan. Pernah ada keinginan untuk sekedar mengobrol dengan orang tuanya tentang fenomena nilai spektakuler yang diperoleh anaknya hanya sekedar mengukur tingkat kesadaran dan kejujuran diri setiap individu.

Saya sependapat dengan tindakan seorang kepala sekolah (swasta) tersebut untuk tidak mau menaikan nilai siswa didiknya namun tidak dengan alasan karena mereka memiliki sekolah lanjutan setingkat SMP maupun SMK (setara SMA) sebagaimana penjelasan salah seorang guru di awal tulisan.

Tentang tambahan Nilai  atas kepemilikan DTA/ Ijazah Keagamaan Lainnya seharusnya disosialisasikan dengan baik kepada setiap sekolah-sekolah. Sehingga siswa-siswa didik dapat mengantisipasinya, dan menurut pendapat saya ini adalah sesuatu yang memalukan. Bagaimana mungkin dinas maupun sekolah lepas tangan dengan alasan juga tidak mengetahui kegunaan dan persyaratan tersebut.

Penutup

Adapun motivasi menuliskan hal tersebut di atas tidak lain adalah agar kita yang memiliki kekuasaan, kekuatan untuk lebih peka dan berusaha mengantisipasi kekurangan-kekurangan yang ada, dan sekali lagi tidak diskriminatif terlebih di dunia pendidikan. Karena apabila ada pembiaran maka secara tidak langsung kita menciptakan generasi-generasi yang kerdil yang akan membuat bangsa Indonesia ini semakin tertinggal.

Tuhan Memberkati Kita

Artikel Terkait :