Pajak Penghasilan Suami – Istri (Keluarga)

Dalam Pasal 8 ayat (1) UU PPh dijelaskan Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap  sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:

  1. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu   pemberi kerja, dan
  2. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.

Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.

Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang   belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.

Pembukuan/Pencatatan

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.

Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pencatatan

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.

Pencatatan bagi WP OP yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas meliputi :

  • peredaran dan/atau penerimaan bruto yang diterima dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final;
  • penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final, termasuk   biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut dan/atau,
  • penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar  kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas
  • Pencatatan harta dan kewajiban

Pencatatan bagi WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas meliputi :

  • penghasilan bruto yang diterima yang merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut dan atau;
  • penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
  • Pencatatan Harta dan Kewajiban

Pekerjaan Bebas

Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, sehingga dalam hal ini status orang pribadi tersebut adalah bukan seorang karyawan dalam suatu perusahaan. Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas harus menghitung sendiri pajaknya. Namun apabila orang pribadi disamping sebagai karyawan juga memiliki pekerjaan bebas maka harus menggabungkan kedua penghasilannya tersebut.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.

Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Wajib Pajak tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah. Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas.

Rumus Penghasilan Neto :       % Norma  X Peredaran Bruto

Sampai saat ini aturan tentang norma penghitungan penghitungan penghasilan neto bagi wajib pajak yang dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma yaitu  KEP-536/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 belum mengalami perubahan namun terkait dengan batasan WP OP yang menjalankan usaha atau pekerjaan dengan peredaran  bruto yang sebelumnya sebesar Rp. 600.000.000,- harus disesuaikan dengan Pasal 14 UU PPh No. 36 Tahun 2008 yaitu  menjadi Rp. 4.800.000.000,-.

Adapun pengelompokan wilayah % Norma dibagi menjadi :

  • 10 (Sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Pontianak.
  • Ibukota propinsi lainnya
  • Daerah lainnya.

Penghasilan Neto

Penghitungan penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dapat dibedakan menjad :

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai Pegawai, dimana dalam menghitung penghasilan Neto terlebih dahulu dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai bukan pegawai (WP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, dimana dalam menghitung penghasilan neto dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu :
    1. Yang melakukan Pencatatan (Pasal 14 UU PPh), Penghasilan neto dikurangkan dengan PTKP.
    2. Yang melakukan pembukuan (Pasal 16 UU PPh), Laba neto fiskal  dikurangkan dengan kompensasi kerugian dan PTKP.

Penerapan PTKP ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak, anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

Contoh :

Bapak Merdin  memulai usaha berdagang barang-barang keperluan rumah tangga pada tanggal 5 Januari 2013. Pak Merdin memiliki istri yang bertugas membantu usaha Pak Merdin. Selain itu Pak Merdin juga memiliki 3 orang anak dan satu adik yang ditanggung oleh Pak Merdin. Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) untuk Usaha Pak Merdin ditetapkan Pemerintah sebesar 20%. Angsuran bulanan selama tahun 2013 yang telah dibayar Bapak Merdin sebesar Rp 75.000.000,-. Selama tahun 2013 Peredaran Usaha Pak Merdin sebesar Rp. 2.900.000.000,-. Maka Penghitungan PPh Terutang pasal 29 adalah sebagai berikut :

Peredaran Usaha                          Rp. 2.900.000.000,-
NPPN                                                                         20%
Penghasilan Neto                          Rp.     580.000.000,-
PTKP                                                Rp.       32.400.000,-
Penghasilan Kena Pajak             Rp.    547.600.000,-
PPh Terutang                                Rp.    109.280.000,-
Angsuran PPh 25                         Rp.       75.000.000,-
PPh Pasal 29                                 Rp.      34.280.000,-

Banyak  yang mempertanyakan  apakah dengan dikeluarnya PP Nomor 46 Tahun 2013, maka Norma Pengitungan Penghasilan Neto tidak berlaku lagi? Apabila jenis usaha seperti Pak Merdin di atas maka harus mengikuti PP 46 tahun 2013, kecuali Pak Merdin adalah yang melakukan pekerjaan bebas  (bukan wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha).

Angsuran PPh Pasal 25

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.

Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.

Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib   Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:

  • Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23  serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
  • Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,

dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Di dalam KEP-537/PJ/2000 tentang penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu. Dijelaskan bahwa dalam hal-hal tertentu diantaranya :

  • WP berhak atas kompensasi kerugian,
  • Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur,
  • SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan,
  • SPT Tahunan dilakukan pembetulan,
  • WP diterbitkan SKP, dll

Maka, Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 dihitung lebih lanjut dengan memperhatikan kondisi tersebut.

Penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.

Dasar penghitungan Pajak Penghasilan adalah jumlah penghasilan neto menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.

Dasar penghitungan Pajak Penghasilan adalah jumlah penghasilan neto (teratur) menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian (sisa kerugian yg masih menjadi hak WP).

Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya menyatakan rugi (lebih bayar atau nihil), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah nihil.

Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan Wajib Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara.

Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 menurut penghitungan SPT lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah dibayar, atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 terutang bunga, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.

Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25  mnrt SPT lebih kecil dari  Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah dibayar, atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Dalam hal Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 terutang bunga untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.

Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan lebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.

Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25

Apabila sesudah 3 (tiga) bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut, harus disertai dengan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak   dapat melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila dalam tahun pajak berjalan Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% (seratus lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan PajakPenghasilan yang terutang tersebut oleh Wajib Pajak sendiri atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak   tempat Wajib Pajak terdaftar.

WP OP Pengusaha Tertentu

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha. Pedagang Pengecer adalah orang pribadi  dalam suatu tempat usaha yang melakukan:

  1. penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
  2. penyerahan jasa,

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan   dari masing-masing tempat usaha.

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak bagi setiap tempat usaha di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha tersebut dan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak.

Artikel Terkait :