Salah satu kasus sengketa pajak yang penulis tangani adalah tentang Biaya Bunga, dimana biaya bunga yang dibebankan dalam laporan laba rugi dilakukan koreksi oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa. Mungkin pembaca bertanya ada hal apa dikoreksi? bukankah pasal 6 ayat 1 UU PPh mengatakan bahwa Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain : bunga, bunga yang dibayarkan oleh Wajib Pajak baik kepada lembaga perbankan atau yang lainnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa biaya bunga pinjaman sepanjang digunakan dalam kegiatan operasional dapat seluruhnya dibebankan. Adapun alasan dikoreksi seperti disebutkan di atas adalah dikarenakan  atas biaya bunga pinjaman yang ditempatkan dalam deposito. Artinya perusahaan selain membayar bunga pinjaman juga memperoleh penghasilan bunga yang berasal dari tabungan/deposito, maka tidak seluruh biaya bunga atas pinjaman tersebut dapat dibiayakan dalam laba/rugi fiskal.

Pemikiran sederhana penulis pada mulanya adalah, buat apa sih pengusaha meminjam uang di Bank yang akhirnya harus membayar bunga (Biaya Bunga) sementara perusahaan sangat liquid artinya memiliki dana berlimpah dan nganggur yang dimanfaatkan salah duanya melalui deposito. Namun pemikiran ini dibantah habis oleh kuasa wajib pajak dengan dalil-dalil bisnis luar biasa… tapi sudahlah… mari kita bahas tentang biaya bunga ini dengan judul yang penulis pilih “Sekilas Tentang Pembebanan Biaya Bunga” semoga memberi informasi yang bermanfaat 🙂 ..

Biaya Bunga

Biaya bunga dibedakan atas 2 (dua) hal yaitu Biaya bunga yang sudah dikenakan PPh Final dan biaya bunga yang belum dikenakan PPh final, dengan penjelasan sebagai berikut :

  1. Biaya bunga yang sudah dikenakan PPh Final. Pembayaran bunga yang dilakukan oleh perbankan, baik dari bunga tabungan, deposito, SBI maupun obligasi, akan dikenakan PPh Final sebesar 20%. Sedangkan pembayaran bunga simpanan dari anggota koperasi dikenakan PPh Final sebesar 15%. Besarnya pembayaran bunga beserta pajaknya, baik yang final maupun tidak, merupakan biaya untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang membayarkannya.
  2. Biaya Bunga yang belum dikenakan PPh Final. Pembayaran bunga yang dilakukan oleh  bukan perbankan, seperti pinjaman antar perusahaan akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%, Besarnya pembayaran bunga serta pajaknya, baik berupa final maupun tidak, merupakan biaya untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang membayarkannya.

Perlakuan Biaya Bunga

Perlakuan biaya bunga pada berbagai kegiatan dapat dibedakan oleh beberapa hal yang diuraikan, sebagai berikut :

  • Bunga yang atas pinjamannya diperuntukkan membeli saham. Bunga pinjaman yang atas pinjamannya tersebut dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat diperlakukan sebagai biaya, sepanjang dividen yang diterima bukan merupakan obyek pajak, dan biaya bunga tersebut dapat dikapitalisasikan pada harga perolehan saham. Contohnya, PT. Nusagames meminjam uang dari Bank Mandiri sebesar Rp.25.000.000 dengan bunga 20% per tahun. Seluruh pinjaman tersebut dibelikan saham PT. Nusahati. Bunga bank sebesar Rp.25.000.000 X 20% = Rp.5.000.000 tidak dapat diperlakukan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak, tetapi dikapitalisasi pada nilai saham, sehingga nilai saham menjadi Rp.25.000.000 + Rp.5.000.00 = Rp.30.000.000,-
  • Selisih bunga yang dibayarkan ke pemilik saham. Selisih antara bunga yang dibayar kepada pemegang saham dan bunga yang wajar tidak diperkenankan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak. Contohnya PT. Nusagames membayar bunga bank sebesar Rp.10.000.000 kepada Mario Theodoric sebagai salah satu pemegang saham yang memberikan pinjaman ke perusahaan. Bunga atas`pinjaman tersebut dihitung 50% per tahun, sementara tingkat bunga yang wajar adalah 20%. Besarnya bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar Rp.4.000.000 sedangkan selisih sebesar Rp.6.000.000 harus dilakukan koreksi fiskal positif.
  • Bunga yang dibayarkan pada tahapan konstruksi. Tentang hal ini diatur dalam SE Dirjen No. SE – 22/PJ.42/1999 tanggal 27 Mei 1999 tentang perlakuan biaya bunga selama masa konstruksi yang dpata diuraikan sebagai berikut : 1). Dalam hal pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, biaya bunga yang timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir kedalam harga perolehan pabrik/bangunan lainnya tersebut, yang pembebanannya melalui biaya penyusutan. 2). Dalam hal pinjaman dipergunakan untuk pembelian tanah, biaya bunganya harus dikapitalisir kedalam harga perolehan tanah, namun tidak dapat dibebankan sebagai biaya penyusutan.
  • Bunga yang terjadi selain mempunyai pinjaman juga mempunyai tabungan/deposito

Terkait poin terakhir yaitu Bunga yang terjadi selain mempunyai pinjaman juga mempunyai tabungan/deposito dibahas lebih intens karena terkait kasus sebagaimana diuraikan di awal tulisan.

Perlakuan biaya bunga apabila Wajib pajak selain mempunyai hutang juga mempunyai deposito diatur sesuai SE-46/PJ.04/1995 tanggal 5 Oktober 1995 sebagai berikut :

  1. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besar atau lebih kecil  dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito/tabungan, maka seluruh biaya bunga tidak dapat dibebankan sebagai biaya
  2. Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito/tabungan, maka biaya bunga yang dapat dikurangkan adalah biaya bunga rata-rata pinjaman yang melebihi jumlah rata-rata deposito

Contoh 1 :

PT. Nusaproperty meminjam uang dari Bank Permata sebesar Rp. 3.000.000.000,- dengan bunga 20% per tahun. Namun PT. Nusaproperty juga memiliki tabungan (deposito) sebesar Rp. 2.000.000.000,- dengan bunga 15% per tahun. Seluruh pinjaman tersebut dibelikan saham PT. Nusahati . Maka Bunga bank permata sebesar Rp. 3.000.000.000,-  x  20% = Rp. 600.000.000,- tidak dapat diperlakukan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, tetapi dikapitalisasi pada nilai saham, sehingga nilai sahamnya menjadi Rp. 3.600.000.000,-

Contoh 2 :

Pada tahun 1995 PT. Nusatambang mendapat pinjaman dari Bank Mandiri dengan batas maksimum sebesar Rp 200.000.000,00 dan tingkat bunga pinjaman 20%. Dari jumlah tersebut telah diambil pada bulan Pebruari sebesar Rp 125.000.000,00, pada bulan Juni diambil lagi sebesar Rp 25.000.000,00 dan sisanya (Rp 50.000.000,00) diambil pada bulan Agustus. Disamping itu Wajib Pajak mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan perincian sebagai berikut:
bulan Pebruari s/d Maret sebesar Rp. 25.000.000,00
bulan April s/d Agustus sebesar Rp. 46.000.000,00
bulan September s/d Desember sebesar Rp. 50.000.000,00, Dengan demikian bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah sebagai berikut:

Rata-rata pinjaman Pinjaman Jangka Waktu
Bulan Januari Rp 0 1 bln= Rp 0
bulan Pebruari s/d Maret Rp 125.000.000 4 bln= Rp 500.000.000
bulan Juni s/d Juli Rp 150.000.000 2 bln= Rp 300.000.000
bulan Agustus s/d Desember Rp 200.000.000 5 bln= Rp 1.000.000.000
Jumlah Rp 1.800.000.000,00
Rata-rata pinjaman perbulan Rp 1.800.000.000 : 12 = Rp 150.000.000
Rata-rata Dana Berupa Deposito Pinjaman Jangka Waktu
Bulan Januari Rp 0 1 bln= Rp 0
bulan Pebruari s/d Maret Rp 25.000.000 2 bln= Rp 50.000.000
bulan Juni s/d Juli Rp 46.000.000 5 bln= Rp 230.000.000
bulan Agustus s/d Desember Rp 50.000.000 4 bln= Rp 200.000.000
Jumlah Rp 4.800.000.000
Rata-rata deposito perbulan = Rp 480.000.000 : 12 = Rp 40.000.000

Bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya = 20% x (Rp 150.000.000,00 – Rp 40.000.000,00) = Rp 22.000.000,00.

Seperti diketahui bahwa atas penghasilan bunga yang berasal dari tabungan/deposito telah dikenakan pajak penghasilan final, maka dalam menghitung laba kena pajak penghasilan bunga tersebut kita lakukan koreksi negatif. Bila perusahaan sudah melakukan koreksi fiskal negatif atas penghasilan bunga, sementara biaya bunga atas pinjaman dibebankan seluruhnya kedalam laba/rugi fiskal, maka hal tersebut akan memperkecil laba fiskal yang tidak wajar. Maka biaya bunga atas pinjaman bagi perusahaan yang juga mendapat penghasilan bunga dari tabungan/deposito hanya dapat dibebankan kedalam laba/rugi fiskal secara proporsional antara nilai pinjaman vs nilai tabungan/deposito.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa kemungkinan dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya langsung atau tidak langsung berasal dari pinjaman atau dana yang berasal dari pihak ketiga yang dibebani biaya bunga. Apabila hal tersebut terjadi Wajib Pajak dapat memperkecil Penghasilan Kena Pajak secara tidak wajar, karena bunga yang terutang atau dibayar atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bunga yang diterima atau diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya tidak ditambahkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak karena telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 15%.

Namun, bunga yang dibayarkan atau terutang atas pinjaman Wajib Pajak dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan Pasal 6 ayat (1a) dalam hal :

  1. dana pinjaman tersebut disimpan/ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,
  2. adanya keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi keharusan tersebut: misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan di Bank Pemerintah,
  3. dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari tambahan modal dan sisa laba setelah kena pajak.

Terkait pada point 3 tersebut diatas, dapat dibuktikan melalui laporan keuangan yang menggambarkan posisi ekuitas termasuk di dalamnya tambahan modal maupun sisa laba setelah kena pajak yang terdapat pada Neraca, beserta mutasi deposito maupun pinjaman dari pihak ketiga. Setidaknya dapat meyakinkan seperti apa yang dikatakan pada angka 5 pada SE-46/PJ.04/2005 tersebut.