Sempat tertegun saat membaca berita, seorang ahli pajak mengatakan bahwa “setiap koruptor wajib hukumnya dimiskinkan, dan mengembalikan kerugian negara serta membuat efek jera yaitu dengan cara mengejar lewat laporan pajaknya dengan alasan Koruptor tidak mungkin melaporkan penghasilan hasil korupsi. Maka ia bisa kena delik pasal 39 UU KUP dengan sengaja menyampaikan SPT yang isinya tidak benar.” (news.detik.com).
Berbicara tentang hukuman dan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi saya sangat setuju, namun saat berbicara institusi pajak sebagai alat untuk menghukum ini menurut saya sudah diluar kepatutan. Dapat dimengerti jika motivasi ahli pajak ini yaitu keinginan yang besar agar budaya korupsi segera enyah dari pertiwi ini, karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan ekonomi yang memberikan implikasi luas bagi kehidupan masyarakat. Memang pernah ada pendapat yang mengatakan bahwa hakim dapat menggunakan data SPT Tahunan tersebut untuk melihat kelayakan dan kemampuan ekonomi bagi pelaku koruptor namun sepertinya opsi ini akan terbuang jauh sampai kemudian muncul berita pembeberan di salah satu media nasional tentang laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Orang Pribadi milik Susilo Bambang Yudoyono dan keluarga.
Saya tetap berfikir bahwa ini semua hanya suatu kebetulan belaka walau sempat mencoba menghubungkan peristiwa-peristiwa ini lalu kemudian munculnya kembali isu Pajak Kekayaan sebelumnya yang telah dihembuskan oleh pimpinan institusi tercinta ini, ada daya yang cukup kuat dan sangat tendensius dari insan perpajakan untuk membereskan kegalauan penerimaan pajak dan situasi elit republik tercinta ini. Betulkah sekedar kegalauan penerimaan pajak?
Dalam tulisan sebelumnya yaitu pajak menurut Alkitab dijelaskan diantaranya pajak sangat berguna untuk keseimbangan. Keseimbangan disini bukan berbicara tentang keseimbangan pasar sebelum atau sesudah pajak, dimana Pajak yang dikenakan atas penjualan selalu menambah harga barang yang ditawarkan, sehingga hanya mempengaruhi fungsi penawaran, sedang fungsi permintaannya tetap, melainkan keseimbangan antara ekonomi individu yang berkelebihan dan yang berkekurangan (kaya dan miskin). Keseimbangan tercipta jika masyarakat yang adalah wajib pajak membayar pajak dan melaporkannya dengan benar. Jika saja ini dilakukan maka budaya korupsi bukan mustahil akan berkurang dari bumi Indonesia ini khususnya dan terjadi suatu harmoni keseimbangan yang menciptakan aspek stabilitas yang baik.
Perlu dipahami dan diingat bahwa selama ini dalam menjalankan tugasnya Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan fungsi : a). perumusan kebijakan di bidang perpajakan; b). pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan; c). penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan; d). pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; dan e). pelaksanaan administrasi DJP. Yang didalamnya meliputi administrasi mulai dari pengumpulan atas pajak-pajak yang juga sekaligus mengawasi para wajib pajak untuk menjalankan kewajibannya dengan benar, walaupun tidak tahu menahu atas penggunaan alokasi dana pajak tersebut namun selalu tetap setia dituntut untuk mencari lebih dan naik… naik setiap tahunnya.
Mengharapkan pembayar pajak membayar dan melaporkan dengan benar melalui self assesment system adalah bak jauh panggang dari api, hal ini akan terus terjadi jika saja pemerintah tidak memberikan suatu kepastian dan keadilan hukum bagi pelaku kejahatan semisal korupsi dan lainnya. Maka kedepan akan sangat banyak sekali ide-ide yang sudah jauh dari domain awal fungsi dan tugas Direktorat Jenderal Pajak seperti dijelaskan ahli pajak tersebut di atas yaitu memiskinkan koruptor dengan cara mengejar lewat laporan pajaknya.
Sebagai administrator perpajakan yaitu mengumpulkan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak memang DJP memiliki kewenangan untuk menangani pidana perpajakan, sebagaimana dikatakan dalam pasal 39 ayat (1) UU KUP tentang pidana perpajakan seperti pernah ditulisan sebelumnya dalam artikel Pembukuan, namun motivasi menjadikan perpajakan untuk tujuan memenjarakan adalah suatu yang tidak etis demikianpula halnya untuk keperluan-keperluan politis.
(ini sih menurut ogut aja ….)