Seperti kita ketahui bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang kedepannya nanti merupakan cikal bakal Badan Penerimaan Negara (maunya saya sih :D) adalah bukan suatu lembaga penegakan hukum yang bertugas memasukan wajib pajak ke Penjara namun sebagai administrator perpajakan yaitu mengumpulkan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, oleh karena itu  kinerja DJP tersebut selalu diukur oleh penerimaan pajak.

Namun jika saja kita menyadari dan tanpa berniat menakut-nakuti bahwa disamping mengumpulkan pajak, DJP memiliki kewenangan untuk menangani pidana perpajakan, sebagaimana dikatakan dalam pasal  39 ayat (1)  UU KUP tentang pidana perpajakan, yang  mengatakan ;

Setiap orang yang dengan sengaja :

  1. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  2. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan pengusaha Kena Pajak;
  3. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
  4. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
  5. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
  6. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
  7. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
  8. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);atau
  9. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Dalam tulisan kali ini, penulis mencoba memfokuskan pada point 7 dan 8 tersebut diatas, yaitu tentang pembukuan dan atau pencatatan untuk itulah judul di atas menjadi pilihan penulis, agar masing-masing kita memahaminya, jika tidak ingin perusahaan/usaha yang kita miliki terancam bermasalah dan sekaligus pemiliknya bisa dapat bonus penjara.

Pembukuan, Pencatatan Dan Prinsipnya

Pembukuan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 huruf 29 UU KUP adalah  suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

Lalu bagaimana dengan pencatatan? Pencatatan adalah pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan yaitu :

  1. Wajib Pajak (WP) Badan;
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus juta rupiah).

Yang wajib Menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-4/PJ/2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi serta Pasal 14 ayat 3 UU PPh yaitu :

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pembukuan dan pencatatan memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem self assesment dalam rangka menghitung sendiri pajak yang terutang. Tidak heran, UU KUP mengatur di Pasal 28 tentang prinsip-prinsip pembukuan yang harus diselenggarakan oleh Wajib Pajak.  Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah:

  1. Itikad baik (Ayat 3)Pembukuan  dan juga pencatatan tersebut  diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
  2. Tata penulisan, (ayat 4), Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
  3. Taat  asas, (ayat 5), stelsel akrual dan stelsel kas. Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan stelsel pengakuan penghasilan, penggunaan tahun buku, penggunaan metode penilaian persediaan dan penggunaan metode penyusutan dan amortisasi.
  4. Informasi minimal dalam pembukuan (ayat 7), Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pengaturan ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
  5. Waktu dan tempat penyimpanan dokumen (ayat 11), Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PP 74 2011 pasal 10).  Ketentuan tersebut dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
Demikian juga dengan pencatatan  dimana setidaknya syarat-syarat penyelenggaraan pencatatan  memenuhi prinsip sebagai berikut :

  1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain : a). Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh; b). Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
  2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
  3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.

Konsekuensi Tidak Menyelenggarakan Pembukuan dan Pencatatan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya diawal tulisan ini bahwa pentingnya penerimaan negara dari sektor pajak, maka bagi wajib pajak akan dikenakan sanksi apabila tidak mematuhi ketentuan perpajakan. Dimana atas sanksi tersebut juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan yang salah satunya berkaitan dengan kewajiban penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan sesuai dengan pasal 28 dan 29 ayat 3. Adapun sanksi atas kondisi ini adalah :

1. Sanksi Administrasi

Sanksi administrasi ini di atur dalam pasal 13 ayat 1 huruf d UU KUP yaitu Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut ditagih dengan SKPKB ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar :

  • 50 % (lima puluh persen) dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
  • 100 % (seratus persen) dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
  • 100 % (seratus persen) dari PPN dan PPn BM yang tidak atau kurang dibayar.

2. Sanksi Pidana

Sesuai dengan Pasal 39 ayat 1 UU KUP yang mengatakan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja :

  • memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; atau
  • tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; atau
  • tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan (Pasal 39 ayat 2 UU KUP.

Kesimpulan

Pembukuan dalam perpajakan dimaksudkan untuk mempermudah pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), penghitungan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang pada dasarnya untuk mengetahui posisi keuangan. SPT sendiri merupakan sarana bagi Wajib Pajak (WP) untuk melaporkan semua kegiatan usahanya dalam periode tertentu. SPT yang dihasilkan merupakan alat bantu komunikasi antara fiskus dan WP.

Pembukuan dan pencatatan yang terorganisir dapat membantu Wajib Pajak dalam menyusun laporan keuangan dan mengisi SPT serta dapat membantu pertanggungjawaban WP jika terjadi pemeriksaan/penyidikan pajak yang dilakukan oleh pihak fiskus maupun proses Keberatan ditingkat Kantor Wilayah dan Banding di tingkat Pengadilan Pajak.

Jadi menurut pandangan saya harmonisasi antara Wajib Pajak dan Fiskus dalam berkomunikasi adalah melalui Pembukuan atau Pencatatan yang dilakukan wajib pajak secara benar, transparan dan akuntabel, diluar dari itu sangat berbahaya. Karena bukan tidak sedikit wajib pajak dan sekaligus fiskus yang nakal.

 

(Sebagai pengingat dan arsip ogut 🙂 ).