Dalam liburan cuti Natal dan Akhir tahun 2011 yang baru saja berlalu banyak sekali hal-hal yang menarik dan dapat menjadi inspirasi untuk saya publikasikan di Nusahati ini, namun kali ini saya mencoba menceritakan fenomena yang ada hubungannya dengan bidang saya, yaitu Pajak. Karena kemanapun saya berada hal-hal tentang  pajak pasti tidak pernah jauh-jauh dari saya, alangkah baiknya jika ada hal-hal khusus tentang bidang tersebut saya tuliskan untuk menjadi pembelajaran maupun tukar informasi dan pengalaman bagi teman-teman di ladang Pajak maupun wajib pajak.

Mungkin karena  tahun 2011 baru saja berlalu, maka banyak para wajib pajak mulai berfikir tentang pengisian SPT Tahunan maupun laporan SPT PPh Pasal 21.

Dalam suatu obrolan santai, seorang Direktur suatu perusahaan bertanya tentang pajak kepada saya karena sebelumnya saya menjawab pertanyaannya tentang pekerjaan saya. Dia bertanya tentang pengenaan PPh Pasal 21 atas karyawannya, berapa pajak karyawan jika karyawan bergaji Rp. 5.000.000,- perbulan . Untuk obrolan seperti ini saya biasanya langsung secara otomatis menjawab; jika karyawan bapak belum menikah dan  dikurang dengan biaya jabatan serta  PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) ya sekitar Rp. 171 ribuan perbulan. Setelah saya menjawab dia kaget dan sedikit tersenyum penuh arti, dan dilanjutkan tentang obrolan dunia pajak, dalam berbicara pajak saya memang bicara ceplas-ceplos karena saya tidak perlu harus minta ijin kepada institusi saya untuk menjawab hal-hal seperti ini.

Dalam obrolan tersebut saya mencoba menyimpulkan bahwa :

  1. Pengaruh media tentang stigma pegawai pajak memang sudah luar biasa rusaknya, masih menurut mereka, pembangunan dari dana pajak tidak terlihat akibat dikorupsi oleh Oknum-oknum pajak.
  2. Para pengusaha masih berusaha untuk memperkecil pajak karyawannya tersebut di atas dengan mempertanyakan apakah PTKP status  TK (Tidak Kawin) masih boleh ditambah dengan tanggungan.
  3. Belum adanya kesadaran para pemilik usaha akan pentingnya dana pajak untuk pembangunan negara dan kesejahteraan rakyat, terbukti kurangnya sosialisasi kepada pegawainya terhadap adanya pemotongan pajak dari penghasilan yang diterima.
  4. Umumnya memang untuk perusahaan yang masih tidak terlalu besar seperti contoh di atas kurang begitu memperhatikan unsur PPh Pasal 21, walaupun tidak menutup kemungkinan perusahaan besar juga melakukan hal yang sama.

Saya tidak tahu bagaimana reaksi teman-teman jika membicarakan poin pertama simpulan di atas,  reaksi saya adalah menerima dengan mengelus dada bukan lapang dada serta menjelaskan institusi saya telah berbenah ke arah yang baik dengan penuh ketulusan dan kejujuran. Entah sampai kapan sinisme terhadap institusi ini berakhir, yang saya pahami adalah institusi ini harus tetap eksis dan lebih giat bekerja demi hari depan republik ini.

Memang fakta dilapangan adalah masih banyaknya regulasi perpajakan yang belum dipahami oleh masyarakat sekelas direktur maupun usahawan, kecenderungannya adalah mereka tidak perduli dan menyerahkan sepenuhnya kepada aparatur pajak. Saat kebetulan mereka ditegur atau di himbau maka mereka akan membayar jika memang aturan mainnya harus membayar, karena prinsip mereka adalah jelas memikirkan kemajuan usaha mereka. Ada sedikit keheranan memang bukankah SPN (Sensus Pajak Nasional) yang baru-baru ini dijalankan seharusnya sudah mencapai lini tersebut. Saya enggan membicarakan kemana AR (Account Representative) nya… 😀

Hal yang unik memang dalam berbicara tentang pajak diantara kami masih ada nuansa seteru, yang kembali  normal  setelah kami berbicara hal lain.

(Ditulis untuk mengakhiri cuti akhir tahun, dan kembali dengan semangat baru untuk  pemenuhan resolusi yang telah ditetapkan di dalam pikiran).