Sebagai seorang Penelaah Keberatan yang baru nangkring satu bulan, sedikit terperangah juga saat membaca surat permohonan wajib pajak tentang permohonan pengurangan/permohonan penghapusan sanksi administrasi Pasal 36 KUP, saya ulangi membaca permohonan ini sekali lagi dan jelaslah wajib pajak ini meminta agar sanksi administrasi pasal 13 ayat 2 KUP atas suatu produk SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) untuk dihapuskan. Beberapa alasannya adalah karena kekurang tahuan wajib pajak atas suatu objek pajak yang seharusnya terutang pajak dan menyetujui hasil pemeriksaan dengan telah membayar pokok pajaknya. Saya tersenyum haru, bahwa wajib pajak memahami haknya dalam mengajukan permohonan penghapusan sanksi pajak namun sebaliknya dengan terus terang mengatakan bahwa tidak tahu kewajibannya kalau sesuatu jenis penghasilan tertentu dikenakan pajak.
Berdasarkan permohonan ini maka coba saya uraikan apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang penelaah keberatan yang kedudukannya diharapkan dapat netral dan mengedepankan unsur keadilan dalam putusannya misalkan dalam kasus seperti ini, sehingga tidak sepenuhnya kewenangan atributif dan prerogatif yang Dirjen Pajak yang diberikan Undang-Undang dalam menafsirkan sebuah pengertian.
Permohonan Memenuhi Aspek Formal Dan Material
Perihal Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar, Dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tatacara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi bertujuan untuk mengurangkan atau menghapuskan denda (bunga, denda dan kenaikan) yang mana atas pokok pajak-nya itu sendiri Wajib Pajak tidak keberatan atau dengan kata lain Wajib Pajak setuju atas hasil koreksi fiskal dari pemeriksa pajak, namun menghendaki mendapatkan keringanan atas sanksi yang diberikan. Dengan demikian atas permohonan Pasal 36 Ayat (1) huruf a ini disyaratkan kondisi sebagai berikut :
- Tidak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak (sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat (3) huruf a, PMK. No.21/PMK.03/2008) contohnya : Wajib Pajak mengajukan keberatan pajak atas suatu ketetapan pajak setelah diproses oleh kantor pajak ternyata hasilnya semua permohonan ditolak dan Kantor Pajak menerbitkan SK penolakan, kemudian atas ketetapan yang sama oleh WP diajukan kembali memakai Pasal 36 Ayat (1) a untuk mendapat pengurangan sanksi, hal ini tidak diperbolehkan.
- Wajib Pajak telah melunasi (pokok) pajak yang terutang (sesuai ketentuan Pasal 3 Ayat (1) huruf d, PMK. No.21/PMK.03/2008).
- Diajukan keberatan tapi tidak dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Ayat (4) UU No.28 Tahun 2007 (sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat (3) huruf c, PMK. No.21/PMK.03/2008) Contoh : WP mengajukan permohanan keberatan untuk suatu ketetapan pajak, namun karena tidak memenuhi salah satu syarat formal, katakan permohonan keberatan yang diajukan telah melebihi jangka waktu 3 bulan sejak tanggal ketetapan pajak dikirim, permohonan tersebut oleh kantor pajak dianggap tidak dapat dipertimbangkan (ditolak secara formal tanpa diproses, sehingga tidak ada SK nya), maka atas ketetapan pajak tersebut masih dapat diajukan permohonan pengurangan sanksi sebagaimana dimaksudkan Pasal 36 Ayat (1) ini.
- Suatu ketetapan pajak diajukan keberatan tapi sudah dicabut kembali oleh Wajib Pajak boleh diajukan kembali menggunakan Pasal 36 (1) a (sesuai dengan Pasal 2 Ayat (3) huruf b, PMK. No.21/PMK.03/2008). Pencabutan permohonan keberatan diperbolehkan sepanjang WP belum mendapatkan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) dari Penelaah Keberatan sebagai bagian dari prosedur penanganan proses keberatan. (sesuai ketentuan Pasal 20 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor : 80 Tahun 2007).
Syarat tersebut di atas adalah langkah awal bahwa permohonan yang diajukan telah memenuhi syarat untuk selanjutnya dilakukan proses oleh kantor pajak (Aspek Formal), selanjutnya agar permohonan tersebut dapat dikabulkan maka materi/subtansi dari permohonan tersebut harus memenuhi ketentuan material (Aspek Material) yang disyaratkan oleh Pasal 36 Ayat (1) a berikut penjelasannya yaitu : ”… karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”.
Ketetapan yang dapat diajukan untuk mendapat pengurangan/penghapusan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan. No.21/PMK.03/2008 tanggal 02 Februari 2008 adalah :
- Surat Tagihan Pajak (STP)
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Suatu Pengertian
Tentang pengertian… kekhilafan wajib pajak, bagaimana kalau kita sepakat disamping karena tidak memahami peraturan perpajakan yang menyebabkan gagal dalam melaksanakan self assesment perpajakannya bahwa pengertian ini adalah karena kekurang tahuan/ tidak menyadari dan kejadian ini tidak berlangsung secara berulang-ulang. Sehingga apabila suatu sanksi sebelum diterbitkan telah didahului suatu teguran atau himbauan atau bahkan dilanjutkan dengan pemeriksaan maka sangatlah sulit dikatakan karena kekhilafan. Sebagai contoh : Sewaktu menjadi Account Representative saya menghimbau wajib pajak untuk menyetorkan kewajiban pasal 25 (Karena memiliki kewajiban mengangsur berdasarkan SPT Tahunan badan), wajib pajak tidak menanggapi sehingga diterbitkan STP (pokok dan sanksi administrasi), akan sangat sulit mengartikan bahwa wajib pajak khilaf sementara wajib pajak sudah terdaftar cukup lama. Maka dengan jujur saya katakan sebagai Penelaah Keberatan dengan tegas akan menolak permohonan jenis ini. Lalu bagaimanakah unsur khilaf yang dapat diterima? Menurut pendapat saya adalah yang dapat dikatakan unsur khilaf adalah adanya perubahan peraturan terbaru yang belum diketahui oleh wajib pajak dan atas kewajiban perpajakan yang sama selanjutnya telah benar dilakukan. Beberapa tahapan yang nantinya dilakukan agar lebih mengetahui kondisi sebenarnya wajib pajak untuk jenis permohonan seperti ini adalah :
- Melakukan wawancara dengan wajib pajak
- Melihat langsung keadaan perusahaan/ wajib pajak
- Mempelajari proses penerbitan sanksi administrasi tersebut
Tentang pengertian ..bukan karena kesalahannya, kita sepakat saja 🙂 hal yang menyebabkan terjadinya kasus seperti ini salah satunya adalah karena kekurang telitian yang dilakukan petugas pajak baik itu oleh Account Representative maupun Fungsional sehingga wajib pajak dibebani sanksi yang tidak seharusnya. Contoh wajib pajak dikenakan sanksi bunga dan denda untuk keterlambatan pembayaran sementara wajib pajak dapat menunjukan bahwa atas pembayarannya tidak terlambat. Hal ini sifatnya merupakan kesalahan manusiawi (human errors), yang apabila dikomunikasikan antara fiskus dan Wajib Pajak, maka masing-masing pihak akan dapat menerimanya.
Hal-Hal Yang menjadi Perhatian
Beberapa yang perlu dipahami oleh wajib pajak dengan niatan dalam pengajuan permohonan jenis ini adalah :
- Permohonan hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali (berdasarkan Pasal 36 (1a) UU No. 28 Tahun 2007 KUP);
- Jangka waktu penyelesaian untuk permohonan tahun pajak 2008 keatas paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan sebagaimana diterima (berdasarkan Pasal 36 (1c) UU No. 28 Tahun 2007 KUP) dan diproses berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. No.21/PMK.03/2008 tanggal 02 Februari 2008 tentang Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar, Dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan;
- Berdasarkan ketentuan Pasal II ayat (1) UU KUP 2007 jo Pasal 36 (1) PP 80/2007 permohonan Pasal 36 (1) huruf a, b, dan c penyelesaiannya berdasarkan tahun pajak yaitu tahun pajak 2001 s.d. 2007 jangka waktu penyelesaian 12 (dua belas) bulan, dan diproses berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 542/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak; perlu kita perhatikan disini syarat jangka waktu pengajuan yaitu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan masih berlaku.
Jenis Jenis Sanksi
Adapun jenis sanksi-sanksi dalam perpajakan diantaranya adalah :
- Bunga Pasal 13 ayat (2) KUP ( SKPKB PPh atau PPN)
- Kenaikan Pasal 15 ayat 2 KUP (100% dari PPN yang tidak/kurang bayar)
- Kenaikan Pasal 17C KUP (100% atas setelah restitusi PPN dan terbit SKPKB)
- Kenaikan Pasal 17D KUP (100% atas setelah restitusi PPh dan terbit SKPKB)
- Sanksi atas tidak/terlambat melaporkan kewajiban perpajakan yaitu Denda Pasal 7 KUP, didalamnya terdapat denda senilai Rp. 100.000,- untuk SPT Masa PPh, Rp. 500.000,- untuk SPT Masa PPN dan Rp. 1.000.000,- untuk SPT Tahunan.
- Sanksi denda pasal 14 ayat 4 KUP akibat koreksi DPP PPN.
- Sanksi bunga pasal 14 ayat 3 KUP.
- sanksi denda Pasal 8 ayat 3 KUP
- Sanksi denda Pasal 44B KUP
- Sanksi bunga Pasal 13 (5) KUP
- Sanksi bunga Pasal 15 (4) KUP
- Sanksi kenaikan Pasal 13 A KUP
- Sanksi bunga Pasal 19 ayat 3 KUP
- Sanksi kenaikan pasal 13 ayat 3 KUP
- Sanksi bunga pasal 14 ayat 5 KUP, terkait bunga atas jumlah yang ditagih kembali dari PKP yang telah diberi pengembalian PM yang gagal produksi.
- Sanksi kenaikan pasal 8 ayat 5 KUP, terkait pengungkapan ketidakbenaran dalam pengisian SPT.
- Sanksi denda pasal 25 ayat (9) KUP
- Sanksi denda pasal 27 ayat 5(d) KUP terkait dengan keberatan maupun banding wajib pajak yang ditolak atau dikabulkan sebagian.
Suatu Pandangan
Memang tak terhitung lagi jumlah ketetapan baik itu STP, SKPKB dan SKPKBT yang telah diterbitkan dan tentu mengakibatkan semakin beratnya beban wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan karena di dalamnya terdapat sanksi pula. Namun secara umum saya melihat masih sedikit wajib pajak yang telah melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar. Dan diantara sedikit itu masih terdapat perbedaan pemahaman dengan pihak fiskus yang mengakibatkan terjadinya sengketa perpajakan. Hampir semua wajib pajak banyak yang menerima hasil ketetapan pajak dari KPP, namun dikarenakan sanksi yang diterima cukup memberatkan keuangan wajib pajak yang akhirnya mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Namun demikian Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan meliputi sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak. Jadi dapat dipastikan permohonan yang diajukan dengan alasan keuangan dapat dipastikan tidak akan dikabulkan, karena memang tidak ada aturan yang mengakomodir permohonan tersebut. Walaupun demikian disamping yang disebutkan beberapa alasan di atas seorang penelaah keberatan tentu tidak menampik dalam rangka netralitas/keadilan/kemanusiaan/nurani juga akan mempertimbangkan permohonan tersebut semisal :
- Terkait sanksi akibat pemeriksaan, apakah wajib pajak sebelumnya sudah pernah diperiksa, apakah koreksi yang dilakukan pemeriksa juga yang pernah dikoreksi ditahun sebelumnya?
- Apakah wajib pajak adalah wajib pajak baru?
- Apakah wajib pajak sebelumnya pernah dihimbau/ditegur?
- Apakah wajib pajak tidak menggunakan jasa konsultan?
- Kondisi lainnya
Hal-hal tersebut di ataspun juga hanya merupakan suatu pertimbangan dan bukan suatu hal yang pasti.
Akhirnya, Saya pribadi belum melihat bahwa seandainya sanksi administrasi akibat kekhilafan dalam tulisan ini dapat dipenuhi/dikabulkan akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. (Maaf… maaf… maaf) Walaupun saya pribadi kurang setuju jika sanksi menjadi primadona bagi Account Representative/Pemeriksa untuk mendongkrak penerimaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Hal yang ingin saya sampaikan adalah, ada baiknya sebelum mengajukan permohonan perlu dipahami terlebih dahulu hal-hal yang akan diajukan disamping syarat formal perlu juga melihat aspek materialnya. Ada satu obrolan dengan wakil wajib pajak yang secara terus terang mengatakan bahwa pada prinsipnya beberapa temuan pemeriksa adalah mendekati faktanya namun dengan mengajukan permohonan ini setidaknya dapat memperpanjang kontrak dengan wajib pajak, dan tentang sanksi denda 50% itu akan tercover dari pokok sengketa yang pastinya akan diterima oleh Penelaah Keberatan karena menurutnya memiliki dasar hukum yang kuat untuk itu, begitu kilahnya.
Dasar Hukum :
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
- Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
- PER-52/PJ./2010 perubahan dari PER-49/PJ./2009 perubahan dari PER-48/PJ./2009 perubahan dari PER-01/PJ.07/2007 tentang Prosedur Pengajuan dan Penyelesaian Permohonan Pembetulan Ketetapan Pajak, Keberatan, Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 Tanggal 28 Desember 2007 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2008 Tanggal 06 Februari 2008 Tentang Tata Cara Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung, Dan/Atau Kekeliruan Penerapan Ketentuan Tertentu Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.03/2008 Tanggal 06 Februari 2008 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar, Dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan
- SE-02/PJ.07/2007 tentang Prosedur Pembetulan Ketetapan Pajak, Keberatan, Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Sesungguhnya penggunaan suku kata/kalimat:Khilaf, ketidaktahuan,
lupa, lalai, alpa, tidak sengaja, tidak tahu, tidak memahami, didalam suatu kalimat lebih cenderung permohonan maaf. Manusiawi. 😊Tidak untuk hal lain😂
Ah abang kita ternyata yg punya.
Mohon izin berkato-kato sedikit bang :
1. Sepakat bahwa kalau sudah pernah dihimbau apalagi ditegor [tertuliz], maka jelas bukan “khilaf”, melainkan antara dia paham & yakin sesuatu itu ya seperti yg dia laksanakan (di spt misalnya), atau dia membandel. Akhirnya sama-sama “tidak dapat diterima” / “ditolak”
Permasalahannya : Kalau tidak pernah ada himbauan &/atau teguran apakah seolah2 memperkuat adanya barang “khilaf” tersebut? Atau begini : kalau dia tidak/belum pernah dihimbau DAN ybs mengatakan bahwa “pemahamannya atas sesuatu yg akhirnya menjadi koreksi” ya begitu, seperti di SPT, apakah itu artinya semakin dapat diartikan aadanya ketidaktahuan, sehingga dapat diterima?
2. KALAU sepakat bahwa ketidakpahaman akan suatu ketentuan dapat menjadi dipertimbangkan, lalu diterima [cfm penjelasan psl 36 ay 1] karena [barangkali diangggap] dapat memperjelas dan memperkuat adanya kekhilafan, bukan kah dia menjadi tidak salah kalau berlangsung berkali-kali atau setidak2nya lebih dari sekali?
Contoh : atas case X, pemohon memahami bahwa treatmentnya ya C, begitu dia pahami begitu, maka akan berulang2 sesuai jumlah transaksi sampai ditemukan/diketahui [baca : diperiksa/dihimbau] bahwa itu salah.
Ah male Bang, “mangan” dulu lah kita, sudah ditunggu nih… ke lapo pula katanya…..
😀
😀 hupaima ma hamu di lapo da…. 😀