Baru-baru ini rekan saya bertanya, apakah bisa Keputusan Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi (pasal 36 ayat (1) poin a dan b ) digugat oleh wajib pajak, sambil memberikan pasal-pasal yang mengatur hal-hal mengenai gugatan. Mungkin banyak diantara kita yang belum paham tentang hal-hal mengenai gugatan, untuk itulah kali ini penulis mencoba menuliskan dengan judul “Sekilas Tentang Gugatan Dalam Perpajakan” tentu dengan gaya penulisan nusahati.

Latar Belakang Gugatan

Karena kinerja Direktorat Jenderal Pajak yang adalah administrator perpajakan  selalu  diukur dengan penerimaan pajak, maka dalam rangka penerimaan negara melalui pajak, DJP  mengeluarkan berbagai produk administrasi, dari berupa surat korespondensi biasa sampai dengan surat paksa yang setara dengan putusan hakim (grosse) serta produk-produk hukum lainnya. Beberapa surat/produk tersebut tentu saja tidak semuanya memuaskan rasa keadilan Wajib Pajak. Maka untuk memenuhi rasa keadilan tersebut diaturlah upaya hukum dalam UU KUP, salah satunya adalah gugatan.

Yang Dapat Di Ajukan Gugatan

Dalam UU KUP pasal 23 ayat 2 ditegaskan bahwa wajib pajak atau penanggung pajak dapay melakukan gugatan : “Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap” :

  1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
  2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
  3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
  4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

Produk hukum yang menjadi obyek gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU huruf a, b, dan d sudah jelas disebut, yaitu: Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, SKP,dan SK Keberatan. Namun tidak demikian dengan Obyek gugatan huruf c yang hanya menyebutkan ‘keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan’.

Bagaimana dengan pengertian Pasal 23 huruf ayat (2) huruf c “Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; ” ?

Dalam Pasal 37 PP 74/2011 dijelaskan bahwa “Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:”

  1. Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
  2. Surat Keputusan Pembetulan;
  3. Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
  4. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
  5. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
  6. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
  7. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
  8. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.

Sebuah opini mengatakan bahwa terdapat  dua unsur obyek gugatan dalam pasal 23 ayat (2) huruf c, yaitu : keputusan dan pelaksanaan keputusan, dengan pengertian masing-masing adalah :

  • Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Pasal 1 angka 4 UU Pengadilan Pajak). Pengertian Penetapan tertulis sesuai Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 yaitu “Keputusan Tata Usaha adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
  • Keputusan yang dapat digugat adalah keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan dari suatu keputusan lainnya. Istilahnya besickhing atas besickhing atau keputusan berjenjang. Dengan demikian, harus ada suatu keputusan yang dikeluarkan DJP mendahului keputusan yang digugat, bukan suatu keputusan yang berdiri sendiri. Misalkan Keputusan Pasal 36 ayat (1) huruf a dan b UU KUP yang merupakan ‘review’ atas STP atau SPMKP yang merupakan eksekusi SKPLB.

Keputusan berjenjang dapat ditafsirkan telah melalui proses review yang merupakan proses administrasi yang masih menjadi domain DJP. DJP masih diberikan kesempatan untuk mereview keputusan administrasi sebelum disengketakan di pengadilan. Hal ini sesuai dengan filosofi hukum ‘dua alat bukti’ keputusan hakim. DJP bertindak sebagai ‘hakim’ atas keputusan yang dikeluarkannya (STP, SKP, SP, dan lain-lain). Bukti pertama yaitu keputusan pertama (STP, SKP, dan keputusan lainnya) dan bukti ke-2 yaitu keputusan Pasal 16, 25, dan 36 UU KUP. Dengan dua alat bukti tersebut maka DJP sebagai ‘hakim’ telah inkracht atas keputusanya sehingga upaya hukum lanjutan ke hakim berikutnya, yaitu hakim Pengadilan Pajak.

Prinsip keputusan berjenjang sebenarnya berlaku untuk seluruh obyek gugatan (selain tindakan penagihan dengan Surat Paksa). STP tidak dapat langsung digugat tanpa terlebih dahulu melaui proses Pasal 36 ayat (1) huruf a dan c UU KUP. Demikian juga SKP tidak dapat langsung digugat tanpa melalui proses Pasal 36 ayat (1) huruf b dan d UU KUP. Tindakan Penagihan dengan Surat Paksa (SP) dapat langsung digugat karena Surat Paksa setara dengan putusan hakim (grosse), sehingga proses sengketa haruslah ke hakim berikutnya yaitu Hakim Pengadilan Pajak (PP) karena merupakan sengketa pelaksanaan atau eksekusi Surat Paksa (SP) dan tidak lagi masalah penerbitannya.

Keputusan berjenjang juga ditafsirkan sebagai keputusan eksekusi dari keputusan sebelumnya. Eksekusi suatu keputusan bermakna keputusan yang pertama tidak akan berjalan tanpa diterbitkannya keputusan yang kedua. Misalkan SPMKP yang merupakan eksekusi dari SKPLB. Tanpa SPMKP maka restitusi yang telah ditetapkan dalam SKPLB tidak dapat dilaksanakan.

Beberapa Pengertian Dalam  Gugatan

  • Keputusan adalah suatu penetapan tertulis dibidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang   berwenang bedasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
  • Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
  • Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajakatau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
  • Surat Tanggapan adalah surat dari tergugat kepada Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas Gugatan yang diajukan oleh penggugat.
  • Surat Bantahan adalah surat dari pemohon Gugatan kepada Pengadilan Pajak yang berisi bantahan atas surat uraian Gugatan atau surat bantahan.
  • Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau Putusan diterima secara langsung.

Prosedur Gugatan (Pasal 40-45  UU No 14 Tahun 2002)

  1. Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
  2. Jangka Waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
  3. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan adalah 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
  4. Jangka waktu sebagaimana dimaksud tidak mengikat apabila jangka  waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
  5. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud adalah 14 hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.
  6. Terhadap 1 pelaksanaan penagihan atau 1 Keputusan diajukan 1 Surat Gugatan
  7. Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tidak dapat diajukan kembali.
  8. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan Pajak atau kewajiban  perpajakan.
  9. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan Pajak  ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang  berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak.

 Yang Mengajukan Gugatan (Pasal 41 UU No 14 Tahun 2002)

  • Gugatan dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau kuasa hukumnya.
  • Apabila selama proses Gugatan, pemohon Gugatan meninggal dunia, Gugatan dapat dilanjutkan oleh warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Gugatan pailit.
  • Apabila selama proses Gugatan pemohon Gugatan melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/ pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
Hak-Hak Pemohon Gugatan
  • Pemohon Gugatan dapat melengkapi Surat Gugatannya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterima keputusan yang digugat.
  • Pemohon Gugatan dapat memasukkan Surat Bantahan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal terima salinan Surat Uraian Gugatan.
  • Dapat hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan lisan atau bukti-bukti yang diperlukan sepanjang memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Pajak secara tertulis.
  • Dapat hadir dalam sidang Pembacaan Putusan.
  • Dapat didampingi atau diwakili oleh Kuasa Hukum yang telah terdaftar/mendapat ijin Kuasa Hukum dari Ketua Pengadilan Pajak.
  • Dapat meminta kepada Majelis kehadiran saksi.

Pencabutan Gugatan

  • Terhadap Gugatan dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak.
  • Gugatan yang dicabut tersebut, dihapus dari daftar sengketa melalui penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan dan putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan tergugat.
  • Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tersebut, tidak dapat diajukan kembali.
Kesimpulan

Berdasarkan uraian tentang gugatan di atas  disimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) unsur yang harus diperhatikan oleh wajib pajak dalam mengajukan gugatan yaitu: a). Menyangkut prosedur dari suatu keputusan, artinya suatu keputusan perpajakan diterbitkan dengan tidak dilakukan sesuai prosedur maka atas setiap keputusan tersebut dapat diajukan gugatan. b). Jika menyangkut materi dari suatu keputusan maka memperhatikan pasal 23 ayat 2 huruf c UU KUP.

Proses surat menyurat dari KPP seperti halnya surat himbauan, pemberitahuan, atau panggilan pemeriksaan, bukanlah suatu keputusan yang dapat digugat. Hal ini karena surat-surat tersebut tidak mempunyai akibat hukum bagi Wajib Pajak. Surat Perintah Pemeriksaan Pajak juga belum memenuhi unsur suatu keputusan memang dapat dikatakan mempunyai akibat hukum, yaitu timbul kewajiban untuk memenuhi Pasal 29 UU KUP dan status baru sebagai terperiksa, namun belum bersifat final.

Terhadap pertanyaan tentang apakah Keputusan Pengurangan sanksi administrasi (pasal 36 ayat 1) dapat dilakukan gugatan oleh wajib pajak maka sesuai dengan pasal 23 ayat (2) huruf c yang dijelaskan dalam pasal 37 PP 74 tahun 2011 sepanjang prosesnya dilakukan sesuai dengan ketentuan tidak dapat dilakukan gugatan oleh wajib pajak.

Diambil dari beberapa sumber sebagai  dan arsip…

Dasar Hukum

  1. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  2. Pasal 1, 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
  3. Pasal 1, 40, 41, 42, 43, 44, 45 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
  4. Pasal 37 PP 74 Tahun 2011

Artikel Terkait