Di suatu momen saya ditanya, apakah pemilik rumah sewa (sewa kos-kosan) dikenakan pajak? yang dilanjut dengan pernyataannya,  sepertinya tidak pernah saya liat mereka (pemilik rumah kos-kosan) bayar pajak :D. Lalu saya kembangkan pertanyaannya, bagaimana jika sebagai perusahaan (Baik Orang Pribadi maupun Badan) disamping memiliki usaha (Bersifat final) persewaan gudang, rumah sewa termasuk di dalamnya kos-kosan, juga memiliki usaha lain (Bersifat non final)? Bagaimana mekanisme pelaporannya dan pembebanannya dalam laporan laba rugi (SPT Tahunan Badan) jika sulit memisahkan biaya atas penghasilan yang bersifat final dan non final?

Tentang penghasilan sewa kos-kosan itu dikenakan pajak atau tidak maka perlu kita kembalikan definisi objek pajak yaitu penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (Pasal 4 UU PPh). Jadi simpulannya bahwa sewa kos-kosan merupakan jenis penghasilan yang dikenakan pajak dalam hal ini PPh Final dengan tarif 10% dari jumlah bruto, serta dikenakan PPN apabila telah dikukuhkan sebagai PKP karena Penyerahan jasa rumah kos-kosan tidak termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan PPN (Pasal 4a ayat 3 UU PPN).

Perlu kita ingat kembali bahwa berdasarkan aturan perpajakan penghasilan itu terbagi atas 2 (dua) jenis yaitu : 1). Penghasilan Yang Merupakan Objek Pajak (Taxable Income) dan 2). Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak (Non Taxable Income). Jika sebelumnya penulis telah menguraikan dalam sekilas perencanaan pajak dalam PPh Pasal 22 impor, Maka dalam sekilas perencanaan pajak kali ini  diharapkan pembaca dapat berselancar dan memahami tentang hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dalam meminimalisir pembayaran pajak secara legal khususnya perusahaan yang memiliki usaha yang bersifat final sekaligus non final.

Penghasilan Yang Merupakan Objek Pajak

Dalam pengenaan pajak atas penghasilan yang merupakan objek pajak bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara. Pertama dikenakan pajak penghasilan (PPh) dengan menggunakan tarif umum (tarif pasal 17 UU PPh) dalam pengenaan/penghitungan dapat dilihat pada saat pengisian SPT Tahunan pajak penghasilan. Kedua dikenakan pajak penghasilan secara final (PPh Final) sesuai pasal 4 ayat (2), pasal 15, pasal 21, pasal 22, pasal 23 dan pasal 26 UU PPh. Hal yang berbeda dalam pasal 4 ayat (2) dimana Pajak Penghasilan memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengenakan PPh Final terhadap penghasilan-penghasilan tertentu. Adapun tarif PPh Final disesuaikan dengan aturan yang berlaku sebagai contoh  atas penghasilan dari persewaan tanah, dan bangunan dikenakan PPh Final dengan tarif 10% dari jumlah bruto (semua jumlah yang dibayarkan, termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, dan biaya atas fasilitas lainnya) nilai persewaan tanah atau bangunan.  PPh Final pasal 4 ayat 2 memiliki karakteristik sebagai berikut :

  1. Pengenaannya diatur secara khusus dengan Peraturan Pemerintah dan atau Peraturan Menteri Keuangan.
  2. Setiap biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh penghasilan yang dikenakan PPh Final ditdak dapat dikurangkan dari penghasilan (Non Deductible).
  3. Atas PPh Final yang dipotong baik sendiri maupun pihak lain tidak dapat dikreditkan.
  4. PPh Final tidak perlu digabung dengan penghasilan yang tidak bersifat final karena prinsipnya apabila dikenakan PPh final maka dianggap telah tuntas/selesai.

Dalam pasal 6 UU PPh dijelaskan bahwa adanya penggunaan konsep matching cost againts revenue yaitu suatu persandingan antara pendapatan dengan beban yang terkait, yang menyatakan “besarnya penghasilan kena pajak ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu”. Hal ini menjelaskan bahwa pentingnya memperhatikan hubungan langsung antara penghasilan dan biaya menentukan boleh tidaknya biaya dikurangkan dari penghasilan kena pajak (direct matching), untuk dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak setidaknya harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut :

  1. Terhadap penghasilan yang diperoleh atau diterima (baik secara cash basis atau acrual basis) yang terkait dengan biaya dimaksud harus merupakan penghasilan kena pajak.
  2. Atas penghasilan kena pajak bisa bersifat final  (dikenakan dengan tarif final) atau tidak final (dikenakan tarif umum, pasal 17).

Bagaimana pengalokasian pembebanan apabila suatu perusahaan memiliki penghasilan yang tidak final sekaligus menerima penghasilan yang final, sementara sulit memisahkan baiaya-biaya yang digunakan apakah dalam rangka penghasilan final atau non final? Karena ketentuan perpajakan mengatakan bahwa biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan yang penghasilannya dikenakan PPh final tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto atas kegiatan yang dikenakan dalam PPh non final (tarif umum).

Sebagai perencana pajak yang baik tentu tidak akan melakukan alokasi biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan yang dikenakan penghasilan final kedalam pengurang penghasilan bruto atas kegiatan dalam PPh non Final, jika tidak ingin dikoreksi dengan tambahan sanksi yang besar, karena berdasarkan pengalaman “ane” dilapangan sangat banyak wajib pajak yang ane dapatkan, mungkin sengaja atau tidak sengaja melakukan kondisi seperti ini.

Dalam aturan perpajakan dikenal suatu istilah biaya bersama (joint cost) hal ini di atur dalam surat penegasan dari Direktorat Jenderal Pajak nomor S-198/PJ.42/2006 dimana pengertian joint cost ini adalah pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara suatu penghasilan dan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya. Atas penghasilan keduanya bersifat final dan non final (campuran).

Atas pembebanan joint cost dialokasikan secara proporsional berdasarkan perbandingan jumlah penghasilan bruto yang merupakan objek pajak maupun bukan objek pajak atau objek final maupun non final. Dalam pasal 27 Peraturan Pemerintah nomor PP-94/2010 dikatakan bahwa Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah apabila memiliki usaha yang penghasilannya dikenai PPh yang bersifat final dan tidak final; Obyek Pajak & Bukan Obyek Pajak. Akibat terdapat dua macam pendapatan, yaitu pendapatan final dan tidak final maka secara otomatis biaya tersebut harus pula di split antara biaya yang final dan tidak final. dan apabila biaya bersama tidak dapat dipisahkan, maka pembebanannya dialokasikan secara proporsional. Bagi seorang perencana pajak dapat melihat suatu wilayah yang mengatakan apabila biaya bersama tidak dapat dipisahkan, kalimat ini menurut ogut dapat diartikan opsional. Sehingga wajib pajak diberikan pilihan antara melakukan split cost atau joint cost mana yang lebih menguntungkan untuk digunakan.

Tax Saving Dalam Menentukan  Split Cost dengan Joint Cost

Terdapat penghematan pajak apabila perusahaan yang memiliki pendapatan yang bersifat final dan non final dalam pengalokasian biaya menggunakan split cost dengan kondisi penghasilan non final lebih besar dibandingkan pendapat final.

Contoh :

Loading…

(Ditulis sekedar informasi dan arsip aja :) ).