Satu ilustrasi yang sering saya sampaikan dalam diskusi perpajakan adalah bagaimana seorang owner perusahaan memerintahkan untuk melakukan pembebanan fiktif  misal dengan nilai Rp. 1 Milyar dalam  laporan keuangan dengan harapan mengecilkan laba, syarat tanpa terikat dengan jenis pajak lainnya. Tentu kecil kemungkinan, kecuali memang petugas fiskus alpa melakukan pengawasan, hal yang sama saya tekankan bahwa setiap keputusan bisnis selalu mengeluarkan efek transaksi yang berujung adanya aliran dana. Oleh karena itu tidak ada cara lain yang dapat dilakukan untuk mengecilkan pajak kecuali dengan memanfaatkan loopholes dengan pemahaman ketentuan dan kepastian hukum perpajakan, diketahui bahwa salah satu prinsip PPN yaitu prinsip destinasi (destination principal) yang mencerminkan keselarasan sistem pemajakan suatu negara. Maka dalam tulisan kali ini kita mencoba mempelajari hal tentang pajak kali ini berjudul sekilas transaksi penyerahan barang diluar daerah pabean.

Dalam Pasal 4  ayat 1 UU PPN dan SE-130/PJ/2010, terdapat  tiga syarat yang harus terpenuhi agar penyerahan barang dikenai Pajak Pertambahan Nilai yaitu:

  1. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
  2. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
  3. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Ketiga syarat tersebut pada angka 2 huruf a bersifat kumulatif. Dengan demikian apabila ada satu atau lebih syarat tersebut tidak terpenuhi maka atas penyerahan barang tersebut tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian apabila Pengusaha Kena Pajak melakukan transaksi :

  • Penyerahan Barang Kena Pajak yang secara nyata (fisik) berada di luar Daerah Pabean; atau.
  • Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak yang secara nyata (fisik) berada di Luar Daerah Pabean,yang dibuktikan dengan akta atau bukti otentik yang mendukung fakta terjadinya transaksi tersebut, tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Proses penjualan dari manufaktur hingga konsumen akhir dilakukan melalui mata rantai jalur produksi atau jalur distribusi dan setiap mata rantai dikenakan PPN 10%. Adapun mata rantai dapat meliputi Pabrikan—> Agen—–> Distributor—–>Retailer—-> Konsumen. Terjadinya penjualan/penyerahan  adalah saat terutangnya pajak dimana telah terjadi perpindahan penguasaan fisik atas suatu barang yang didukung dengan perjanjian dan dibuatkan faktur oleh penjual.

Bagaimana jika pabrikan berada diluar daerah pabean, maka penyerahan barang tersebut akan bergantung dari kontrak antara pabrikan dengan agen yang berada di Indonesia yang meliputi hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam transaksi internasional yang berbicara khusus barang berwujud (International Commercial Terms/Incoterms), hal ini menentukan saat dan tempat atau tanggung jawab penyerahan barang tersebut termasuk harga penyerahan serta pengenaan import duties (Bea Masuk, PPN dan PPnBM, serta PPh 22 impor) misalkan :

  1. Syarat penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan pada saat barang telah dimuat di atas kapal (Free On Board/FOB), kewajiban penjual adalah menempatkan barang di atas kapal dan menanggung biaya muat. Sedangkan kewajiban pembeli adalah menentukan pengangkut, menentukan kontrak pengangkutan, dan menanggung biaya angkut dan biaya bongkar. Export clearance dan biaya muat di atas kapal menjadi beban penjual. Sedangkan biaya pengangkutan maupun risiko sejak barang dimuat di atas kapal oleh penjual hingga ke tempat pembeli, serta import clearance menjadi beban pembeli.
  2. Syarat Cost, Insurance, and Freight/ CIF (Named port of destination), Penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan pada saat barang telah dimuat di atas kapal (on board). Kewajiban penjual adalah menentukan pengangkut (carrier), membuat kontrak pengangkutan, menempatkan barang di atas kapal, menanggung biaya muat, ongkos angkut, dan biaya bongkar di pelabuhan tujuan, serta biaya asuransi. Sedangkan kewajiban pembeli adalah menanggung biaya di luar beban penjual sesuai kontrak pengangkutan. Export clearance, biaya pengangkutan, dan biaya asuransi menjadi beban penjual. Sedangkan import clearance menjadi beban pembeli.

Berikut ini contoh mekanisme transaksi suatu bisnis yang sering terjadi dalam bisnis riil atas suatu penyerahan barang  yang saya ambil dari Buku  Optimizing Corporate Tax Manajement :

PT. User (Indonesia) berkedudukan di Kalimantan membuat perjanjian pembelian barang “BKP” dengan mengeluarkan Purchase Order (PO) kepada supplier-nya  (PT. Trader) yang berkedudukan di Jakarta. PT. Trader sendiri memesan barang tersebut dari PT. Agen berkedudukan di Jakarta yang bertindak sebagai Exclusive Sole Agent dari principal-nya di luar negeri yang merupakan produsen barang “BKP”.

PT. User mempunyai “Regional Logistic Base” yang terdaftar resmi untuk penerimaan barang di Singapura, serta memiliki kontrak kerja penunjukan PT. W sebagai International Freight Forwarder yang mewakili secara resmi PT. User untuk menerima barang “BKP” di “Regional Logistic Base” Singapura untuk melanjutkan secepatnya diterbangkan ke Kalimantan agar tidak terjadi keterlambatan (Delayed) penerimaan barang yang sangat dibutuhkan oleh user.

Dalam instruksi yang tercantum di PO disebutkan bahwa barang  “BKP” tersebut diserahterimakan oleh pabrikan Singapura kepada Regional Logistic Base Singapura dan selanjutnya International Freight Forwarder (PT. W) akan mengangkut barang BKP tersebut kedalam Daerah Pabean Indonesia (Kalimantan). Pengeluaran barang dari pelabuhan di Kalimantan untuk penyerahan barang ke user dilakukan setelah melunasi semua kewajiban import duties (Bea Masuk, PPN dan PPnBM, serta PPh 22 impor) yang terutang.

Interprestasi kasus tersebut ditinjau dari ketentuan perpajakan akan menimbulkan konsekuensi sebagai berikut :

  1. Dalam pasal 4a UU PPN diatur ketentuan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP yang dilakukan oleh pengusaha, dan atas impor BKP dijelaskan harus memenuhi syarat 1). barang berwujud yang diserahkan harus barang kena pajak, 2). barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak berwujud, 3). penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean, dan 4). penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan.
  2. Dalam surat penegasan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak S-267/PJ.52/2004 ditegaskan bahwa : a) Atas kontrak jual beli di dalam negeri yang penyerahannya dilakukan di luar daerah pabean, tidak terutang PPN karena tidak memenuhi syarat sebagai mana dimaksud pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPN. b). Suatu perusahaan tidak diwajibkan memungut PPN atau menerbitkan faktur pajak atas penyerahan BKP yang terjadi diluar Daerah Pabean. c). Perusahaan wajib melaporkan seluruh penyerahan yang dilakukan baik yang terutang maupun yang tidak terutang. d). Pada saat barang diserahkan di luar daerah pabean (diimpor), maka atas impor terutang PPN dan disetor serta dilaporkan oleh pihak yang melakukan impor.

Sehingga berdasarkan contoh tersebut di atas terdapat loopholes yang memungkinkan subjek pajak lolos dari pengenaan pajak, karena ketentuan hanya melihat lokasi penyerahan barang yang berada diluar daerah pabean dimana pembuktian  dilengkapi dengan dokumen bukti pembayaran lewat bank langsung ke pabrikan di luar negeri (contoh diatas singapura).

Pola 1 Penyerahan barang dilakukan di Singapura, Pabrikan (luar negeri selaku principal) —> PT. Agen —> PT. User

Selama penyerahan barangnya dilakukan sesuai syarat prangko gudang penjual (penjual menanggung biaya pengiriman sampai ke gudang pembeli) di Singapura atau loco gudang pembeli (pembeli menanggung biaya pengiriman barang dari gudang penjual ke gudang pembeli) di Singapura maka atas penyerahan barang tersebut tidak dikenakan PPN oleh PT. Agen (Misal Jakarta) terhadap PT. User (Misalnya Kalimantan), dengan catatan : 1). PT. Agen tersebut harus bisa membuktikan terdapat transaksi pembayaran langsung /lewat transfer langsung oleh PT. Agen (Indonesia) kepada pabrikan atau principal-nya di Singapura. 2). Kontrak perjanjian jual beli (Seperti PO) mensyaratkan dibuat/dilengkapinya bukti pemnyerahan barang/delivery order (DO) dari pabrikan luar negeri kepada user (PT. User) untuk penyerahan barang di Singapura.

Pola 2, Penyerahan barang dilakukan di Singapura,  Pabrikan (luar negeri selaku principal) —> PT. Agen (Ina) —> PT. Trader (Ina) —>  PT. User (Ina).

Selama penyerahan barangnya dilakukan sesuai syarat prangko gudang penjual di Singapura atau loco gudang pembeli di Singapura, maka atas penyerahan barang tersebut tidak dikenakan PPN oleh PT. Trader (Indonesia) terhadap PT. User dengan catatan : 1). PT. Trader harus bisa membuktikan adanya transaksi pembayaran transfer langsung oleh PT. Trader kepada pabrikan di Singapura. 2). Kontrak perjanjian jual beli (Seperti PO) mensyaratkan dibuat/dilengkapinya bukti pemnyerahan barang/delivery order (DO) dari pabrikan luar negeri kepada user (PT. User) untuk penyerahan barang di Singapura. Dalam hal ini PT. Agen (Indonesia) hanya bekerja sebagai perpanjangan tangan dari principal-nya di luar negeri dan hanya menerima penghasilan berupa komisi keagenan/agency fee yang diterima dari principal sesuai dengan perjanjian yang disepakati.

Disamping loopholes yang memungkinkan seorang subjek pajak lolos dari pemajakan dengan penguatan kepastian hukumnya seperti uraian di atas, subjek pajak dimungkinkan lolos dari pengenaan PPN apabila barang tersebut merupakan barang “hand carry” yang ukuran kecil namun bernilai mahal sehingga dapat lolos dari pelacakan proses custom clearance di Bea Cukai, sehingga secara otomatis semua import duties yang harus dibayar dan luput dari penerimaan negara, cara yang sangat berbeda dan naif dengan melakukan pembebanan fiktif dalam laba rugi demi mengecilkan pajak.

(Sebagai informasi dan arsip 🙂 )