Jika dalam kesaksian sebelumnya “Mari Kita Berhenti Merokok“, saat itu baru 10 (sepuluh) hari saya berhenti merokok. Namun, kini berkat doa pembaca setia nusahati sudah 11 (sebelas) bulan saya meninggalkan kebiasaan merokok. Tentu pembaca yang sedang bergumul atau berjuang untuk berhenti merokok ingin sekali mengetahui hal-hal atau kondisi serta permasalahan yang saya hadapi dalam rentang 11 (sebelas) bulan ini ketika saya harus menghentikan kebiasaan merokok yang sudah saya lakukan hampir 19 tahun.
Jangan pernah berfikir dengan berhentinya merokok maka saya menjauhi rekan, kawan, sahabat sesama penggiat rokok, justru tidak sama sekali. Bahkan saya yang menyukai diskusi masih tetap melakukannya di ruang pentry bersama rekan-rekan yang tetap konsisten merokok, dan saya tidak merasa terganggu atau sedikitpun berkeinginan untuk kembali menghisapnya. Di awal berhenti, teman-teman saat itu mungkin menganggap bahwa keinginan berhenti merokok adalah karena ’emosi sesaat’ seperti yang pada umumnya dilakukan oleh perokok, sampai akhirnya mereka pun mulai mengamini kesungguhan dan kekonsistenan itu.
Beberapa teman yang jarang bertemu, sering bertanya apalagi ketika habis makan, dimana saya tidak langsung merokok seperti biasa saya lakukan dahulu, atau saat mengobrol tidak menyalakan rokok seperti teman lainnya, bahkan tawaran pun saya tolak tanpa harus menjelaskan tentang penolakan itu. Bahkan hal lucu dan menggoda pernah dilakukan teman di kantor, “bang, masih simpen korek api nggak di lacinya, aku lagi nggak bawa korek nih,” sambil tersenyum… :P.
Entah darimana ceritanya, bebrapa teman yang dahulu pernah satu kantor datang dan bertanya langsung dengan saya, “Bang, Lae, aku denger dari teman katanya abang udah berhenti merokok ya, bener nggak?” Begitulah reaksi teman-teman karena memang sebelumnya saya termasuk perokok yang setia, disetiap tempat diluar kantor pasti dengan kondisi merokok.
Disini saya menyimpulkan bahwa keinginan berhenti yang total tidak perlu mengkhawatirkan atau menjauhkan hal-hal yang bersinggungan dengan rokok, seperti yang umum dilakukan oleh para “pembenci perokok”. Istilah “pembenci perokok’ saya bagi 2 (dua) tipe, pertama adalah orang yang tidak pernah merokok sama sekali dan kedua adalah mantan perokok yang total menjauh dari komunitas perokok. Karena bagi saya perokok adalah suatu pilihan untuk menjadi korban kehidupan yang seharusnya tidak terdiskreditkan, karena sikap seperti itu menurut saya tidak membantu para perokok untuk menghargai yang tidak merokok.
Kondisi Internal
3 (Tiga) bulan pertama saya memang merasakan suatu kehilangan. Pernah nggak kebayang, merasa kehilangan namun barang yang dianggap hilang itu ada dimana-mana. Sering terbayang enaknya merokok yang diiringi dengan kopi hangat. Namun dimasa itu saya masih berpedoman pada komitmen yang sudah saya deklarasikan sehingga membuat saya tetap bertahan pada komitmen tersebut.
Namun memasuki bulan-bulan berikutnya, mengalami perubahan dalam memandang kehilangan tersebut, kehilangan berubah makna menjadi kesadaran. Sadar bahwa untuk apa saat itu saya merokok, sadar sudah seberapa banyak rokok yang telah saya habiskan, sadar sudah seberapa banyak kebiasaan merokok tersebut membuat orang lain menghujat sinis, sadar bahwa saya pernah ada di dunia itu.
Dari kesadaran itu muncul cinta kasih, cinta kasih terhadap sesama perokok untuk mengikuti jejak saya dengan berhenti merokok, setidaknya hal pertama yang perlu dipahami bagi perokok adalah jangan mau dikendalikan oleh rokok. Apalagi dengan berhutang untuk mendapatkan rokok. Di sini saya bukan sedang mempengaruhi namun memberikan fakta bahwa saya yang sudah berusia 40 (empat) puluh tahun pun mau berubah, hal yang sulit dilakukan kecuali penyakit yang memaksa.
Hal Yang Salah Tentang Kebiasaan merokok
Sewaktu saya masih aktif merokok pernah menyimpulkan bahwa rokok sangat membantu saya untuk tetap terjaga saat kerja atau menulis di malam hari, sangat membantu untuk merangsang fikiran untuk lebih kreatif, menghilangkan suasana jenuh dan lain-lain yang pada prinsipnya pilihan rokok adalah tepat untuk itu.
Faktanya sekarang ini sedikitpun hal itu tidak mengganggu kebiasaan menulis blog sampai malam, jika merokok membantu saya terjaga atau menulis lebih kreatif. Demikian pula dalam pekerjaan, faktanya pekerjaan lebih cepat terselesaikan dan wajib pajak dipuaskan karena layanan yang lebih cepat, kenapa? yah “karena saya tidak harus wajib ke pentry hanya untuk sekedar menyegarkan fikiran dengan merokok :D.”
Dalam beberapa kali kegiatan yang yang melibatkan suasana pegunungan seperti Batu Malang, acara Internal Corporate Value di Puncak Bogor adalah momentum yang nikmat dalam merokok karena suasana pegunungan yang dingin, ternyata sekali lagi hal itu pun tidak sama sekali benar karena saya tidak tertarik melakukannya.
Beberapa teman mengatakan bahwa saya semenjak tidak merokok menjadi gembul karena dituduh makan banyak, sekali lagipun itu tidak tepat. Saya tidak gembul hal itu jelas, namun yang ada memang saya akui perut saya makin buncit karena kesalahan tidak berolah raga, bukan akibat makan/ngemil terlalu banyak.
Ujian Masih Berjalan
Sekali lagi masa 11 (sebelas) bulan bukan berarti saya memang sudah berhenti total, karena hal ini pun masih kategori terlalu dini. Karena banyak rekan-rekan di luar sana yang sudah berhenti merokok cukup lama pun akhirnya merokok kembali. Dari beberapa alasan mereka adalah bahwa keinginan itu muncul begitu saja, walau beberapa diantaranya mengakui bahwa hal tersebut adalah pelarian dari suatu masalah mereka, pertanyaan saya adalah “apakah setelah masalah itu selesai, maka akan berhenti merokok?.” Atau tetap merokok karena memang, masalah selalu muncul silih berganti?”
Untuk itulah penulis tetap dengan kerendahan hati memohon agar pembaca tetap mendoakan saya agar konsisten dengan komitmen berhenti merokok ini, dan bersama saya mari kita berdoa untuk teman-teman yang sedang bergumul untuk berhenti merokok agar dimampukan.