Sejak diangkat menjadi Guru Besar dalam Ilmu Akuntansi pada akhir 2010 hingga kini, dalam sejumlah kesempatan saya sering mendapat pujian dan sanjungan dari banyak orang. Mereka mengatakan begini, “Wah hebat! Anda pasti orang yang luar biasa. Bagaimana caranya Anda bisa meraih gelar Profesor / Guru Besar?”
Selain mendapat pujian, saya juga mendapat info bahwa sejumlah mantan dosen saya saat kuliah S1 tidak percaya bahwa saya bisa mencapai tingkat Guru Besar. Sejumlah rekan kuliah S1 saya juga menyatakan hal yang sama. “Ah, Andreas Lako itu kan dulu tidak pintar. IPK-nya juga pas-pasan. Kuliahnya juga 5 tahunan… Kok bisa ya, jadi doktor, guru besar, dan profesor….”
Mendengar berbagai pujian, keraguan dan pertanyaan tersebut, saya hanya tersenyum geli. Saya sulit menjelaskannya secara rasionalitas ilmiah. Saya hanya bisa menjelaskannya dari perspektif iman.
Begini ceritanya. Setelah bekerja sebagai dosen dan menikah tahun 1997, pada Agustus 1998 kami dikarunia anak pertama yang cacat total. Anak kami ini menderita penyakit cerebral palsy (CP). Selain menderita secara fisik, anak kami ini (namanya Gloria) juga sering keluar-masuk rumah sakit sehingga membuat kehidupan ekonomi kami stressss. Anak kedua kami yang lahir tahun 2000, juga mengalami kelainan pada kulitnya (penyakit ichthyosis) dan sering sakit-sakitan juga.
Selain sangat menderita secara psikis, sosial dan iman, kami juga menderita secara ekonomi. Semua penghasilan saya dan istri sebagai dosen terkuras habis untuk membiayai pengobatan anak-anak kami, baik secara medis maupun alternatif. Untuk hidup sangat susah.
Dalam kondisi hidup yang menderita dan stres secara ekonomi, saya kemudian belajar menulis artikel untuk dikirim ke majalah dan koran-koran nasional agar bisa mendapatkan uang. Meski pada awalnya hampir semua tulisan yang saya kirim ditolak atau tidak dimuat, namun saya tidak pernah putus asa. Saya terus-menerus mencoba dan belajar menulis. Sering kali saya ditertawakan oleh istri dan keluarga, namun saya tetap gigih mau menulis.
Ternyata, kegigihan saya lambat laun mulai membuahkan hasil. Beberapa tulisan mulai dimuat. Bangga dan senangnya luar biasa ketika mulai ada tulisan saya dimuat dan mendapatkan honor.
Saat diminta kampus untuk melanjutkan studi S2 (2000-2001) dan S3 (2002-2007) di UGM, saya manfaatkan waktunya dan pengetahuan baru yang diperoleh saat kuliah untuk memperdalam kemampuan menulis saya. Hampir semua tugas kuliah saya persiapkan dengan baik. Kemudian, saya tulis kembali secara baik untuk dikirim ke majalah dan jurnal ilmiah yang ada honornya. Saya juga aktif mengirim artikel ke berbagai simposium dan konferensi yang ada hadiahnya bagi the best paper. Beberapa kali saya mendapatkannya.
Selama 6 tahun kuliah S2 dan S3, saya bisa menghasilkan sekitar 70 artikel ilmiah di jurnal, 100-an artikel di media massa, dan 3 buku referensi. Uang hasil tulisan itu sangat membantu perekonomian rumah tangga kami, khususnya untuk pengobatan anak-anak kami. Saya juga bisa lulus S2 dan S3 dengan predikat cum laude. Karena karya-karya yang sangat banyak itu, pada tahun 2008 saya terpilih menjadi Dosen Berprestasi Tingkat Jawa Tengah dan juga pada tingkat nasional. Pada tingkat nasional, saya masuk dalam 10 besar.
Karena diajukan menjadi kandidat dosen berprestasi, saya pun mengumpulkan semua karya tulis saya dan mendokumentasinya secara baik. Prinsip saya, jika diberi kepercayaan oleh lembaga atau oleh siapa pun, maka jangan sia-siakan kepercayaan itu karena hal itu sebenarnya berasal dari Tuhan.
Setelah usai acara Dosen Berprestasi tingkat nasional, semua dokumennya diminta kampus saya untuk dihitung nilai angka kreditnya. Setelah dihitung, ternyata nilai angka kredit saya di atas 1000. Saya diberitahu bahwa bisa loncat dari Lektor ke Guru Besar karena yang dibutuhkan ke Guru Besar “hanya” 850 angka kredit.
Meski awalnya tidak berminat karena merasa tidak pantas dan konsekuensinya pasti berat, namun mengingat jurusan, fakultas, dan universitas saya juga membutuhkan saya menjadi Guru Besar, saya lalu setuju untuk diajukan ke jenjang Guru Besar. Pada 1 Desember 2010, keluarlah SK Menteri Pendidikan tentang pengangkatan saya menjadi Guru Besar dalam Ilmu Akuntansi.
Secara rasional ilmiah, saya sulit menjelaskan pencapaian di atas. Namun secara iman, saya merefleksikan bahwa pencapaian Guru Besar itu adalah suatu mahakarya Allah. Gelar itu adalah hadiah termulia yang diberikan Allah kepada saya.
Ternyata melalui penderitaan kedua anak saya, Tuhan mau membawa saya ke tangga Guru Besar. Melalui jalanNya yang berat dan berliku, Allah mau menempa saya untuk menjadi pribadi yang ulet, gigih, dan cerdas dalam menghadapi realitas kehidupan.
Saya baru menemukan jawaban “rahasia” yang sesungguhnya itu justru pada saat “menyendiri” mempersiapkan pidato pengukuhan Guru Besar pada April 2011. Ketika jawaban itu saya temukan, jantung terasa tak berdetak. Saya terpaku di kursi dan meneteskan air mata. Pikiran saya menerawang jauh mengenang kembali saat-saat mengalami cobaan demi cobaan dan penderitaan demi penderitaan yang dialami kedua anak kami, khususnya putriku Gloria yang telah dipanggil Tuhan pada akhir April 2006.
Saya juga semakin takjub terhadap kebesaran Allah karena di balik berbagai cobaan atau ujian yang datang silih berganti kepada keluarga, tapi selalu ada berkah dan pertolongan yang diberikan Allah. Saya merasakan kehadiranNya. Itu sebabnya, saya sangat sulit menjawab pertanyaan dari para kolega atau relasi tentang kiat-kiat menjadi Profesor/Guru Besar karena sangat bersifat pribadi.
__________
Prof. Andreas Lako adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata, Semarang. Tulisan selengkapnya, dari artikel di atas, ada di Majalah Luar Biasa edisi Maret 2013.
Sumber : https://www.andriewongso.com/articles/details/9259/Rahasia-di-Balik-Gelar-Profesor