Saudara-saudara, minggu lalu kita sudah mulai membicarakan tentang dengar cepat-cepat, kata lambat-lambat. Dan jangan cepat marah. Jangan cepat marah ini salah satu sifat Tuhan Allah, Dia tidak mudah marah, Dia tidak gampang marah. Kita merenungkan ayat ini dengan konteksnya maka kita jangan lari, karena apa yang disebut ‘dengar’ di sini bukan dengar segala sesuatu harus cepat. Saudara-saudara, dengarlah dengan cepat, berkatalah dengan dengan pelan, berarti kita harus cepat-cepat menerima dan jangan terlalu cepat bereaksi. Apakah yang disebut di sini, ‘dengar cepat-cepat’? Dengar apa harus cepat-cepat? Apakah ini berarti dengar segala sesuatu, semua yang diberikan kepada kita, kita dengar dengan cepat-cepat? Tidak. Jikalau ini adalah satu istilah ‘dengar’ maka jangan lupa Yakobus ditulis kepada orang Yahudi, dan orang Yahudi mengerti ‘dengar’ itu mempunyai arti yang khusus di dalam sepanjang kebudayaan dan sejarah orang Israel. Karena kebudayaan Yahudi adalah kebudayaan yang berbeda dengan semua kebudayaan, karena ini satu-satu kebudayaan yang dituntut untuk mendengar. “Hear ye Israel, Ooo Israel, dengarlah kepada Tuhanmu.” Dengar Tuhan, dengar firman Tuhan, dengar apa yang diwahyukan Tuhan. Jadi kalau buku ini ditulis kepada orang Yahudi, maka orang Yahudi mengerti apa artinya ‘dengar’ berkait dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhan kepada bangsa, kepada nenek moyang mereka. Itu sebab istilah ‘dengar’ di sini bukan dengar segala sesuatu, karena sebelumnya dan sesudahnya kait dengan firman. Saya sudah bicara kepada Saudara, bedanya Hebrew dan juga bedanya antara Hebrew dan Grika adalah satu kebudayaan yang dengar, satu kebudayaan yang melihat. Seluruh kebudayaan Grika, Hellenistic culture adalah untuk melihat apa yang dicipta oleh Tuhan, lalu memikir, menghitung, menspekulasi, menganalisa, merumuskan dan menjadi natural science. Tetapi kebudayaan Ibrani adalah mendengar suara dari Tuhan, bukan ‘yang dicipta’ tetapi ‘Yang Mencipta’, akhirnya mengerti teologi supranatural. Natural science di ‘dunia ini’, teologi supranatural di ‘dunia itu’. Melalui dengar kita mengerti apakah kunci rahasia untuk memberikan interpretasi dunia yang dicipta. Jadi wahyu khusus adalah kunci mengerti wahyu umum, dengar wahyu Tuhan menyatakan rahasia untuk mengerti apa yang dicipta oleh Tuhan di dalam dunia ini. Kebudayaan Yunani adalah kebudayaan yang menjadi pelajar, studi akademis, tapi kebudayaan dari pada pendengaran firman Tuhan menjadi kebudayaan menemukan iman kepercayaan, credo, konfesi, dan interpretasi akan dunia ini. Wahyu umum tidak mungkin dimengerti kecuali melalui kunci wahyu khusus. Hidup di dunia tidak mungkin menjadi berarti mengerti makna apa artinya hidup di dunia melalui yang diwahyukan Tuhan. Nah ini semua sudah tersimpan di dalam teologia Reformed yang begitu ketat. Maka di dengar dari depan, dari belakang, konteks dari istilah ini bukan dengar segala sesuatu secara cepat, cepat-cepat dengar semua? Enggak. Dengar firman Tuhan harus cepat, tetapi reaksi kepada firman Tuhan pelan dan jangan cepat marah. Nah kalau kunci ini sudah dapat maka kita mengerti menafsirkan kitab ini tidak akan sembarangan.
Saudara-saudara, mari kita melihat pengertian integratif dan sesuatu pengertian saling relasi melalui satu kunci atau satu prinsip yang saya sebut juga organic theology, pengertian teologi organis sehingga setiap ayat dan setiap kalimat, setiap bagian Kitab Suci ber-erat relasinya antara muka-belakang, Perjanjian Lama-Perjanjian Baru, pasal sebelum-pasal sesudah, ayat sebelum-ayat sesudah, itu semua terintegrasi jadi satu. Itu sebabnya janganlah engkau terlalu pelan tapi cepat-cepat mendengar, dan jangan engkau cepat, pelan-pelan reaksi terhadap apa yang engkau dengar, dan jangan cepat-cepat marah. Sesudah itu dikatakan “buanglah segala dosa yang berkelebihan, buanglah segala kejahatan yang begitu banyak,” baru engkau bisa “dengan hati yang lembut menerima firman yang ditanamkan dan firman itu menyelamatkan jiwa.” Dengan demikian jelas ini pendengaran bukan mendengar segala sesuatu, mendengarkan firman. Nah Saudara-saudara sekalian, kalau yang bicara bukan bicara firman, yang dengar tidak ada artinya mendengar, karena mendengar firman. Itu sebabnya gereja yang baik adalah gereja yang betul-betul mementingkan firman, mempelajari firman, meyakini firman, dan mengabarkan firman sehingga gereja itu harus mempunyai sikap mau dengar, dengar, mendengar firman. Sikap mendengar firman yang baik harus ditujukan kepada sikap memberitakan firman yang setia. Jikalau yang mengabarkan firman itu sembarangan mak dia tidak berhak menuntut pendengar mendengar dengan baik. Jikalau yang mengkhotbahkan itu sungguh-sungguh serius memberitakan firman dia harus tuntut pendengar tidak boleh sembarangan mendengar firman. Dengan demikian keseimbangan antara pengkhotbah dan yang mendengarkan firman sama-sama bertanggung jawab kepada Tuhan dan sama-sama akan diuji atau akan diperkenan oleh Tuhan.
Saudara-saudara sekalian, dengarlah baik-baik. Kalau kita melihat dari Musa sampai Maleakhi, Perjanjian Lama semua nabi tidak berkhotbah dengan main-main. Tidak ada satu nabi, tidak ada satu pengarang Alkitab menulis itu dengan main-main, dengan pikiran imajinasi, akhirnya tidak berdasarkan fakta atau mencampuri kemauan sendiri di dalam tulisan, tidak. Seorang Inggris datang ke Amerika mengkritik dalam suatu konferensi tentang cara homiletik yang diajarkan di dalam sekolah theologi Amerika. Lelucon dulu, bikin orang senang, baru khotbah. Lalu orang Inggris itu mengatakan, “Saya mau tahu, di mana ada contoh seperti itu di dalam Alkitab? Apakah harus begini?” Saya tidak berarti tidak boleh ya membicarakan sesuatu yang bikin orang ketawa, bukan. Tapi yang paling penting bukan itu, karena itu hanya menjadi bumbu sedikit saja. Yang paling penting adalah engkau dengan serius memberitakan firman. Dia mengatakan, “Saya tidak menemukan di dalam Alkitab ada cara bikin orang senang-senang, ketawa-ketawa, baru menyampaikan firman.” Karena itu bukan satu contoh dalam Alkitab, semua penulis Alkitab adalah orang yang serius, orang yang bertanggung jawab, orang yang betul-betul menghadap Tuhan waktu mereka memberitakan. Sehingga bukan psikologi umum, bukan psikologi masal yang dipergunakan, tetapi wibawa kehadiran kuasa Roh Kudus dan kebenaran firman itu yang menjadi unsur yang penting di dalam khotbah. Dengan demikian orang mendengar mereka merasa kehadiran Tuhan. Hadirat Tuhan berada di dalam tempat di mana khotbah itu diberikan, firman disampaikan. Di mana saja manusia merasa here is the Temple of God, here is the Gate to Heaven.
Istilah Bait Allah pertama kali muncul di dalam seluruh Kitab Suci itu bukan dari pada Daud, meskipun Daud yang ingin mendirikan Bait Allah tapi bukan dari dia. Istilah Bait Allah yang pertama kali muncul, bukan dari Musa meski Musa yang diberikan wahyu bagaimana membikin kemah dengan segala ukuran yang tidak boleh berubah menurut apa yang ditetapkan di Surga dan dinyatakan kepada dia di bukit Horeb. Tetapi istilah Bait Allah muncul pertama kali dari mulut Yakub di dalam Perjanjian Lama. Dan pada waktu Yakub mimpi ada salah satu tangga yang dari bawah atas sampai bawah, dan malaikat naik-turun di atas tangga, itu melambangkan ada jalan mempersatukan Allah melalui pengantara yaitu tangga itu. Itu Kristus. Begitu dia bangun dia mengatakan, “Here is the gate of Heaven, the temple of God.” Ini adalah Bet Elohim, Bethel, ini adalah Bait dari pada Allah, ini adalah pintu Surga. Itu pertama kali di dalam seluruh Kitab Suci. Pada saat ia mengatakan kalimat itu maka Dia pertama-tama mempunyai konsep yaitu Bait Allah adalah tempat di mana Tuhan menyatakan diri kepada manusia, di mana manusia bersekutu dengan Tuhan Allah, di mana ada pengantara yang menjembatani kedua ini dan ada malaikat yang layani. Dan ini berarti dia mengerti Kristus yang menjadi pengantara, mediator, di tengah-tengah manusia dan Tuhan Allah. Dan demikian di dalam Kristus, Allah bertemu dengan manusia, itu namanya Bait Allah. Dan pada waktu itu dia mengatakan kalimat itu, “Inilah Bait Allah,” justru di padang belantara. Maka konsep dari permulaan Bait Allah bukan bangunan. Di tempat tidak ada bangunan di situ bisa menjadi Bait Allah karena manusia sadar di situ Allah menyatakan diri. Di sini Allah hadir, di sini saya berada di bawah anugerah Tuhan Allah, di sinilah firman Tuhan disampaikan baik oleh nabi, oleh Yesus Kristus maupun oleh para rasul. Semua mempunyai gejala yang sama. Tidak tentu mereka memakai bangunan yang besar baru mereka menyampaikan firman Tuhan. Yunus menyampaikan firman Tuhan di tengah-tengah jalan, berkata kepad raja sampai kepada rakyat, “Bertobatlah kamu!” Di kota Niniwe tidak ada gereja di situ, tidak ada gedung di situ. Musa berbicara kepada Firaun, “God says let My people go,” kepada Firaun. Waktu itu di dalam Istana tidak ada tempat untuk Bait Allah tetapi Tuhan hadir dan berkata-kata dan di situ kuasa Tuhan menyatakan. Yesus berkhotbah di bukit, Yesus berkhotbah di pantai, Yesus berkhotbah di jalan, Yesus berkhotbah di sawah, Yesus berkhotbah dari kapal dan orang ada di pantai dengar khotbah Dia, di situ Bait Allah. Di mana Tuhan hadir, di mana kuasa Tuhan memeteraikan orang yang memberitakan firman, di situ menjadi Bait Allah. John Wesley pada waktu tidak diijinkan lagi naik mimbar karena dia menjadi sesuatu keunggulan yang membikin semua pendeta-pendeta Anglican iri hati kepada dia, setelah dia tujuh kali keliling ke Atlantik seberang sana, lalu semua boikot dia tidak boleh khotbah, dia mengatakan, “Kalau tidak ada mimbar boleh saya naik di seluruh Inggris tidak apa, saya paling sedikit boleh berdiri di atas kuburan ayah saya karena itulah sebidang tanah yang dimiliki dengan sertifikat hak milik keluarga kami sendiri. Di situ saya berkhotbah, tidak ada orang boleh larang saya.” Dan inilah permulaan dari John Wesley mempunyai konsep khotbah di luar gereja, di lapangan terbuka, di tempat kuburan dan temannya George Whitfield berkotbah di depan pabrik dan halaman yang kosong. Dan ternyata gereja yang bisa menampung hanya 500 – 1000 orang mereka telah berkotbah paling banyak satu kali 80.000 orang tidak pakai speaker karena 250 tahun yang lalu. Ini terjadi di Inggris oleh George Whitfield. Bait Allah, pembicaraan firman Allah, yang penting kehadiran Allah, kuasa Allah, urapan Roh Kudus, penyertaan Tuhan Allah sendiri. Yang penting bukan gedung dan bukan tempat yang disebut Bait Allah. Saudara-saudara, kalau firman Tuhan sudah disampaikan, wibawanya, otoritasnya itu yang lebih penting daripada yang lain. Maka engkau lihat, para nabi sampai para rasul, semuanya menjalankan prinsip yang sama seperti ini. Dan di sini dikatakan, “Dengarlah cepat-cepat dan bicaralah pelan-pelan.” Kalau firman sudah disampaikan, kalau firman yang berotoritas sudah diberikan, kalau Tuhan sudah menyatakan hadir di dalam pemberitaan Tuhan itu, dengar dengan cepat! Berarti: Jangan lolos, jangan kurang sesuatu, dengar dengan teliti, cepat menerima semuanya!
Saudara-saudara, saya dari umur 17 berkhotbah, umur 20 lebih bikin kebangunan rohani. Saya menemukan di mana-mana saja, waktu itu belum ada tape recorder, yang masih populer, sudah banyak orang catat cepat-cepat, takut ketinggalan apa yang saya khotbahkan itu hilang dari sebagian. Dan kadang-kadang selesai khotbah, ada orang datang, ‘Tadi poin yang ketiga apa ya? Saya tadi nggak sanggup karena terlalu cepat. Dia mau isi lagi, mau mereka pelajari.” Setelah ada tape recorder, sekarang semua orang itu pake tape recorder. Pertama kali saya ke Singapore, kira-kira 20 tape recorder kecil-kecil yang terus taruh di situ. Tetapi waktu itu cuma bisa setengah jam. Sehingga kalau sudah selesai setengah jam, mereka musti cepat-cepat balikkan kaset itu. Begitu datang satu per satu, datang, saya marah, suruh mereka pulang! Kaget setengah mati mereka, nggak pernah melihat ada pendeta galak seperti ini. Nah itu bikin kebangunan rohani yang bikin orang Singapore sampai sekarang masih ingat. Dan salah satu orang yang ikut kebaktian itu sekarang sudah menjadi rekan STEMI, Pendeta Thomas Kho, di Singapore. Waktu itu dia masih umur 16. Saudara-saudara sekalian, orang rekam karena apa? Karena mau dengar, mau dengar lagi, nanti pulang ingat lagi, jangan ada yang hilang! Nah ini sikap yang dikatakan di sini, “Cepat-cepat dengar, cepat-cepat terima, cepat-cepat menerima firman Tuhan yang disampaikan kepadamu karena firman yang dihadiri oleh Tuhan, firman yang berkuasa dari Tuhan, firman yang mempunyai perintah itu, menjadi berita untuk merubah engkau dan untuk memakai engkau untuk merubah dunia.” Itulah sebabnya, dengarlah cepat-cepat! Saudara-saudara, sekarang tape recorder sudah ada, semua sudah nggak usah dengar baik-baik. Ya kalau perlu, nggak usah datang. Nggak usah datang juga nggak apa-apa, beli kaset. Dengan demikian, kita pelan-pelan dengar. Saudara-saudara, mereka yang hadir sendiri, mereka yang betul-betul datang sendiri mendengar cepat-cepat, itu yang paling saya hargai. Satu kali, ada orang suruh saya pasang microphone, saya kira dari panitia, saya pasang. tidak lama lagi, ada orang suruh pasang lagi, saya pasang lagi. Setelah pasang 3, baru saya sadar, kok banyak sekali ya? Lalu saya tanya, “Ini apa?” “Ini tape recordernya saya sendiri.” Saya langsung buang dia karena dia tidak minta izin dari panitia, suruh saya pasang speaker-nya dia, pasang microphone lalu dia bisa rekam dengan jelas. Sedangkan orang yang datang tidak dengar yang jelas karena gedung itu kurang baik, dia pentingkan sendiri saja. Saya selalu mengutamakan orang yang datang sendiri dulu. Karena orang yang datang sendiri harus bangun pagi, orang yang datang sendiri harus naik kereta, harus buang waktu, harus datang sendiri di dalam kebaktian, itu dihargai lebih daripada mereka yang tidak mau datang, cuma kirim uang belikan kaset saja – karena saya sudah bisa dengar.
Dengar cepat-cepat! – ini adalah perintah Alkitab. Dengar sendiri, dengar baik-baik, dengar dengan menerima, dengar cepat-cepat! Tetapi kalimat selanjutnya dikatakan, “Bicara pelan-pelan.” Apa sebab? Karena setelah dengar, jangan reaksi dulu, pikir dulu. Setelah dengar firman Tuhan, jangan lawan dulu, renung dulu. Mengapakah banyak orang tidak bisa tunggu? Mereka cepat-cepat mendengar, cepat-cepat bereaksi. Karena pertama, saya menemukan beberapa sebab kenapa orang bereaksi dengar khotbah mereka tidak setuju langsung melawan. Pertama, karena konsep daripada pengkhotbah berlainan dengan konsep yang mendengar. Maka, ‘Oh saya nggak setuju. Kenapa khotbah begini?’ – mulai reaksi, bicara terlalu cepat. Kenapa? Karena konsep berbeda. Nah saudara-saudara, konsep itu semua orang mempunyai, semua orang mempunyai sifat individu, mempunyai sifat subjektif, mempunyai sifat pengalaman pribadi, mempunyai sejarah penerimaan konsep, itu sebab pembentukan konsep menjadikan engkau seorang yang berpendirian. Tidak ada salahnya engkau mempunyai pendirian, tidak ada salahnya engkau mempunyai tanggapan terhadap hal-hal tertentu yang sudah engkau renungkan, sudah engkau pikirkan, itu pasti. Tetapi pada waktu konsep yang sudah dibentuk itu berlainan dengan konsep firman Tuhan maka terjadi terbenturnya waktu engkau dengar. Nah di sini engkau reaksi, ‘Saya tidak seneng khotbahnya dia, saya tidak setuju khotbah hari itu!’ Silahkan! Tetapi, kalau yang khotbah berkonsep salah, yang melawan berkonsep betul, itu malah kita harus memuji yang berani melawan. Seperti, Agustinus berkata, “Jikalau engkau menemukan khotbahku tidak sesuai dengan Alkitab, maka tinggalkanlah aku, kembali ke Alkitab!” nah di sini fair, fair – berarti boleh kita setuju kalau yang mendengarkan khotbah mempunyai pendirian yang benar, teologi yang benar, lalu yang khotbah sembarangan, dia melawan itu, tidak apa. Tetapi saya sudah katakan dari bagian pertama, khotbah yang takut kepada Tuhan berasal dari Tuhan, dan dihadiri Tuhan dengan otoritas urapan Roh Kudus, itu adalah khotbah yang pengkhotbah sendiri sudah bertanggung jawab kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh mengerti dan diurapi dan dihadiri oleh Tuhan, dia memberitakan firman dari Tuhan, maka konsep kita kalau berbeda, kita jangan terlalu cepat melawan. Itu namanya bicara pelan-pelan. Dengar cepat-cepat, bicara pelan-pelan. Karena apa? Karena konsep kita berlawanan dengan konsep Alkitab, maka yang perlu dikoreksi adalah konsep kita, bukan Alkitab yang perlu dikoreksi. Tetapi orang-orang rasional, orang-orang komunis, orang-orang ateis, orang-orang sekuler, orang-orang post–modern, orang-orang yang self-centered people, mereka begitu baca Alkitab, dengar firman langsung tidak setuju, karena apa? Mereka anggap diri pintar.
Nah Saudara-saudara sekalian, maka sebab kedua kenapa kita tidak bisa terima firman yang ditaburkan yang sungguh-sungguh firman Tuhan? Karena kita memang mempunyai sifat yang sudah kaku, hanya membenarkan diri saja. Selain konsep itu berbeda, kita mempunyai sikap “apa pun saya betul, apa pun saya tidak mau terima,” sehingga kita cepat melawan, cepat mengoreksi, cepat bereaksi karena kita tidak mau terima. Itu pemutlakan diri, absolutized yourself, merupakan suatu hal yang menjadikan dirimu sulit dirubah oleh firman. Saudara-saudara sekalian, ada orang yang dengar satu kali khotbah terus berubah, ada orang yang dengar 100 ribu kali khotbah tetap sifatnya tidak rubah. Karena apa? Dia tidak bersedia untuk berubah. Kenapa ke gereja? Kenapa mesti dengar? Hanya membuktikan dia orang Kristen yang rajin, supaya orang lain puji dia. Setiap kali engkau datang ikut kebaktian, dengarkan khotbah, bersedia dengan satu sifat, “melalui firman yang saya dengar saya bersedia dirubah oleh Tuhan,” amin? Kalau engkau tidak bersedia dirubah, engkau selalu membenarkan diri, tak mungkin ada kemajuan kerohanian. Saudara-saudara, sebagai pemimpin biasanya suka bicara, jarang mendengar. Tetapi kalau ada kesempatan orang bicara, saya mendengar, saya coba berusaha mendengar dengan teliti. Nah kalau betul ada sesuatu konsep yang benar di antara apa yang saya dengar yang boleh merubah saya, saya harus bersedia untuk dirubah. Ini sikap yang baik. Nah ini sebab pertama konsep berbeda, langsung lawan. Sebab kedua, membiasakan diri, memutlakkan diri, tidak mau dirubah, maka lawan.
bersambung…
Sumber : https://www.grii-jogja.org/cepat-mendengar-2-20-oktober-2019/