cerita ini dikirim bos kepada setiap anak buahnya termasuk saya, begini ceritanya….
Suatu malam, seorang anak bercerita kepada bapaknya tentang kejadian di sekolahnya. Karena hari itu hari pertama masuk setelah libur semesteran, maka guru meminta murid-muridnya bercerita tentang pengalaman mereka mengisi liburan sekolah. 15 dari 19 temannya bercerita tentang pengalaman mereka berwisata ke luar negeri mulai dari yang naik perahu naga di Hong Kong, naik ke atap Jinmao Tower di Shanghai, lari-lari di alun-alun raksasa kota Beijing, naik gondola di Venice, mejeng di bawah Eiffel Tower, bikin istana pasir di West Coast dan Pattaya, sampai yang sekedar jalan-jalan di Orchad Road di negeri tetangga terdekat kita. Dalam hati, bapak itu bergumam, “weleh..weleh…sungguh beruntung anak-anak itu, masih kecil-kecil udah bisa plesiran ke negeri orang. Aku udah 40 tahun lahir, belum pernah mbayar fiskal sekalipun !”.
Kemudian ditanyainya putri sulung kesayangan yang mulai beranjak gedhe itu. Tak terasa anaknya telah kelas satu SMP sekarang. “Kamu sendiri cerita apa tadi di sekolah, anak cantikku?”. Bidadari kecilnya hanya menggeleng. Ia hanya memainkan beberapa gantungan kunci oleh-oleh dari temannya. “Kenapa? bukankah kamu juga punya pengalaman yang bisa diceritakan kepada teman-temanmu ?”, ia melanjutkan.
”Apa yang bisa diceritain pak ? liburan kemarin kan kita cuma metik abiu di Mekar Sari, nonton konser Letto di Fantasy Island, sama main air di Eldorado doang. Basi dong pak, gak level !”, kata anaknya bersungut-sungut. Bapak itu terpana. Dipandanginya anaknya lekat-lekat. Ia tahu, anaknya gak pede menceritakan pengalaman liburannya. Bisa dimaklumi, liburan rasa lokal memang tak sebanding dengan going abroad. Dari aromanya aja udah beda, apalagi rasanya.
Semalaman ia merenung…”kasihan bener anakku, kecil-kecil udah menanggung rasa minder yang luar biasa”, hatinya menjerit. Dipandanginya lagi wajah anak sulungnya yang telah terlelap. Item tapi terlihat sangat manis. Wajahnya tidak semuram waktu bercerita tadi. Mungkin ia sedang bermimpi menikmati udara sore di The Bund, di pinggiran Huangpu River, Shanghai. Tes..tes…dua titik airmatanya menetes. (Nggilani, laki-laki kok nangis !)
Sabtu pagi lelaki itu bersama istri dan ketiga anak perempuannya belanja beras, minyak goreng, mi instan dan kebutuhan pokok lainnya. Kali ini jumlah yang dibeli lebih banyak dari biasanya. Sabtu malam, ketika ketiga anak mereka telah terlelap, suami istri itu sibuk membungkus beras dan kebutuhan pokok yang dibelinya tadi pagi ke dalam kantong-kantong plastik. Tanpa suara, hanya bahasa tubuh dan senyum mereka menyebarkan aroma cinta, memenuhi ruangan keluarga tiga kali empat meter itu. Sepuluh kantong plastik terisi sudah. Hanya itu, tak ada sisa lagi yang bisa dibungkus.
Minggu pagi, 13 Januari. Hari ini, dua belas tahun yang lalu adalah saat dimana anak sulungnya lahir. ”Selamat ulang tahun sweety !”, itu ucapan pertama yang keluar dari mulut lelaki 40 tahun itu, ketika anak sulungnya turun dari tempat tidur. Dipeluknya ABG-nya dengan erat, dibelainya pelan rambut kusutnya. Sungguh, suatu kemesraan dan ungkapan cinta yang sangat sederhana!.
Siang hari, tanpa pengumuman terlebih dahulu diajaknya ketiga anaknya pergi ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi. ”pak ngapain ke tempat ginian ? jorok banget sih ! bau lagi !” ketiga anaknya protes begitu ayahnya memarkir mobil kotak kebanggaannya di kawasan Bantar Gebang. Ya tepat sekali!, inilah kawasan dimana setiap hari orang Jakarta tanpa malu-malu mengirim ratusan ton sampah ke sini. ”He…he…he… tenang aja honey, pasti banyak yang bisa kita lihat di sini. Siapa yang mau ikut bapak naik ke bukit itu ?”, katanya mencoba menetralisir kejengkelan anak-anaknya. Bisa diduga, tak ada yang berminat pada ajakannya. Anak generasi abad 21 bo!, mana ada yang enjoy berwisata ke tempat ginian. Beruntung ia punya istri yang setia menemani kemanapun ia pergi. Bak sepasang kekasih yang lagi jatuh cinta, laki bini itu mesra sekali menaiki bukit sampah setinggi 15 meter itu, meninggalkan ketiga bidadari kecilnya cemberut di mobil. Kedua tangan mereka menenteng kantong plastik yang telah mereka siapkan semalam. Tujuan mereka sederhana saja: berharap bisa menemukan orang yang bersedia menerima bingkisan kecilnya di atas sana.
Sepuluh menit kemudian mereka kembali, sumringah sekali. Namun the new millennium children-nya tetap cemberut. Bedanya, sekarang mereka menutupi hidungnya dengan telapak tangan!. Perjalanan pulang mereka terasa sangat sepi. Rupanya suami istri itu telah kompak untuk tidak bicara sepatah kata pun. Tak ada niat sama sekali dalam hati mereka untuk menceramahi dan memberi wejangan kepada anak-anaknya. Biarlah anak-anaknya mencerna sendiri arti wisata mereka hari ini.
”Brenti sebentar pak !”, tiba-tiba suara si sulung memecah kesunyian. ”Lho, mau ngapain honey, mau pipis? masa di sini sih ?”, respon si bapak sambil menepikan mobilnya. Tanpa banyak cingcong, si sulung berjalan mendekati sekelompok anak yang sedang ribut berebut mainan diantara tumpukan kardus dan plastik bekas. Lalu dirogohnya kantong blujin itemnya (blue jean kok item !). Diberikannya tujuh gantungan kunci oleh-oleh dari teman-teman sekolahnya kepada anak-anak lima tahunan itu. Suami istri itu hanya bisa melongo menyaksikan kejadian tersebut dari kejauhan. Si bapak kemudian tersenyum, matanya kembali berkaca-kaca. Ia sangat bahagia. Tepat 12 tahun sejak kelahirannya, putri sulungnya, si item manis itu telah menemukan sendiri ladangnya di tempat yang tidak disangka-sangka, di kampung sampah!. Ini adalah ladang pertamanya, tempat dimana ia untuk pertama kali menyemai bibit kebaikan: kemauan untuk berbagi, dengan caranya sendiri. Ia melirik ke samping, ke arah istrinya. Ada tetesan air di pipi istrinya, tapi matanya cerah berbinar, memandangi putri sulungnya tanpa berkedip.
==================Tantotentu -062008==================
diiringi pesan demikian :
Saudaraku,
Kita tidak perlu jauh-jauh ke Bantar Gebang untuk menemukan ladang. Meja kerja kita bisa jadi adalah ladang yang telah disediakan untuk kita menyemai bibit ketulusan. Perjalanan pergi pulang ke tempat kerja bisa jadi adalah ladang tempat kita menyemai bibit kesabaran. Teman di kantor bisa jadi adalah ladang tempat kita menyemai bibit kebersamaan. Jadi, kenapa tidak kita coba untuk mulai menyemai kebaikan di banyak ladang yang telah tersedia untuk kita ?
Thanks God It’s Friday. Have a Positive Day !