Pada tahun 1939, di sebuah kota kecil di Oklahoma, sepasang suami-istri muda baru beberapa bulan menikah, dan mereka mengalami saat-saat yang mengecewakan.
Si suami tak menyangka begitu susahnya membuat ayam goreng, dan si istri merasa heran, kenapa dulu ia menganggap gurauan-gurauan suaminya lucu. Tapi mereka tidak mengatakan terus terang, apa yang mereka pikirkan – bahwa pernikahan ini merupakan kesalahan besar.
Pada suatu siang yang panas, mereka berdebat sengit tentang apakah mereka punya cukup uang untuk mengecat ruang tamu. Keduanya sama-sama meledak marah, sama-sama meninggikan suara, dan akhirnya salah satu piring hadiah perkawinan jatuh dibanting ke lantai.
Si istri menangis, menyebut suaminya kejam dan norak. Si suami berteriak bahwa ia lebih suka menjadi orang norak daripada orang yang cerewet. Lalu ia mengambil kunci mobil dan beranjak pergi. Sambil membanting pintu ia berkata, “Cukup sudah! Aku mau pergi!”
Tapi sebelum ia bisa menyalakan mesin mobil tuanya, pintu penumpang dibuka dan si istri duduk di sampingnya, memandang lurus ke depan dengan wajah bersimbah air mata, tapi ekspresinya penuh tekad.
“Kau ini mau ke mana?” tanya si suami terheran-heran.
Si istri ragu-ragu sejenak sebelum menjawab. Hanya sejenak.
Lalu ia memberikan jawaban yang akan menentukan arah kehidupan mereka selama empat puluh tiga tahun berikutnya. “Kalau kau pergi, aku ikut denganmu,” sahut ibuku pada ayahku.
…
Sumber : (Lynne Kinghorn – A Second Chicken Soup for the Woman’s Soul)