Sebagaimana kita ketahui, Indonesia sangat strategis karena terletak di antara dua benua dan dua samudera, disamping itu juga sebagai negara berkembang banyak investor yang menanamkan investasi di Indonesia dengan mengirimkan SDM-nya bahkan parawisatanya yang menarik hati. Hal inilah tentu akan menjadi jalur lalu lintas dunia baik itu pelayaran maupun penerbangan internasional. Kondisi ini menjadi perhatian perusahaan yang bergerak dalam bidang pelayaran maupun penerbangan di luar negeri, beberapa diantaranya mendirikan kantor perwakilan atau dalam istilah perpajakan merupakan rupa dari suatu Bentuk Usaha Tetap, beberapa diantaranya hanya membentuk sejenis Online Travel Agent (OTA) baik melalui perusahaan OTA DN maupun langsung melalui LN.

Adapun dalam tulisan berikut ini akan mengupas aspek perpajakan atas Jasa Penerbangan Luar negeri yang dikelola asing sesuai dengan interprestasi penulis terhadap ketentuan yang mengatur (disclaimer).

BUT Jasa Penerbangan Luar Negeri

Investasi asing di Indonesia secara umum dapat mendirikan Perusahaan Modal Asing, atau mendirikan Kantor Perwakilan, perlu dipahami kantor perwakilan bisa berupa Orang Pribadi Asing maupun Badan Asing. Adapun dalam perpajakan kantor perwakilan merupakan rupa dari Bentuk Usaha Tetap yang aspek perpajakannya diperlakukan seperti badan (Pasal 2 ayat (1a) UU PPh.

Karena Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar (Pasal 1 angka 4 UU PPN) disebut sebagai Pengusaha, yang jika melewati batasan peredaran usaha wajib dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak juga bersifat opsional apabila belum memenuhi batas threshold.

Aspek Perpajakan

a. Pajak Penghasilan

Adapun yang menjadi dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah :

  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor  6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU PPh), dimana mengatur :
    • Pasal 2 ayat (4) huruf d, mengatur bahwa subjek pajak luar negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
    • Pasal 2 ayat (5), mengatur bahwa bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c, dan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
    • Pasal 15, mengatur bahwa Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.
  • Keputusan Menteri keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri, mengatur sebagai berikut :
    • Pasal 1, Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
    • Pasal 2 ayat (2), Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
    • Pasal 2 ayat (3), Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, antara lain mengatur sebagai berikut :
    • Pasal 2, WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh Manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan ketentuan :
      • penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
      • penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
      • tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
      • penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
    • Pasal 3 ayat (1), Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
    • Pasal 3 ayat (2), Dalam hal terdapat pengaturan khusus dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN yang berisi informasi mengenai telah terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
  • Agreement between the Government of the Republik of Indonesia and the Government of the People’s Republic of china for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with rerspect to Taxes on Income, antara lain mengatur :
    • Article 7 paragraph 1, The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that Contracting State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other Contracting State but only so much of them as is directly or indirectly attributable to that permanent establishment. The provisions of this paragraph shall, however, not apply if the enterprise proves that the above activities are not undertaken by the permanent establishment or have no relation with the permanent establishment.
    • Article 8 paragraph 1 dan 2, Profits from sources within a Contracting State derived by an enterprise of the other Contracting State from the operation of ships in international traffic may be taxed in the first-mentioned State, but the tax imposed shall be reduced by an amount equal to 50 per cent thereof (1). Profits from the operation of aircraft in international traffic shall be taxable only in the Contracting State of which the enterprise operating the aircraft is a resident (2).

Sesuai dengan pengertian atas ketentuan tersebut, perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri yang berkedudukan di luar negeri dan melakukan usaha di Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang menjadi objek PPh adalah pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Umumnya penghasilan dari pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN), maka dalam menentukan besaran PPh Pasal 15 yang perlu disetor/dipotong, wajib pajak cukup mengalikan peredaran bruto dengan tarif sebesar 2.64% dan bersifat final. Adapun mekanismenya sebagai berikut :

  • mekanisme perjanjian charter, maka pihak yang membayar jasa wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 15 dan memberikan pemotongan PPh kepada perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri. Wajib disetor paling lambat tanggal 10 dan pelaporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
  • Mekanisme selain perjanjian charter, maka wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri wajib menyetorkan PPh yang terutang paling lambat tanggal 15 bulan serta pelaporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Namun, siapa yang berhak memajaki atas perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri ini, tetap memperhatikan Pasal 8 ayat 1 dan 2 tergantung treaty masing-masing negara.

b. Pajak Pertambahan Nilai

Adapun yang menjadi dasar hukum pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah :

  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor  6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU PPN), dimana mengatur :
    • Pasal 3A ayat (3), bahwasanya Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
    • Pasal 4 ayat (1) hutuf e, bahwasanya PPN dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
    • Pasal 16b ayat (1a) huruf j angka 7, bahwasanya  Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak baik untuk sementara waktu maupun selamanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terbatas untuk tujuan mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional, antara lain jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2022 tentang PPN dibebaskan dan PPnBM tidak dipungut atas impor dan/atau penyerahan BKP Tertentu dan/atau Penjerahan JKP Tertentu dan atau pemanfaatan JKP Tertentu dari Luar pabean, antara lain mengatur :
    • Pasal 10 huruf h, Jasa Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya di dalam Daerah Pabean atau pemanfaatannya dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai meliputi jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri.
    • Pasal 21,
      • ayat (1), Jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c merupakan:
        • kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk 1 (satu) perjalanan atau lebih dari 1 (satu) bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara; dan
        • kegiatan jasa angkutan udara luar negeri ke beberapa bandar udara di Indonesia atau sebaliknya sepanjang kegiatan jasa angkutan udara tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan jasa angkutan luar negeri.
      • ayat (2), kegiatan jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kegiatan jasa angkutan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b jika seluruh penerbangan tersebut terangkum dalam 1 (satu) tiket. Contoh : Kegiatan penerbangan London-Jakarta-Yogyakarta-Denpasar yang terangkum dalam 1 (satu) tiket dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun, jika kegiatan penerbangan dari Jakarta-Yogyakarta, dan Denpasar tiketnya terpisah, tetap dikenai Pajak Pertambahan Nilai meskipun diterbitkan di luar negeri; atau Kegiatan penerbangan Jakarta-Medan-Singapura yang terangkum dalam 1 (satu) tiket dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun, jika penerbangan Medan-Singapura batal setelah sampai di Medan, atas penerbangan Jakarta-Medan dikenai Pajak Pertambahan Nilai dan dipungut saat penumpang yang bersangkutan meminta pengembalian harga tiket.

Sesuai dengan pengertian ketentuan di atas maka kondisi apakah jasa penerbangan dan atau pelayaran terutang PPN adalah sebagai berikut :

  • Apabila customer melakukan pembelian tiket pesawat ataupun melakukan charter pesawat melalui biro perjalanan atau dikenal dengan istilah Online Travel Agent (OTA) yang berkedudukan di luar negeri merupakan pemanfaatan JKP dari luar pabean di dalam daerah pabean terutang PPN dengan tarif 11% dari jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada biro perjalanan LN.
  • Apabila customer melakukan pembelian tiket pesawat ataupun melakukan charter pesawat melalui meskapai penerbangan LN secara langsung (tidak melalui biro perjalanan/OTA), kegiatan pelayanan pengangkutan udara baik dari LN ke Indonesia ataupun sebaliknya, ini termasuk bagian tidak terpisahkan dari kegiatan jasa angkutan LN yang dibebaskan dari pengenaan PPN.

Penutup

Pengenaan Pajak Penghasilan sangat memperhatikan ketentuan dalam perjanjian perpajakan, dijelaskan dalam pasal 7 P3B bahwasanya laba usaha suatu entitas hanya dikenakan dimana domisili entitas itu berada dengan memperhatikan SKD WPLN untuk mendapat manfaat dari P3B. Maka, dapat dipastikan apabila tidak memiliki SKD WPLN  meskapai asing yang tidak menjalankan usahanya melalui BUT di Indonesia sesuai pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh akan dipotong PPh pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto.

Loading…