Seorang kawan seperjalanan bercerita, bahwa usaha dagang “palugada”nya agak oleng kapten, hal ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan salah satu komsumennya wanprestasi “jumlahnya tidak sedikit sekitar Rp. 600 jutaan, cetusnya?.” Persoalannya konsumennya tersebut adalah penyumbang hampir 70% penjualannya. Yang bisa dilakukan adalah tetap melayani pembelian dari konsumennya itu namun harus secara tunai, sementara saat ditagih atas utang tersebut jawabannya selalu “elegi esok” pagi.

Sekonyong-konyong dia bertanya, bagaimana perpajakan memandang piutang tak tertagih (bad debt)  tersebut?

Dalam IBFD International Tax Glossary, istilah Bad Debt adalah utang yang kemungkinan besar tidak akan dibayar. Bad debt timbul salah satunya karena debitur mengalami kegagalan keuangan. Sementara dari segi perpajakan atas bad debt (piutang tak tertagih) umumnya dapat dikurangkan dari penghasilan.

Piutang Tak tertagih Dalam Perpajakan

Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan s.t.b.k.d.t.d UU Nomor 7 Tahun 2021 disebutkan bahwasanya besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :

  • telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
  • Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
  • Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut :
    • telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau
    • adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau
    • telah dipublikasikan dalam penerbitan umum (pemuatan pengumuma pada penerbitan koran/majalah atau media massa berskala nasional) atau khusus (pemuatan pengumuman pada penerbitan Himpunan Ban-Bank Milik negara/Himbara atau Perbanas, dan atau pengumuman khusus Bank indonesia); atau
    • adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
  • syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k (jumlah tertentu yaitu yang jumlahnya tidak melebihi Rp. 100 juta);

Berdasarkan pasal ini, istilah bad debt (piutang tak tertagih) yang digunakan adalah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih,  yaitu piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak, terkait hal ini sebagaimnana diuraikan dalam pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 105/PMK.03/2009 yang telah diubah melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 207/PMK.010/2015 tentang piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah yang timbul dibidang usaha :

  • Bank;
  • Lembaga pembiayaan;
  • Industri;
  • Dagang; dan
  • Jasa lainnya

Dan tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.

Debitur Kecil atau Debitur Kecil Lainnya

Istilah debitur kecil lainnya muncul dalam pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 207/PMK.010/2015 yaitu persyaratan (3 persyaratan di atas) tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.

Dimana, debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:

  • Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
  • Kredit Usaha Tanu (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiaya usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
  • Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
  • Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
  • Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau
  • Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.

Debitur kecil lainnya adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas lalu kawan seperjalanan saya melanjutkan pertanyaannya, apakah perlu bagi saya membiayakan kerugian akibat piutang tak tertagih  tersebut? Dengan sabar kembali saya jelaskan bahwasanya bagi yang memilih menggunakan PP 23 Tahun 2018 s.t.d.t.d PP 55 Tahun 2022 telah dikenakan PPh bersifat Final, sehingga apabila atas kerugian akibat piutang tak tertagih tersebut diakui karena telah memenuhi persyaratan dan akhirnya menyebabkan kerugian usaha. Namun, tetap saja atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan ke tahun berikutnya.

Lalu, kawan seperjalanan saya itu yang adalah petugas pajak juga di sebuah kantor yang strategis kaget dan berteriak “masak tidak dapat dikompensasi!” tidak adil banget…. “cape deh!?”