Beberapa hari terakhir ini, jalan pulang kantor (komplek pajak kalibata) menuju jalan Dewi Sartika macet total. Penyebabnya menurut saya mungkin karena tiga hal ini.

Pertama, Stasiun Kereta Api Duren Kalibata. Begitu keluar pulang kantor sudah harus melewati lintasan kereta yang sangat padat. Pernah sekali waktu berhenti di lintasan kereta dan ada lima kereta api yang akan lewat, agak lama karena memang pintu lintasan kereta berdekatan dengan stasiun kereta api.

Kedua, Jembatan Ciliwung Kalibata menuju Jambul Jalan Dewi Sartika, orang sering menyebutnya “Jembatan Bego” karena dari Lima Jalur (dari kalibata) menuju jembatan yang hanya tinggal satu jalur, melihat konstruksi jalannya seperti ada persoalan dengan pembebasan lahan.

Ketiga, Lampu Merah Pertigaan Dewi Sartika. Entah dilakukan perubahan pengaturan waktu pada lampu lalu lintas, yang pasti lampu lalu lintas Arah kalibata menuju Dewi Sartika, lampu hijaunya terasa cepat sekali dibandingkan sebelumnya. Pengaturan ini memang menguntungkan ketika pagi hari, arah PGC menuju Kalibata tidak padat seperti sebelumnya namun imbasnya tentu arah yang sebaliknya tadi.

Ketiga kemacetan tersebut, menguji kesabaran setiap pengendara. Dan lebih sering dan lebih banyak orang yang tidak mau mengalah, kecuali yang lewat adalah mobil “orang hebat” yang menyalakan strobo dan sirine. 

Bagi saya yang setiap hari menjalani hari-hari melewati jalan tersebut selama hampir tiga tahun terakhir ini, sudah cukup dewasa dan lebih bijaksana. Setiap kesempatan, saya selalu memberi jalan secara bergiliran seadilnya menurut saya dan ketika saya butuh pun selalu diberi (padahal yang menerima dan memberi pasti berbeda), tidak seperti yang lain yang saya lihat, beberapa agak memaksa tentu dengan lampu dim dan klakson yang mengesankan marah dan tidak terima.

Bicara memberi, penulis pernah membaca dan mendengar serta melihat bahwasanya tidak pernah orang yang memberi akan kekurangan dan kelaparan. Berikut sebuah kisah seorang pedagang yang murah hati (diambil dan diedit dari blog tetangga yang diberkati):

“Kami tidak mengerti, kelihatannya kamu memberi lebih banyak daripada kami semua, tetapi tetap lebih kaya dibandingkan kami,” kata temannya.

“Oh,” kata sang pedagang

“Ini sederhana untuk dijelaskan. Kita lihat, saya terus menyekop ke tong milik Tuhan, dan Tuhan terus menyekop ke dalam tong saya. Dan kamu tahu, Tuhan memiliki sekop yang lebih besar dibandingkan saya.”

Memberi dengan kerelaan ternyata tidak membuat kita menjadi miskin, karena kita yang miskin telah dijadikan kaya oleh kasih Tuhan yang kita terima. Tentu memberi tidak selalu harus dengan materi, tetapi banyak cara lain yang dapat kita lakukan.

Cukup sering bahwasanya materi kita jadikan sebagai ‘alasan’ untuk tidak membagikan kasih Tuhan kepada orang lain. Kerap kali kita berpikir, nanti aja deh kalau udah sukses baru bantu mereka. Padahalkan memberi itu, kan ga melulu soal materi, banyak hal yang bisa kita lakukan sebenarnya, Seperti ilustrasi tentang memberi jalan diatas.

Hal sederhana lainnya yang dapat kita lakukan dalam memberi adalah memberi waktu untuk mendengarkan keluh kesah teman kita, jangan sampai deh saat teman kita butuh pertolongan malah kita abaikan dan saat dia sudah ‘tersesat’ baru sadar dan menolongnya. Itu juga kalau kita sadar teman kita udah ‘tersesat’ kalau enggak?

Tahukah kita?! memberi senyuman juga itu dapat berarti loh. Mother Teresa mengatakan “Peace begins with a smile”, atau bisa juga dengan meluangkan waktu menemani orang yang kesepian. Karena pada dasarnya memberi lebih baik daripada menerima. 

Kita juga bisa memulai memberi dengan membagikan ‘makanan rohani’ kepada orang-orang di sekeliling kita. Misalnya dengan membagikan kesaksian yang kita alami bersama dengan Tuhan, menceritakan kebenaran firmanNya atau bisa juga dengan membagikan kesaksian-kesaksian melalui gadget kita.

Saat kita menceritakan kebenaran firmanNya, sadar tidak sadar sebenarnya bukan hanya orang yang mendengarnya saja yang ‘diisi’ tapi kita juga sedang ‘diisi’ oleh Dia. Ibarat gelas berisi air, saat kita sedang menuangnya dengan takaran kita kepada ‘gelas’ teman yang sedang ‘kosong’ Tuhan sedang ‘mengisi’ gelas kita lagi dengan takaran yang lebih besar dan baru.

Mungkin ada keluarga atau sahabat yang saat ini mengalami ‘kehampaan’ dalam hidup, mengalami tekanan yang berat atau justru mereka sedang ‘tersesat’. Kalau kita tidak peduli dengan mereka siapa lagi? Bisa aja sih Tuhan melakukannya sendiri tapi Dia mau kita terlibat di dalam rencanaNya. Masihkah pantas kita menyebut diri kita mengasihiNya kalau enggan ‘memberi’?

Perlu kita renungkan, Tuhan tidak minta kita pinter dulu baru dipakai sebagai alatNya untuk ‘menolong’ mereka, tapi yang Tuhan inginkan adalah kita Bersedia. Karena ketika kita seperti pedagang tadi yang bersedia ‘memberi’ sebenarnya kita pun sedang ‘diisi’ kembali oleh Tuhan. Karena tak jarang ketika teman kita datang untuk menceritakan masalahnya justru cara Tuhan menjawab pergumulan yang sedang kita alami juga.

Yuk, kita mulai memberi?