Sebelumnya…

Ketika orang Kristen menderita, ada sebagian orang yang sudah jatuh ke dalam sumur, ditimpa lagi dengan batu, sehingga menambah kesulitan bagi orang tersebut. Tetapi orang Kristen harus mempunyai cinta kasih bagi mereka. Kita bukan saja mengasihi orang Kristen, kita juga harus mengasihi orang Islam atau agama apa pun juga, karena di dunia ini semua manusia adalah ciptaan Tuhan. Kita harus dengan cinta kasih memelihara dan menjaga mereka. Hari ini, jika kita seperti yang Yesus sampaikan dalam kisah di kitab Injil, antara perjalanan Yerikho dan Yerusalem, ada seseorang yang telah dipukul oleh penyamun dan terbaring di sana. Ada seorang imam yang lewat, setelah melihat orang yang terluka itu, dia pergi. Ada seorang Lewi yang lewat, melihat orang yang terluka itu, dia berlalu. Orang yang ketiga muncul, seorang Samaria. Orang Samaria tidak berhubungan dengan orang Yahudi; mereka bermusuhan sejak kembali dari pembuangan. Orang Yahudi menghina orang Samaria karena orang Samaria adalah bangsa campuran, mereka adalah orang Yahudi yang tidak murni. Ketika orang Yahudi terluka, orang Samaria boleh tidak menggubris. Ketika orang Samaria terluka, orang Yahudi boleh tidak menolong. Hari ini yang terluka adalah seorang Yahudi dan orang yang lewat adalah orang Samaria. Dan ketika Tuhan Yesus menyampaikan perumpamaan ini, Dia menyampaikannya dengan hikmat yang tinggi. Yesus mengatakan ada seorang Samaria melihat orang Yahudi ini, dia tidak takut akan bahaya dan dia juga tidak takut akan penyamun yang akan menghampirinya. Dia turun dari keledainya dan dengan susah payah mengangkat orang Samaria ini ke atas keledainya. Dia sendiri berjalan, menuntun keledai itu sampai ke satu kota, dan menaruh orang Yahudi tersebut di satu tempat penginapan. Karena harus pergi, ia berkata kepada penjaga penginapan, “Tolong rawat dia dengan baik. Saya akan membayar lunas semua kebutuhan biayanya.” Apakah hari ini ada orang seperti ini? Apakah hari ini ada orang yang mempunyai cinta kasih yang begitu besar yang mau mengasihi musuhnya? Ketika Yesus menyampaikan kisah ini, Yesus ingin kita menjawab satu hal, “Siapakah sesamaku?”

Perjanjian Lama mengatakan, “Kasihilah Allahmu dan kasihilah sesamamu.” Mencintai Allahmu dengan segenap hati, dengan sebulat jiwa, dengan sekuat tenaga, dengan seluruh pikiran, dan juga mencintai tetanggamu. Ada seseorang yang bertanya kepada Yesus, “Siapakah tetanggaku atau sesamaku?” Yesus tidak menjawabnya secara langsung, tetapi menyampaikan kisah ini. Yesus mengatakan bahwa orang ini bukan sebangsa, seagama, setaraf kedudukannya, tetapi dia adalah musuh yang tidak mempunyai hubungan dengan kita. Yesus menjawab pertanyaan ini: siapakah tetanggaku atau sesamaku? Setiap orang yang dapat engkau tolong, sekalipun bukan tetanggamu, bisa menjadi tetanggamu atau sesamamu. Yang Yesus nyatakan dalam kisah ini adalah etika tertinggi dalam dunia, cinta kasih yang paling tidak egois, teladan yang terbaik. Inilah iman jenis yang ketiga. Iman seperti ini adalah iman yang hidup, iman yang sejati, dan juga iman yang mempunyai hidup di dalamnya. Yakobus mengatakan bahwa iman tanpa perbuatan mati adanya. Di manakah perbuatan kita? Di manakah cinta kasih kita? Di manakah pertolongan kita kepada orang lain? Kita hidup di Indonesia, apakah kontribusi kita di Indonesia? Kita hidup di dalam masyarakat, apakah kontribusi kita bagi masyarakat?

Di seluruh dunia, ada satu suku bangsa di mana jumlah populasi orang Kristen paling sedikit, persentase orang yang percaya Kristus terkecil. Kita di sini ada ribuan orang kebaktian. Kita mengutus beberapa orang mengabarkan Injil. Setiap kali saya mengingat tempat ini, maka saya merasa bersalah.

Di sekitar kita ada orang-orang yang membutuhkan pertolongan, tetapi sedikit pun kita tidak mempunyai cinta kasih, sedikit pun kita tidak mempunyai visi, sedikit pun kita tidak tergerak. Bagaimana kelak kita akan berjumpa dengan Tuhan? Banyak orang Kristen yang tidak mau mengabarkan Injil, setiap hari hanya mementingkan istri, anak, atau keuntungan yang bisa didapat saja. Kesaksian hidup perlu nyata. Ini merupakan iman jenis ketiga.

Seorang Kristen yang telah mempunyai tiga jenis iman ini, apakah sudah cukup? Belum cukup. Kita masih membutuhkan iman jenis keempat. Iman jenis keempat adalah ketika setiap hari kita hidup bersandar dan percaya akan pimpinan dan penyertaan Tuhan. Percaya dan taat akan tuntunan dan penyertaan-Nya. Ketika seorang pemuda berkata kepada Tuhan, “Aku akan mempersembahkan diri menjadi seorang hamba Tuhan, masuk sekolah theologi dan melepaskan semuanya, melepaskan pekerjaanku, tidak berpenghasilan lagi,” ia membutuhkan iman seperti ini. Iman jenis keempat berbeda dengan ketiga. Selain percaya bahwa Allah ada, menerima anugerah keselamatan, menyatakan iman, engkau harus terus-menerus bersandar pada Tuhan, berharap kepada-Nya, dan memohon kepada-Nya.

Ketika ibu saya berusia 32 tahun, kami sekeluarga telah percaya kepada Yesus. Setelah satu tahun percaya Yesus, ketika ibu saya berusia tiga puluh tiga tahun, ayah saya tiba-tiba meninggal. Suatu malam, setelah selesai makan malam, kami naik ke kamar di loteng. Kami melihat ayah saya naik tangga dengan sangat susah sekali. Ketika masuk ke kamar, ia merebahkan diri, terus berteriak, dan mengeluh dengan suara keras. Sepuluh menit kemudian ia meninggal. Karena terlalu tiba-tiba bagi ibu saya yang baru berumur 33 tahun, mempunyai delapan anak (tujuh anak laki-laki dan satu anak perempuan), dia tidak tahu harus bagaimana, dia terus menangis dan membaca Alkitab, membaca Kitab Mazmur. Ibu saya melalui iman jenis keempat, setiap hari ia bersandar dan berharap kepada Tuhan. Setiap pagi bangun jam lima pagi, berlutut dan berdoa, menyebut setiap nama anaknya. Iman seperti ini adalah iman yang dilatih, iman yang diuji. Satu tahun lewat satu tahun, dan setiap tahun meskipun susah bisa dilewati. Setelah satu tahun berselang, kami semua berlutut di hadapan Tuhan, bersyukur kepada Tuhan yang telah memimpin kami melewati satu tahun lagi. Setiap malam tahun baru, ibu saya akan membawa kedelapan anaknya mengelilingi dia dan kami bersyukur kepada Tuhan. Satu tahun berlalu lagi. Tahun-tahun tersebut susah sekali dilewati karena masa itu adalah masa peperangan Tiongkok dan Jepang.

Saya ingat suatu pagi ketika saya membuka pintu, tiba-tiba ada seseorang yang jatuh. Rupanya orang itu adalah seorang pengemis yang kedinginan. Ia bersandar di pintu rumah kami. Kami tidak tahu apa yang terjadi, dan ketika pintu dibuka, dia sudah mati. Di jalan banyak sekali mayat bergelimpangan. Banyak orang mati kelaparan. Ketika itu, sungguh sangat menderita, sungguh sangat susah. Tidak tahu dari mana mereka harus cari uang, tidak tahu mereka harus ke mana mencari makanan. Pada masa peperangan, nilai uang terus merosot. Pagi hari membawa uang banyak mau membeli satu sikat gigi, mereka akan mengatakan bahwa uangmu tidak cukup. Ketika engkau kembali ke rumah untuk mengambil uang lagi, sikat gigi itu sudah naik dua kali lipat harganya. Harga di pagi hari dan sore hari bisa berselisih tiga kali lipat. Setelah tutup pintu, besok bangun lagi, harganya naik lagi. Sulit sekali untuk melangsungkan hidup saat itu. Saya tidak tahu bagaimana ibu saya membesarkan delapan anaknya. Saya hanya tahu bahwa ia adalah orang yang hidup takut akan Tuhan, hidup beribadah dan membaca Alkitab, serta senantiasa berlutut dan berdoa. Di pagi hari, ia menghabiskan waktu satu jam untuk berdoa. Pada malam hari, ia meminta anak-anaknya untuk berlutut, satu per satu giliran berdoa, bersyukur kepada Tuhan. Kami seminggu hanya makan daging satu kali. Setiap hari hanya makan sayuran. Kami kurus sekali ketika itu. Pada hari Minggu, satu keluarga harus puasa untuk berharap dan bersandar pada Tuhan, berdoa kepada-Nya. Saya dibesarkan dalam keluarga seperti ini. Dari kecil ke gereja, dari kecil ikut kebaktian. Ketika mendengar paduan suara menyampaikan pujian, saya dengan saksama mendengarkan musik yang sangat indah dan terus menerima ke dalam hati saya. Di kemudian hari, hal ini menjadi modal saya boleh melayani Tuhan dalam bidang musik.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena saya memiliki ibu yang menjadi teladan. Imannya adalah iman yang bersandar pada Tuhan yang adalah Bapa Sorgawi yang menjaga anak yatim dan juga janda. Iman seperti ini menangkap kekuatan dari Tuhan. Ini merupakan iman jenis keempat. Kita bukan saja percaya akan keberadaan Tuhan. Kita bukan saja percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat. Kita bukan saja percaya bahwa hidup kita harus memuliakan Tuhan. Tetapi kita juga harus percaya bahwa Tuhan akan mencukupkan kebutuhan kita seumur hidup. Jika seseorang seumur hidup bersandar kepada Tuhan, seumur hidup berharap kepada Tuhan, Alkitab mengatakan bahwa Dia akan menuntun jalanmu. Contoh dalam Alkitab akan hal-hal seperti ini terlalu banyak. Iman seperti ini jarang dan kurang diajarkan di sekolah theologi. Kita mengajarkan banyak hal tentang doktrin, tetapi kita kurang sekali mengajarkan kehidupan praktis yang bersandar pada Tuhan, bagaimana menjadi mahasiswa yang harus melewati hidup yang sangat sulit sehingga kita harus bersandar pada Tuhan, memegang erat tangan-Nya yang tidak kelihatan.

Kita melewati masa yang sulit, jalan di dunia, sama seperti di dalam padang gurun. Jalan di padang gurun tidak ada makanan, di padang gurun tidak ada apa pun yang kita dapat sandari. Tetapi Alkitab mengatakan bahwa dalam padang gurun yang besar dan juga mengerikan seperti ini, Tuhan pasti akan menuntun engkau melewatinya. Kita ada dalam perjalanan duniawi ini, di tengah-tengah padang gurun yang besar dan juga mengerikan, dalam padang gurun di mana tidak ada pertolongan, di padang gurun yang tidak ada air, di padang gurun yang kadang kala ada binatang buas yang muncul, tetapi Tuhan mengatakan, “Aku akan menuntun engkau melewati padang gurun yang besar dan juga mengerikan ini, dan Aku akan beserta denganmu.” Banyak dari kita ketika menghadapi kesulitan di dalam hidup, kita tidak tahu bagaimana melewatinya. Ketika ekonomi merosot, kita tidak tahu bagaimana harus melewatinya. Wajah seseorang bisa dilihat tetapi tidak bisa diandalkan. Kita tidak mengetahui apakah bawahan kita dengan sepenuh hati bekerja untuk kita ataukah mengambil kesempatan untuk menipu kita. Di dalam masyarakat, banyak sekali orang jahat yang penuh keserakahan. Dalam dunia usaha juga banyak sekali orang jahat. Dunia ini penuh dengan bencana. Kita harus bersandar kepada Tuhan. Kita harus berharap kepada Tuhan. Di satu sisi, kita menjadi orang yang takut akan Tuhan. Di sisi lain, kita menjadi orang yang berhikmat sehingga melewati semua kesulitan. Hidup yang mengalami kesulitan, bersandar kepada Tuhan dan menerima anugerah dari Tuhan. Kiranya Tuhan memberkati kita.

Mari kita berdoa untuk kehidupan kita. Kita berdoa untuk iman kita kepada Tuhan seperti janda di Sarfat, yang bersandar kepada Tuhan dan dapat mencukupkan kebutuhan Elia. Ada banyak orang yang berada di dalam kesusahan, tetapi bagaimana kita bersandar kepada Tuhan untuk melewati padang gurun yang besar dan mengerikan ini, bahkan tetap memampukan kita menjadi berkat bagi orang lain. Kiranya Tuhan juga menolong kita dapat menanggung semua beban berat, bersandar pada-Nya, dan mendapatkan kemenangan. Biarlah kita dapat menyangkal diri dan memikul salib kita dan mengikut Tuhan dengan baik. Amin.

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/iman-pengharapan-dan-kasih-bagian-9-doktrin-iman#