Pernah satu kali seorang bercerita kepada saya dengan antusias karena dia tahu bahwasanya saya bukan hanya seorang pengajar perpajakan tetapi juga petugas pajak. Dia bercerita bahwa baru saja menegur pengusaha restoran hanya karena dia dikenakan pajak 10% (tertulis dalam kuitansi PPn) atas biaya yang dikeluarkan dalam restauran tersebut. Menurutnya penyerahan di dalam restoran bukanlah objek PPN dan tidak berhak memungut kepada pembeli, dan si petugas kasir hanya melongo saja karena dia pun tidak paham atas pengenaan PPn tersebut.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa isu PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah muncul ketika si pengusaha baik Orang pribadi atau Badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, dan melakukan usaha jasa termasuk ekspor jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean dan Omsetnya di atas Rp. 4,8 milyar atau memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak. Dan cukup jelas jika kita baca dalam pasal 4A ayat (2) UU PPN 1984 yang mengatakan bahwa jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang seperti makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.

Sementara, dalam UU nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dikenal istilah pajak restoran, yaitu pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran yang meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun ditempat lain. Dimana tarifnya ditetapkan paling tinggi sebesar 10% melalui penetapan peraturan daerah.

Menanggapi cerita orang tersebut, saya dahului dengan tarik nafas dan dengan lembut menyampaikan kepadanya. Memang seharusnya setiap Pengusaha Kena Pajak tidak boleh menarik Pajak Pertambahan Nilai kecuali didahului dengan penerbitan Faktur Pajak kecuali dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran, namun Pengusaha Kena Pajak Perdagangan Eceran pun dapat Membuat Faktur Pajak jika diminta oleh konsumen. Namun, atas pelayanan yang disediakan restoran bukanlah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud UU PPN pajak pusat, melainkan Pajak daerah yang dibebankan kepada pembeli yang kemudian disetorkan ke Kas Daerah oleh pengusaha restoran tersebut. Kadang tarif 10% ini, sering dianggap PPN karena memang dulu juga disingkat PPn atau Pajak Penjualan namun sekarang lebih sering ditulis tax dalam kuitansi.

Saya melihat responnya, luar biasa. “oalaaah, selama ini saya salah paham dong.” dia sangat berterima kasih atas penjelasan tersebut dan terlihat jelas bahwasanya dia dapat menerima informasi dengan baik. Bagaimana, kalau saya bilang “wah….!!! sampean udah bodoh, ngaco pulak.” apa tidak akan terjadi perang Saudara, kalau begitu 😛