Mengawali pembicaraan dalam sebuah seminar, kelas atau perkuliahan, saya selalu mengatakan kepada peserta dengan kalimat “to know me is to love me.” Meminta atau menununjuk salah seorang peserta untuk mengartikan kalimat tersebut. Umumnya mereka gugup dan kesulitan menjawab, lalu semuapun tersenyum ketika itu adalah sebuah cara untuk mengakrabkan antara pengajar dan yang diajar.

Namun kali ini, kalimat tersebut lebih kepada ketertarikan penulis pada suasana gejolak salah satu partai politik baru-baru ini. Dalam waktu luang penulis mendalami sosok-sosok yang ada dalam partai tersebut dan beberapa hal saya kagum dengan narasi, sifat, sikap, pendidikan, dan ketokohan mereka hingga mereka layak dianggap sebagai politisi yang beres.

Karena sedang bergejolak, tentu penulis menyadari bahwasanya kadang informasi yang ada bisa saja setingan atau pencitraan, dimana mereka berlomba-lomba untuk melakukan pencitraan yang baik dan menganggap diri yang paling benar.

Karena sejak awal saya sudah memfilter bahwa si A ini saya simpatik, si B ini saya kagum, si C ini agak mencurigakan, si D ini agak gimana gitu… dan mereka itu orang-orang yang berpotensi menjadi pejabat publik ke depan dalam menata kelola negara kesatuan yang tercinta ini. Maka saya mencoba mencari tahu siapa mereka sesungguhnya melalui rekam jejak. Namun, itu semua tentu berdasarkan media-media  yang ada khususnya dalam era digital sekarang ini. Dibandingkan saya harus membeli buku-buku tentang mereka yang condong diseting sebagus mungkin sebagaimana penulis beberapa kali tertipu. Karena ternyata pada akhirnya beberapa diantara mereka tidak lebih dari sekedar sampah karena terbukti oleh hukum dinyatakan bersalah itu pun jika kita berkeyakinan bahwasanya hukum mengalir sesuai marwahnya.

Hingga akhirnya, saya terkaget-kaget. Karena orang yang sebelumnya saya anggap memiliki prinsip yang baik ternyata sebaliknya, sementara orang yang saya anggap tidak baik ternyata adalah orang yang berprinsip dan baik. Saya adalah tipikal pemilih yang selektif dalam menyalurkan hak suara yang saya miliki, ketika harus menentukan pilihan kepada calon yang akan saya rekomendasikan menjadi pemimpin dalam jabatan publik.

Baru-baru ini penulis pun mengikuti pemilihan setingkat lurah dikampung-kampung, tim sukses sudah jauh-jauh hari menggadang-gadang jago-jagonya dengan menjanjikan sekedar ongkos jalan dengan besaran yang variatif, tak dapat dipungkiri bahwa daerah penulis adalah daerah industri yang tentunya peredaran uang cukup besar. Jujur penulis akui, tidak ada informasi terkait calon-calon, tidak pula tahu apa yang menjadi program kerja mereka. Penulis bukan tipikal orang yang masa bodoh, tapi nyata bahwa tidak ada informasi apapun tentang calon-calon selain tawaran ongkos jalan yang mereka tawarkan.

Memilih pemimpin apapun tingkatannya, perlu mengetahui rekam jejak agar pemilih tidak menjadi ikut bersalah ketika orang yang dipilih ternyata adalah perusak itu sendiri. Perlulah para calon-calon trersebut mencontoh apa yang selalu saya lakukan ketika memulai suatu seminar… to know me is to love me. 😛