Pelukis asal Norwegia ini memiliki mental health problem yang dituangkan dalam karya nya “The Scream”. Memiliki trauma yang disebabkan oleh meninggalnya ibu dan adiknya karena tuberkulosis sebelum ia berusia 15 tahun. Edvard Munch mulai melukis awalnya untuk mengisi waktu luang ketika berada di rumah.

Karyanya “The Scream” merupakan ilustrasi atas kecemasan yang tidak dapat ia atasi di era perang dunia II. Selain itu “The Scream” juga mewakili diri pribadi Edvard atas rasa takut, pengalaman psikologis, trauma, penyampaian rasa takut yang di curahkan dengan warna-warna gelap khas Edvard Munch.

Konon, karyanya yang dianggap sebagai pelopor aliran expressionist dan modern art itu, terispirasi dari letusan Gunung Krakatau di Indonesia. Bergambar sesosok orang yang tengah tertegun dengan latar belakang lanskap yang kemerahan, sudah cukup menggambarkan betapa ngerinya ‘kiamat kecil’ yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Tak heran, misteri lukisan yang berjudul The Scream atau jeritan ini, sangat menarik untuk diungkap. Bulan Mei tahun 1883, menjadi fase kelabu bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, Gunung Krakatau yang biasanya tenang, tiba -tiba meletus dan memuntahkan isinya. Tak hanya meminta 36.417 korban jiwa, dampaknya juga dirasakan hingga ke Eropa dan kawasan lainnya. Hal inilah yang membuat hati Edvard Munch tergerak untuk mengabadikan momen langit merah yang terlihat olehnya ke dalam sebuah lukisan.

Pada saat itu, Edvard Munch sedang berjalan-jalan santai menikmati sore hari di Ljabrochaussen Road (kini Mosseveien Road), sebuah kota pesisir Christiania. Ia sedang menikmati matahari terbenam antara akhir tahun 1883 atau awal 1884. Saat itulah, Edvard Munch melihat semburat kemerahan yang menjadi sumber inspirasi bagi lukisannya.

Salah seorang Profesor asal Texas State University, Donald Olson mengungkap pernyatannya dalam artikel yang dilansir dari travel.kompas.com. Ia dan koleganya meyakini bahwa langit yang berwarna kemerahan tersebut bukanlah sekedar imajinasi Edvard Munch semata. Dampak letusan Gunung Krakatau yang membawa abu vulkanis, menjadikan langit Eropa berwarna merah terang antara November 1883 sampai Februari 1884.

Warna merah pada langit itulah yang menginspirasi Edvard Munch membuat karya seni yang fenomenal tersebut. Tak hanya itu, sang pelukis membuat empat versi gambar The Scream. Karya pertama tersimpan di National Gallery, kedua dan ketiga berada di Munch Museum dan yang versi terakhir (lukisan pastel, 1895), telah dilelang pada 2012 silam. Semuanya berada di Oslo, Norwegia kecuali versi lukisan terakhir.

Ada sesuatu yang janggal pada sosok yang terdapat pada lukisan The Scream karya Edvard Munch itu. Yaitu adanya sebuah noda putih yang belum terpecahkan hingga 100 tahun lamanya. Banyak yang mengira, cipratan tersebut adalah kotoran burung yang jatuh. Namun setelah diteliti dengan menggunakan mesin “Macro X-ray fluorescence scanner”, Dr Geert Van der Snickt dari University of Antwerp telah menemukan penyebabnya. Ternyata, noda putih itu merupakan cipratan lilin yang terjatuh. Pada masa itu, seorang pelukis lazim menggunakan lilin untuk mencegah kerusakan pada kanvas.

Begitu besarnya pesona lukisan The Scream karya Edvard Munch, karya sastra ini berhasil terjual senilai USD 120 juta atau Rp 1,1 Triliun oleh Balai Lelang Shoteby, New York pada 2012. Padahal, lukisan tersebut awalnya dilelang dengan harga USD 80 juta. Setelah adanya persaingan harga yang cukup alot selama 15 menit, karya seni unik tersebut akhirnya dilepas dengan harga USD 120 juta. Memecahkan rekor lukisan ‘Nude, green leaves and bust’ karya Pablo Picasso yang berharga USD 106 juta.

Karya seni memang tidak hanya terbatas pada imajinasi semata. Ada banyak inspirasi yang bisa digunakan, termasuk peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Sama seperti lukisan The Scream, yang berhasil menjadi sebuah karya seni abadi sekaligus pengingat, bahwa pernah ada peristiwa ‘kiamat kecil’ yang hampir membinasakan penduduk Indonesia.

Sumber : https://www.boombastis.com/kisah-lukisan-the-scream/163464