Di dalam Roma 4, Paulus berkata, “Abraham beriman kepada Tuhan, karena itu ia diperhitungkan sebagai orang benar.” Paulus mengoreksi pemikiran orang Yahudi dengan mengatakan bahwa manusia bukan didasarkan kepada Taurat, kelakuan, jasa, atau kualifikasi yang ditegakkan dan dibangun dari kemampuan manusia, untuk bisa diperkenan Tuhan. Anugerah tidak didasarkan pada kelakuan, karena yang disebut anugerah tidak berdasarkan kebajikan manusia, tidak bergantung kepada kelayakan manusia untuk menerima berkat Tuhan. Iman adalah satu-satunya yang menjadi unsur kekristenan di hadapan Tuhan. Tanpa iman tidak ada orang yang bisa diperkenan Tuhan (Ibr. 11:6).

Allah tidak membutuhkan manusia. Kita sering kali beranggapan bahwa kita begitu bernilai dan penting. Allah tidak perlu kita, tetapi Ia menciptakan kita untuk memuliakan Dia, sehingga jika kita tidak memuliakan Allah, kita tidak berharga dan lebih baik mati. Manusia tidak memiliki hak eksistensi di dunia jika tidak memuliakan Dia.

Namun, semua agama ternyata terputar balik, bertolak belakang, dan tidak mengerti kehendak Allah. Lalu manusia menganggap dirinya cukup berjasa, sudah berbuat baik, dan melakukan kelakuan-kelakuan yang indah, sehingga dengan itu mereka berhak dan boleh datang kepada Tuhan. Ini semua adalah penipuan Iblis, bukan rencana Allah. Pemahaman yang benar ini sudah ada sejak di zaman Perjanjian Lama, tetapi setan membutakan mata manusia. Ayat yang dibaca sudah banyak, tetapi yang dipahami hampir tidak ada. Seribu lima ratus tahun sejak Musa hingga Kristus, seluruh bani Israel, seluruh bangsa Yahudi, menganggap mereka dipilih, diberkati, dan menerima wahyu Allah tentang firman yang kudus karena jasa mereka, tetapi ternyata percuma mereka menganggap diri telah menyembah Tuhan. Tuhan sendiri berkata, “Engkau dengan bibir mulutmu dekat kepada-Ku, tetapi hatimu jauh dari pada-Ku. Sia-sialah engkau menyembah Aku. Tidak tahukah engkau Aku membenci hari Sabatmu?” (Yes. 1:11-13; 29:13). Hari Sabat adalah hari yang paling dibanggakan oleh orang Israel, tetapi kalimat Tuhan tidak mereka dengar, mereka terus tidak mengerti isi hati Tuhan. Mereka tetap sama, berbuat baik, merayakan hari Sabat, memotong daging sapi, memberi persembahan, lalu menjadi sombong. Inilah agama.

Agama mungkin terlihat indah dan dekat dengan Tuhan, tetapi sekaligus juga bisa menjadi menakutkan, menjadi kebencian Tuhan. Orang yang paling banyak membunuh orang adalah orang yang mengaku beragama, beribadah tetapi tidak diperkenan Tuhan. Revolusi terjadi ketika Paulus menulis kalimat ini: “Dengan iman maka Abraham diperhitungkan sebagai orang benar.” Perlu 3.000 tahun, sejak Musa hingga Martin Luther, untuk mengembalikan dan menegakkan prinsip ini, yaitu dibenarkan hanya oleh karena iman (justification by faith alone). Kita hanya dibenarkan melalui iman kepada Allah. Allahlah yang membenarkan kita. Kelakuan kita tidak bisa membenarkan kita, tetapi iman kepada Tuhan yang membenarkan kita. Inilah prinsip kebenaran sejati, kebenaran yang selamanya harus terus-menerus diingat.

Abraham bukan bapa iman, karena iman tidak datang dari Abraham. Abraham adalah bapa dari mereka yang beriman kepada Allah. Abraham hanya bapa orang percaya. Dengan demikian, kita meneladani imannya. Alkitab berkata, “Dia diperkenan Allah bukan karena dia berbuat baik, tetapi karena beriman kepada Allah.” Sebelum sunat diperintahkan, sebelum Taurat diwahyukan, sudah ada pembenaran Tuhan terhadap Abraham, karena ia beriman. Yang mutlak setia kepada kebenaran, itulah yang dinamakan iman. Setia sepenuhnya dan setia semutlaknya merupakan iman yang sejati. Tuhan memberikan firman, manusia menyatakan iman. Dengan demikian firman dari atas, iman dari manusia, bertemu melalui kejujuran, kesetiaan, dan ketaatan.

Kesetiaan, ketaatan, penaklukan diri, persembahan diri, dan kerohanian. Kerohanian adalah kembali kepada Allah melalui kejujuran, integritas, dan kesetiaan kita. Di dalam ketaatan dan kepatuhan mendengarkan firman, timbullah iman yang sejati. Allah adalah Allah yang memberi firman dan menuntut manusia bereaksi dengan iman. Ketika kedua ini tepat dan bertemu, kita bersatu dengan Kristus di dalam firman (union with Christ). Kristus adalah hal konkret termutlak dari firman. Firman itu adalah Allah. Allah melalui Firman yang berbentuk tulisan (Alkitab) dan berbentuk daging (Kristus) menyebabkan orang beriman bisa diperkenan Tuhan.

Bagaimana dengan mereka yang belum pernah mengenal Kristus atau firman? Apakah mereka tetap mempunyai iman yang sejati kepada Tuhan? Jika seseorang belum pernah menjadi Kristen, belum pernah mendengar firman Tuhan, belum pernah memiliki atau membaca Kitab Suci, mungkinkah dia beriman? Bagaimana orang-orang seperti ini bisa datang kepada Tuhan dan diperkenan Tuhan? Alkitab berkata, “Tanpa iman tidak ada seorang pun yang diperkenan Tuhan.” Mungkinkah orang kafir, orang yang tidak pernah ke gereja bisa beriman? Mungkinkah mereka yang tidak pernah mendengar firman bisa beriman? Jika demikian, kalimat “tanpa iman tidak seorang pun berkenan kepada Tuhan” hanya berlaku dan hanya dibicarakan untuk orang Kristen saja, karena hanya orang Kristen yang sudah mendengar firman dan membaca Alkitab. Tuhan mengatakan, “Engkau harus memiliki iman melalui pendengaran akan firman.” Allah hanya dapat menuntut orang Kristen beriman, Allah tidak boleh menuntut orang bukan Kristen untuk beriman, karena mereka tidak pernah mendengarkan khotbah. Tetapi di dalam Ibrani 11:6 tidak dikatakan, “Tanpa iman orang Kristen tidak diperkenan Allah,” tetapi, “tanpa iman manusia tidak bisa diterima Tuhan.” Jadi, dari ayat ini yang dituntut bukan orang Kristen, tetapi setiap manusia di dunia ini, baik orang Kristen maupun orang yang belum Kristen, yang atheis, kafir, atau beragama lain.

Ketika kita memberitakan Injil kepada orang non-Kristen, kita minta untuk dia percaya kepada Kristus. Apakah saat itu engkau berpikir dia bisa percaya, sehingga engkau mengundang dia untuk percaya? Kalau dia tidak mungkin percaya, mengapa engkau mengundang dia untuk percaya? Jika kita mengundang seseorang untuk percaya, tentulah kita sudah mempunyai keyakinan bahwa dia mungkin bisa percaya, mungkin juga bisa menolak untuk percaya. Jadi kita sudah punya presuposisi bahwa Allah telah menanamkan benih iman di dalam hatinya, tinggal dia mau atau tidak.

Ada anggapan bahwa manusia mungkin beriman kepada Tuhan karena iman itu adalah karunia Allah. Sehingga, jika iman adalah karunia dari Allah, orang yang tidak beriman jangan disalahkan. Jadi, jika Allah tidak memberikan karunia iman kepada mereka, lalu engkau menuntut mereka percaya, ini adalah tuntutan yang mustahil, tidak perlu, tidak logis, dan terlalu kejam, karena engkau menuntut hal yang tidak mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai iman.

Jika Allah sudah memberikan iman kepada manusia yang dicipta menurut peta dan teladan Allah, dari mana kita mengetahui bahwa orang yang belum pernah percaya, yang belum Kristen, belum pernah membaca Alkitab, belum pernah mendengar khotbah, bisa memiliki iman di dalam hatinya? Banyak orang yang ingin mendirikan gereja, tidak mau belajar berkhotbah, sehingga berkhotbah dengan salah, dan terkadang mengandung penipuan, akhirnya gereja menjadi kacau. John Calvin, theolog Reformed, mengatakan dari Alkitab: mungkin saja orang itu beriman kepada Tuhan. Iya, mungkin bisa beriman kepada Tuhan, tetapi masalah imannya benar atau salah, itu adalah hal yang lain. Manusia mungkin beriman kepada Tuhan, tetapi beriman salah, menyeleweng dari Alkitab, karena dosa, tipuan Iblis, dan karena khotbah dari pendeta yang tidak bertanggung jawab. Hal-hal ini bisa mengakibatkan iman yang Tuhan tanam dalam hati manusia itu dibengkokkan, dicacatkan, dinodai, dan diberi polusi, sehingga iman manusia kepada Tuhan itu salah.

Sepertinya ada orang yang menyanggah, dari manakah ada pengertian seperti itu di Alkitab. Tidak ada ayat Alkitab yang mencatat manusia mungkin beriman kepada Tuhan di dalam dirinya tanpa mendengar khotbah, tanpa membaca Kitab Suci. Tetapi Kitab Suci menunjukkan semua rahasia yang paling dalam dari kebenaran antara manusia dan Tuhan, hubungan antara manusia dan Allah. Salah satu bagian ayat yang paling penting adalah Roma 1:18-20. Di sini dibahas dua aspek, eksternal (melalui kreasi) dan internal (melalui intuisi). Alam semesta yang diciptakan dengan begitu sempurna dan begitu lengkap adalah pernyataan Tuhan kepada manusia secara eksternal. Hati nurani yang begitu halus dan tajam, bersuara kepada kita, merupakan pernyataan Tuhan kepada manusia secara internal. Dengan demikian, ada pernyataan keberadaan Allah secara eksternal yang dinyatakan oleh alam ini, dan secara internal dari dalam hati nurani manusia, dan semua ini membuktikan bahwa Allah ada.

Allah menciptakan alam semesta untuk kamu, dan Allah mencipta kamu untuk Allah. Allah mencipta engkau menikmati alam semesta untuk dapat memuliakan Allah. Di sini kita melihat kaitan yang begitu indah, begitu sempurna, sehingga manusia tidak lagi dapat berdalih, tidak dapat menolak, menyangkal, dan meniadakan Tuhan. Pernyataan Allah dari luar dan dari dalam menjepit saya, sehingga saya hanya bisa berkata, “Saya mengaku Tuhan ada dan saya harus mengerti keberadaan Allah tersebut. Saya tidak bisa melarikan diri, tidak boleh menolak, menyangkal, atau berdebat untuk membuat fakta bahwa Allah tidak ada.”

Orang yang belum Kristen harus beriman kepada Tuhan, orang yang belum pernah membaca Kitab Suci harus beriman kepada Tuhan. Ini tuntutan Tuhan. Tuhan sudah mengerjakan bagian-Nya, sekarang Tuhan mau kita mengerjakan bagian kita. Jika Tuhan sudah mewahyukan keberadaan-Nya dan kita tidak mau beriman, kita berdosa besar. Jika kita melarikan diri, kita orang yang tidak bertanggung jawab. Seluruh langit, alam semesta, menyatakan dan memanggil, “Datanglah percaya bahwa yang mencipta kita adalah Tuhan Allah.” Hati nurani kita sebenarnya juga memberikan teriakan kepada kita, “Jangan lupa Tuhan itu ada.” Ibrani 11:6 berkata, “Tanpa iman tidak ada seorang pun diperkenan Tuhan.” Ini adalah fakta yang menjadikan kita harus bertanggung jawab.

Bersambung…

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/iman-pengharapan-dan-kasih-bagian-3