Pengakuan Iman Rasuli tiga kali menyatakan “Aku percaya”, dalam bahasa Latin disebut credo, dan dalam bahasa Yunani adalah pistos, yang berarti iman. Istilah “iman” membedakan agama Kristen dari semua agama lain. Semua agama bukan berdasarkan iman, melainkan berdasarkan kelakuan, kebajikan, moral, dan pelayanan pribadi. Akibatnya, agama menjadi sebuah kesombongan yang merebut kemuliaan Tuhan. Jika semua agama berusaha mencuri kemuliaan Tuhan, membanggakan tindakan dan jasa diri, menjadi sombong karena saya telah berbuat baik, menjalankan tuntutan hati nurani, menganggap diri lebih baik dari orang lain, memuliakan diri, orang Kristen tidak demikian. Kemuliaan hanya bagi Allah, bukan untuk kita. Kemuliaan bagi Allah yang Mahatinggi. Kemuliaan bagi Yahweh, bagi Tuhan yang berada di sorga.

Gideon mendapatkan 30.000 orang yang mau berperang, tetapi Tuhan tidak berkenan. Akhirnya Tuhan hanya memperkenankan 300 orang yang boleh berperang bersama Gideon. Jika dengan kekuatan 30.000 prajurit mereka menang, mereka akan menjadi sombong dan menganggap semua itu bisa terjadi karena kehebatan dan kekuatan mereka. Tuhan ingin menyatakan bahwa Tuhanlah yang memberikan kemenangan. Dengan 300 prajurit mengalahkan puluhan ribu musuh yang begitu bengis, kejam, dan jahat, maka Tuhan dipermuliakan.

Kita semua adalah orang yang lemah, kurang, tidak layak, dan tidak sanggup. Kita tidak mampu menyelamatkan diri kita sendiri, oleh karena itu kita tidak boleh membanggakan diri. Semua boleh terjadi karena anugerah Tuhan, hasil karya Tuhan sendiri. Iman berarti bukan bersandar pada kelakuan dan jasa sendiri. Iman berarti tidak bersandarkan pada kebolehan dan kelayakan kita. Ada tiga hal, yaitu: bukan karena perbuatan baik kita, bukan karena jasa kita, dan bukan karena kualitas kita. Kita semua diberkati Tuhan bukan karena kelakuan dan jasa kita. Justru kita adalah orang yang tidak layak, tidak ada jasa, tidak ada kelakuan atau perbuatan baik yang sah. Kita semua mendapat berkat bukan karena kita hebat, tetapi karena Tuhan memberikan secara gratis kepada kita. Gratia, adalah anugerah di mana tidak ada jasa, tidak ada kebajikan. Lalu engkau berkata, “Tuhan, saya tidak ada jasa, tidak ada kelayakan, tidak ada kelakuan yang baik, tetapi Engkau masih memberkati aku. Kiranya semua kemuliaan kembali kepada Tuhan.”

Iman bukan kelakuan, kebajikan, jasa, dan pengorbanan yang kita anggap layak terima. Iman adalah pemberian gratis dari Tuhan. Engkau harus berkata, “Tuhan, aku kembali kepada-Mu, kembali ke tangan-Mu, karena aku milik-Mu. Aku tidak dapat membawa apa pun bagi dunia ini, dan aku tidak dapat membawa apa pun juga keluar dari dunia ini, selain aku kembali kepada-Mu.” Saya sadar bahwa saya tidak layak, maka saya diberkati oleh Tuhan. Itulah iman.

Di dalam Roma 3:25 dikatakan, “Dengan cara apa kita diselamatkan? Dengan bekerja berat atau berjasa kebajikan? Tidak! Tuhan memberikan berkat melalui iman kepada kita.” Iman berarti setia, taat, dan jujur kepada Tuhan. Setia kepada Tuhan di dalam bahasa Latin berarti fide, yang di dalam bahasa Inggris menjadi faith. Kata ini dari bahasa Gerika, yaitu pistos, yang digunakan sebanyak 270 kali di dalam Perjanjian Baru. Dalam 270 kali pemunculannya, 99 kali digunakan di Injil Yohanes, atau itu berarti sekitar 37% dari seluruh pemunculannya di dalam Perjanjian Baru. Dari sini, kita melihat bagaimana Yohanes sangat mementingkan iman. Iman berarti setia, iman berarti jujur, iman berarti sungguh-sungguh bereaksi dengan takluk dan sungguh-sungguh taat kepada Tuhan.

Tema pertama kita adalah iman, sehingga kita akan memikirkan tentang ajaran iman. Firman, terang, kasih, dan iman adalah empat terminologi yang paling sering muncul dalam tulisan Yohanes. Yohanes sangat mementingkan iman, yaitu bagaimana kita setia kepada Tuhan, tidak menyeleweng, jujur menaati firman Tuhan. Dalam Alkitab, mendengar adalah aktivitas yang sangat penting, dan mendengarkan firman Tuhan adalah tuntutan Tuhan sendiri. Istilah Allah dalam bahasa Ibrani bukan tunggal melainkan plural. Di dalam bahasa Ibrani, ada tiga format yang tidak lazim dalam bahasa-bahasa lain, yaitu singular, dual, dan plural. Bahasa Indonesia tidak memiliki perbedaan untuk bentuk-bentuk tunggal dan jamak seperti ini. “Allah (plural) kita itu Allah yang esa (singular)” merupakan kalimat untuk mengungkapkan kondisi Tritunggal dalam format yang paling dini. Allah melalui firman-Nya mau mengajar manusia bahwa Allah adalah Allah Tritunggal, sehingga menggunakan bentuk plural. Allah tidak menggunakan bentuk dual, karena Allah bukan dua Pribadi, tetapi tiga Pribadi. Memang plural bisa tiga, empat, atau lima, tetapi jika kita memperhatikan Alkitab, kita melihat bahwa di berbagai tempat digambarkan hanya tiga, bukan empat atau lima, seperti pujian Yesaya: suci, suci, suci (Yes. 6:3). Hanya tiga kali, tidak dua atau empat. Di situ kita melihat, bahwa lagu “Suci, Suci, Suci” harus hanya tiga kali suci, dan kalau empat kali akan salah.

Allah yang Trinitas adalah Allah Tritunggal yang mutlak, di mana angkanya hanya tiga, tidak bisa lebih. Angka tiga adalah angkanya Tuhan, sehingga Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus, tiga Pribadi; suci, suci, suci, juga tiga kali; Tuhan Yesus bangkit pada hari ketiga; naik ke lapisan langit ketiga. Semua ini menyatakan bahwa kita tidak boleh sembarangan mengerti doktrin Ilahi.

Orang liberal dan orang agamawi yang berada di banyak daerah mengatakan bahwa di Timur Tengah (Middle East) selalu menyatakan kebesaran dewa mereka, sehingga menggunakan bentuk plural (pluralis majestatis), yaitu bentuk plural untuk menyatakan penghormatan pada dewa yang diberikan kepada allah. Itulah sebabnya orang Israel memanggil Allah sebagai ElohimElohenu. Hal ini digunakan di dalam Ulangan 6:4. “Dengarlah hai Israel, Allah itu adalah Allah yang esa!” Hal seperti ini mirip seperti yang digunakan untuk menyebut Dagon, yaitu dewa-dewa Ahab yang juga menggunakan bentuk plural. Bentuk plural dewa-dewa itu memang untuk menyatakan pluralis majestatis, tetapi ini bukan untuk Allah Tritunggal.

Sejak dari awal Alkitab, ketika Allah menciptakan manusia, Ia telah mengatakan, “Marilah Kita menciptakan manusia itu menurut gambar dan rupa Kita.” Manusia diciptakan menurut peta teladan Kita (bentuk plural). Di sini Allah menyebut diri-Nya sendiri, sehingga tidak perlu menggunakan bentuk penghormatan pluralis majestatis. Di sini Allah menyatakan diri sebagai Allah Tritunggal. Alkitab begitu ketat, teliti, akurat, dan mutlak adanya. Alkitab tidak pernah sembarangan. Alkitab berasal dari Tuhan, semua wahyu dari Allah yang sejati adalah wahyu yang akurat, wahyu yang sempurna, dan wahyu yang bertanggung jawab. Kita bersyukur kepada Tuhan.

Allah juga menyebut diri dengan “Kita” pada saat manusia jatuh ke dalam dosa, “Mereka sudah mengetahui hal yang baik dan jahat, mereka sudah seperti ‘Kita’. Maka, sekarang Aku akan turun untuk membereskan semua ini.” Setiap kalimat begitu serius dan sungguh menyatakan isi hati Tuhan. Allah Tritunggal menyebut diri-Nya, membicarakan dengan bentuk “Kita” untuk menyatakan diri sebagai Allah Tritunggal, mengajarkan kepada manusia bagaimana menyebut Allah seperti bentuk pluralis majestatis, tetapi sebenarnya adalah Tritunggal, yaitu tiga Pribadi satu Allah. Keilahian terbentuk dari tiga Pribadi yang berbeda. Istilah yang dipergunakan dalam bahasa Ibrani menunjuk bentuk plural bukan singular, untuk menyatakan bahwa Allah yang Mahakuasa adalah Allah yang esa dengan tiga Pribadi yang berbeda. Dia menciptakan dan mengatur seluruh dunia dan ingin agar manusia bisa berbakti kepada-Nya, memuji dan memuliakan Allah dengan tiga kali menyatakan “suci, suci, suci” untuk masing-masing Pribadi Allah Tritunggal.

“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul. 6:4). Oleh karena itu, cintailah Dia dengan segenap pikiranmu, sebulat hatimu, dan dengan sekuat tenagamu, dan seluruh keberadaanmu. Ini berarti Tritunggal, hati kita yang mencintai Dia harus mencintai dengan sungguh, taat, setia, dan sama sekali tidak boleh menyeleweng atau bercabang. Oleh karena itu dikatakan, “Engkau harus mendengarkan firman-Nya dengan segenap hati dan dengan sebulat jiwa untuk mencintai Dia,” karena Allah menjadikan umat-Nya sebagai umat yang bisa dengar-dengaran dengan Dia.

Di dalam sejarah manusia, hanya ada dua bangsa yang pengaruhnya paling besar kepada seluruh dunia, kepada umat manusia di dunia ini, yaitu bangsa Ibrani (Hebrew) dan Gerika (Hellenistic). Kedua bangsa ini paling besar pengaruhnya kepada manusia, karena orang Israel adalah bangsa yang mendapatkan wahyu dari Tuhan, sedangkan orang Yunani adalah orang yang mendapatkan rasio untuk meneliti semua ciptaan Tuhan dengan memakai mata yang melihat (observasi); sehingga kedua bangsa ini menjadi bangsa yang penting. Satu bangsa mendengar, dan yang lain melihat. Yang mendengar mau mendengar arti, yang mengamati mau mengetahui makna. Arti dan makna yang tersimpan dalam semua pemberitaan firman harus dimengerti; arti dan makna yang tersimpan dalam ciptaan harus diamati. Jadi, orang Gerika mengamati dan orang Israel mendengar. Kalau mengamati pakai mata, kalau mendengar pakai telinga. Jadi satu fungsi dari telinga, dan yang lain adalah fungsi dari mata.

Orang Gerika melihat angkasa, cakrawala, melihat segala sesuatu yang di atas, lalu mengamati, menulis gejala yang mereka lihat, dihitung, dipikirkan, sesudah itu mereka pelajari dan menjadi orang-orang yang belajar. Orang Ibrani bukan dengan cara melihat tetapi mendengar, yaitu mendengarkan firman Tuhan. Di dalam Kitab Yeremia ada kalimat, “Bumi, bumi, bumi, dengarlah firman Tuhan.” Di dalam Kitab Ulangan ditulis, “Israel, Israel, dengarlah Allahmu.” Bahasa Ibrani untuk “mendengar” adalah shema, berarti dengan telinga harus menaati, harus mendengar dengan teliti setiap huruf, setiap kata, dan setiap kalimat yang diucapkan oleh Tuhan. Dengarkanlah firman-Nya, dengarkanlah nubuat-Nya, dengarkanlah ajaran-Nya. Jika engkau tidak mendengar, apa bedanya engkau dengan bangsa lain, karena bangsa lain hanya bisa berteriak-teriak agar permintaan mereka didengar oleh dewa atau ilah mereka. Allah menyatakan, “Tetapi engkau bangsa-Ku, bukan Aku mendengar doamu, tetapi Aku minta kamu yang mendengar firman-Ku, perintah-Ku, ajaran-Ku yang Aku berikan melalui para nabi. Dan puncaknya, dengarkan Anak-Ku yang Kukasihi.” Inilah tuntutan Alkitab.

Dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, pendengaran menjadi tuntutan Tuhan yang paling utama, sehingga anak-anak Tuhan, umat Tuhan, bangsa yang mengaku Tuhan Allah sebagai Tuhan mereka, harus mendengar. Ini alasan Gereja Reformed Injili Indonesia sedemikian mementingkan khotbah. Setiap pendeta diharapkan terus-menerus memberikan khotbah yang begitu teliti, ketat, kadang terkesan begitu rumit untuk jemaat mendengarnya. Ini adalah kehendak Allah. Jika engkau tidak dengar, bagaimana engkau bisa beriman? Iman datang dari pendengaran, dan pendengaran dari firman Tuhan. Orang yang tidak suka mendengar khotbah sulit mengerti firman Tuhan dan sulit mengerti isi hati Tuhan. Pendeta yang tidak suka berkhotbah, bagaimana bisa menjadi gembala yang baik untuk membawa anak-anak Tuhan mengerti firman Tuhan? Firman Tuhan jika tidak dikabarkan dengan baik, gereja tidak mungkin bisa bertumbuh dengan baik. Hamba Tuhan yang tidak mengajarkan firman Tuhan dengan bertanggung jawab tidak dapat disebut sebagai hamba Tuhan.

Ada beberapa hal yang perlu dipertegas dan dijelaskan untuk kita mengerti, karena kita sering kali merasa sudah tahu dan kurang memberikan perhatian, yaitu suara, nada, kalimat, bahasa, makna, kehendak, dan rencana Tuhan.

Suara adalah bunyi-bunyian yang bisa dikeluarkan oleh banyak pihak, baik dari makhluk hidup maupun oleh benda, seperti suara burung, suara kambing, suara anjing, tetapi juga suara mobil. Tetapi suara saja tidak cukup karena dibutuhkan nada untuk membangun pesan sehingga lebih tepat penyampaiannya. Musik terdiri dari suara dan nada. Jika hanya ada suara yang berisik, itu adalah kebisingan (noise). Tetapi jika sudah diberi nada yang teratur, suara ini menjadi musik. Nada bagai kendaraan yang mengisi sesuatu untuk dibawa ke suatu tempat. Kemudian suara itu diisi oleh bahasa. Bahasa adalah isi, suara adalah kendaraannya. Jadi yang penting adalah kalimat dan kalimat itu merupakan bahasa. Suara yang tanpa nada, seperti memukul meja atau suara barang jatuh, adalah suatu keributan. Tetapi ketika sudah diberi nada yang teratur, maka ia berubah menjadi musik. Ketika suara dan nada bersatu menghasilkan musik, itu akan menyenangkan orang. Ketika bukan hanya suara dan nada saja, tetapi ada kalimat, dan kalimat itu diisikan ke dalam suara dan nada, maka itu menjadi bahasa. Kalau bahasa sudah masuk ke dalam suara dan kalimat sudah diisi dengan nada, orang akan mengerti maknanya, bukan hanya sekadar mendengar suara. Burung bersuara, manusia bersuara, tetapi manusia bukan burung dan burung bukan manusia. Ketika manusia membicarakan sesuatu, maka bahasa masuk ke dalam suara dan suara keluar disertai nada, itu semua menjadi suatu seni yang sangat bermakna di dalam sebuah komunikasi. Maka, pembicaraan menjadi penuh makna.

Ketika Tuhan menciptakan manusia, bukan sekadar dengan suara, nada, bahasa, kalimat, tetapi dengan makna, dengan arti, dan dengan kebenaran dan firman. Sampai pada tingkat tertinggi, maka ada makna dari kata (firman) dan makna dari wahyu Allah yang sejati, menjadi suatu pengajaran untuk membangun kepribadian manusia. Di dalam karakter manusia yang dibangun, distrukturkan, dan dibentuk oleh Tuhan, Tuhan memakai kebenaran untuk menegakkan personalitas setiap pribadi. Kita sudah mendengar, bukan sekadar suara, tetapi kita mencari artinya, mau mengerti makna sesungguhnya. Di dalam makna, ada kehendak dan rencana yang Tuhan utarakan. Setelah engkau mencapai tingkat wilayah yang tertinggi, maka engkau mulai mengetahui, “Allah, kini aku mengerti Engkau. Aku tahu apa yang Engkau inginkan. Dan aku kini mau mendengarkan Engkau, menaati Engkau, dan mau setia kepada-Mu.” Setia kepada makna yang diisi di dalam bahasa, taat kepada rencana yang menggunakan suara tiba di telinga kita. Dengan demikian, kita menjadi manusia yang mendengar. Dengan demikian engkau akan dapat mengerti isi hati dan rencana Tuhan.

Tuhan Yesus turun ke dunia. Dia datang untuk menyampaikan firman secara pribadi. Saudara dan saya sangat perlu untuk mendengarkan dengan baik-baik firman Tuhan, karena firman Tuhan menanti, mencari, menunggu, dan akan memilih orang yang sungguh mendengar-Nya. Jika engkau berbicara apa pun dan lawanmu tidak mendengar satu kalimat pun, engkau merasa tidak ada arti. Engkau di rumah berbicara, tetapi tidak ada seorang pun yang mau memperhatikan dan mendengarkan apa yang engkau katakan, maka engkau akan tinggalkan rumah itu, karena di situ tidak ada objek pendengaran. Itu sebabnya, ketika Tuhan berbicara kepada manusia, Tuhan menunggu, Tuhan mencari, dan Tuhan akan memimpin orang yang mendengarkan firman-Nya.

Ketika Yesus datang ke dunia, seperti tertulis dalam Ibrani 1:1-2, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.” Firman menjadi daging. Sang Kebenaran menjadi manusia yang berbicara. Tuhan menjadi bahasa yang dapat didengar oleh manusia. Itulah sebabnya, ketika Yesus datang ke dalam dunia, Ia berinkarnasi menjadi manusia, Ia sendiri membawa firman Allah yang melampaui semua nubuat para nabi. Tetapi ketika Yesus datang dan berbicara, orang Farisi tidak mendengarkan Dia, malah memakukan-Nya di kayu salib. Tetapi para murid-Nya, rasul-rasul-Nya mendengar Dia dan mencatatnya menjadi Kitab Suci. Jika Yesus tidak datang ke dunia, kita tidak pernah mendengar kalimat yang paling intim, paling pribadi, dalam, dan akurat untuk mengerti isi hati Tuhan.

Ketika Yesus di dunia, Ia memuji Maria. Dia bukan memuji Marta, Dia malah menegurnya, “Marta, Marta, engkau selalu sibuk. Setiap kali Aku datang ke sini, engkau pergi ke pasar, beli barang, sibuk memasak, terus ribut di dapur. Tetapi adikmu, Maria, memilih berkat yang paling baik, paling tinggi, dengan cara duduk di bawah Aku, mendengarkan firman-Ku.”

Ketika Yesus datang ke dunia, Tuhan Allah berkata, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, dengarlah kepada Dia.” Siapa orang yang mendengar Dia? Maria. Maria begitu taat, rendah hati, dan rela mendengar. Setiap hamba Tuhan kiranya lebih suka mendengar dan mengerti firman Tuhan, lalu menjalankan kehendak Tuhan. Karena untuk itulah ia dipakai menjadi hamba Tuhan untuk menjadikan orang Kristen sebagai orang yang sungguh-sungguh mendengarkan Dia. Sesudah mendengar, kita menjadi orang yang berbakti kepada Dia, setia kepada Dia. Itu namanya fide (iman), yaitu percaya dengan setia, percaya dengan sama sekali tidak mengurangi sedikit pun isinya. Iman berarti setia kepada Tuhan. Mari kita menjadi orang yang beriman kepada Tuhan dan dengan sungguh-sungguh mau mengerti isi hati Tuhan. Amin.

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/iman-pengharapan-dan-kasih-bagian-1