Akibat wabah virus corona (COVID-19), membuat terjadinya perlambatan atau hambatan bagi Wajib Pajak untuk melakukan aktivitas perpajakan. Oleh karena itu Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-156/PJ/2020 tertanggal 20 Maret 2020. Adapun kebijakan dalam ketentuan ini yaitu menetapkan keadaan sebagai akibat penyebaran Virus Corona (Corona Virus Desease 2019/Covid-19) sejak tanggal 14 Maret 2020 sampai dengan tanggal 30 April 2020 sebagai keadaan kahar (force majeur).
Demikian juga dengan siaran pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia yaitu Siaran Pers nomor HM.4.6/32/SET.M.EKON.2.3/03/2020 tanggal 13 Maret 2020 dimana pemerintah mengumumkan stimulus ekonomi kedua untuk menangani dampak Covid-19.
Tentang apa poin-poin dari kebijakan yang dikeluarkan dalam 2 (dua) beleid tersebut akan coba diringkas dalam tulisan berikut, semoga menambah informasi yang bermanfaat khususnya bagi pembaca setia blog nusahati.
KEP-156/PJ/2020
Penghapusan Sanksi Administrasi
Kepada Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kewajiban perpajakannya pada periode keadaan kahar sebagaimana dijelaskan di awal tulisan, diberikan penghapusan sanksi administrasi perpajakan. Sanksi administrasi adalah sanksi administrasi atas keterlambatan berupa denda dan bunga atas:
- penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) orang pribadi Tahun Pajak 2019; dan
- pembayaran atas jumlah pajak yang kurang dibayar dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi Tahun Pajak 2019, yang dilaksanakan paling lambat tanggal 30 April 2020.
Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan (SPT Masa PPh) pemotongan/pemungutan untuk Masa Pajak Februari 2020 pada tanggal 21 Maret 2020 sampai dengan tanggal 30 April 2020 diberikan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPh yaitu berupa denda, sementara Kewajiban penyetoran PPh yang terutang dalam SPT Masa PPh pemotongan/pemungutan tetap harus dipenuhi pada saat jatuh tempo sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pembayaran dan penyetoran pajak.
Wajib Pajak orang pribadi disini merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dengan akhir tahun buku pada 31 Desember 2019, Wajib Pajak orang pribadi yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final, termasuk dari usaha dengan peredaran bruto tertentu, dan Wajib Pajak orang pribadi yang diwajibkan melakukan pencatatan, yaitu:
- Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegfatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; atau
- Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Dalam keputusan (diktum) ke sebelas KEP-156/PJ/2020 menjelaskan bahwasanya terhadap kondisi tersebut di atas tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP), namun apabila terlanjur diterbitkan maka dilakukan penghapusan sanksi administrasi secara jabatan dengan menggunakan pasal 36 ayat 1a UU KUP oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Download KEP-156/PJ/2020
Perpanjangan Laporan Penempatan Harta
Kepada Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan terkait keikutsertaan dalam pengampunan pajak berupa laporan realisasi pengalihan dan investasi harta tambahan dan/atau laporan penempatan harta tambahan, dapat menyampaikan laporan tersebut paling lambat tanggal 30 April 2020.
Upaya Hukum Perpajakan
Bagi Wajib Pajak yang mengajukan permohonan upaya hukum berupa:
- keberatan;
- pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua; atau
- pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang kedua.
batas waktu pengajuan permohonan dimaksud berakhir pada tanggal 15 Maret 2020 sampai dengan tanggal 30 April 2020, diberikan perpanjangan batas waktu untuk pengajuan permohonan sampai dengan tanggal 31 Mei 2020.
Siaran Pers nomor HM.4.6/32/SET.M.EKON.2.3/03/2020
Wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) telah menjadi pandemi. Artinya, wabah penyakit ini telah terjadi pada geografis yang luas atau menyebar secara global. Dampak terhadap sektor ekonomi tentu tidak dapat dielakkan lagi. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan akan terkontraksi semakin dalam. Untuk itu, Pemerintah memerhatikan isu-isu yang memerlukan kebijakan khusus,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam Konferensi Pers tentang Stimulus Ekonomi II Penanganan Dampak COVID-19.
Menko Airlangga menjelaskan, untuk menjaga agar sektor riil tetap bergerak serta menjaga daya beli masyarakat demi mendorong kinerja ekonomi domestik, Pemerintah kembali mengeluarkan stimulus ekonomi salah satunya stimulus fiskal. Adapun stimulus fiskal itu berupa :
Relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21)
Relaksasi diberikan melalui skema PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 100% atas penghasilan dari pekerja dengan besaran sampai dengan Rp200 juta pada sektor industri pengolahan (termasuk KITE dan KITE IKM). PPh DTP diberikan selama 6 bulan, terhitung mulai bulan April hingga September 2020. Nilai besaran yang ditanggung pemerintah sebesar Rp8,60 triliun. Diharapkan para pekerja di sektor industri pengolahan tersebut mendapatkan tambahan penghasilan untuk mempertahankan daya beli.
Simpulan relaksasi PPh Pasal 21 ini hanya diberikan dengan persyaratan, pemberi kerja adalah termasuk KLU yang ditentukan, telah ditetapkan sebagai perusahaan KITE, memiliki NPWP dan memperoleh penghasilan yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari 200 juta.
Relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor (PPh Pasal 22 Impor)
Relaksasi diberikan melalui skema pembebasan PPh Pasal 22 Impor kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dan Wajib Pajak Kemudahan Impor Tujuan Ekspor–Industri Kecil dan Menengah (KITE IKM). Pembebasan PPh Pasal 22 Impor diberikan selama 6 bulan terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan pembebasan sebesar Rp8,15 triliun. Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost (biaya sehubungan perubahan negara asal impor).
Relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25)
Relaksasi diberikan melalui skema pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30% kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE-IKM selama 6 bulan terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan pengurangan sebesar Rp4,2 triliun. Sebagaimana halnya relaksasi PPh Pasal 22 Impor, melalui kebijakan ini diharapkan industri memperoleh ruang cashflow sebagai kompensasi switching cost (biaya sehubungan perubahan negara asal impor dan negara tujuan ekspor). Selain itu, dengan upaya mengubah negara tujuan ekspor, diharapkan akan terjadi peningkatan ekspor.
Relaksasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Relaksasi diberikan melalui restitusi PPN dipercepat (pengembalian pendahuluan) bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE-IKM. Restitusi PPN dipercepat diberikan selama 6 bulan, terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan besaran restitusi sebesar Rp1,97 triliun. Tidak ada batasan nilai restitusi PPN khusus bagi para eksportir, sementara bagi para noneksportir besaran nilai restitusi PPN ditetapkan paling banyak Rp5 miliar. Dengan adanya percepatan restitusi, Wajib Pajak dapat lebih optimal menjaga likuiditasnya.
Stimulus Fiskal ini sudah digodok dan akan segera dikeluarkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan atau Peraturan Menteri Keuangan yang kita nantikan bersama.
Loading…
Sangat Bermanfaat
Terima kasih