Dalam tulisan-tulisan sebelumnya telah banyak dibahas kaitannya dengan Bentuk Usaha Tetap, namun belakangan ini banyak sekali peraturan-peraturan yang keluar yang di dalamnya bersinggungan dengan jenis subjek pajak yang satu ini. Pertama adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 35/PMK.03/2019, yang terbit dan berlaku efektif per 1 April 2019 yaitu dasar pertimbangannya adalah peningkatan perkembangan model usaha lintas Negara, perlu penegasan saat penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan demi kepastian hukum bagi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan di Indonesia.
Lalu, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) bertujuan membuka basis perpajakan. Tentang apa saja poin yang penulis tangkap dalam kedua beleid tersebut, akan coba penulis sarikan.
Saat Menjadi Subjek Pajak
Orang Pribadi Asing adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Sementara, Badan Asing adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang Pribadi Asing atau Badan Asing yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dimulai pada saat Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah saat mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap tidak melaksanakan kewajiban Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
Kriteria Usaha, BUT dan Otomatis BUT
Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
- adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
- tempat usaha bersifat permanen; dan
- tempat usaha digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Bentuk usaha merupakan bentuk usaha tetap meskipun tidak memenuhi kriteria di atas otomatis menjadi BUT, meliputi :
- proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
- pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
- orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; dan
- agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Pengertian usaha atau kegiatan adalah mencakup segala hal yang dilakukan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan.
Tempat Usaha BUT
Tempat usaha yang digunakan untuk menjalankan usaha bersifat permanen. Tempat usaha yang dimaksud dalam ketentuan BUT ini mencangkup ruang, fasilitas atau instalasi—termasuk mesin atau peralatan—yang digunakan untuk berbisnis di Indonesia. Sementara yang dimaksud dengan tempat usaha permanen adalah tempat digunakan usaha yang secara berkelanjutan dan berada di lokasi geografis tertentu.
Selain itu, suatu tempat usaha dikatakan BUT jika orang pribadi atau badan asing bisa mengakses tempat tersebut secara tidak terbatas. Sementara itu, jika orang pribadi dan badan asing memiliki akses yang terbatas tempat usaha atau tempat hanya digunakan untuk penyimpanan atau pengelolaan data secara elektronik, maka tidak termasuk kategori BUT.
Adapun jenis tempat usaha permanen yang masuk dalam kategori BUT meliputi:
- Tempat kedudukan manajemen
- Cabang perusahaan
- Kantor perwakilan
- Gedung Kantor
- Pabrik
- Bengkel
- Gudang
- Ruang untuk promosi dan penjualan
- Pertambangan dan Penggalian SDA
- Wilayah kerja pertambangan migas
- Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan
- Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan orang pribadi atau badan asing untuk menjalankan usaha melalui internet
Pengecualian BUT
Berkaitan dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), orang pribadi maupun badan asing yang kegiatan usahanya bersifat persiapan (preparation) atau penunjang (auxiliary) guna memperlancar kegiatan yang esensial dan signifikan dikecualikan dari kriteria BUT, meskipun tempat usahanya permanen dan memiliki akses penuh ke tempat tersebut.
Kegiatan esensial dan signifikan yang dimaksud dalam ketentuan ini meliputi:
- kegiatan inti orang pribadi atau badan asing
- bagian tidak terpisahkan dari usaha atau kegiatan inti
- menimbulkan penghasilan secara langsung kepada orang pribadi atau badan asing, dan
- menggunakan harta atau sumber daya manusia dengan jumlah yang signifikan.
E-commerce sebagai BUT
Direktorat Jenderal Pajak pernah mengeluarkan Surat Edaran nomor SE-4/SE.PJ/2017 tentang Penentuan BUT Bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang Menyediakan Layanan Aplikasi dan/atau Layanan Konten Melalui Internet. Namun, Surat Edaran tersebut bersifat parsial dan hanya merupakan panduan bagi internal DJP dalam menetapkan status perusahaan-perusahaan digital berbasis internet (Over The Top/OTT) di Indonesia. SE-4/SE.PJ/2017 terbit ketika keberadaan OTT menjadi sorotan dan perdebatan publik, terutama terkait status perusahaan-perusahaan digital raksasa dunia yang beroperasi dan meraup keuntungan di Indonesia.
Direktorat Jenderal Pajak memandang bahwasanya keberadaan OTT memang dikategorikan BUT. Terutama bila mengacu pada isi SE-4/PJ/2017. Seperti halnya Peraturan Menteri Keuangan ini Surat Edaran tersebut juga bersifat menjelaskan dari ketentuan yang sudah dituangkan dalam UU PPh maupun UU KUP.
Penjelasan tersebut di atas sepertinya dilegitimasi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah nomor 80 tentang Perdagangan melalui system elektronik, khususnya pasal 7 menyebutkan bahwa Pelaku Usaha Luar Negeri yang secara aktif melakukan penawaran dan/atau melakukan (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) PMSE kepada Konsumen yang berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memenuhi kriteria tertentu dianggap memenuhi kehadiran secara fisik di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kriteria tertentu dapat berupa:
- jumlah transaksi
- nilai transaksi
- jumlah paket pengiriman dan/atau
- jumlah traffic atau pengakses
Pasal ini menyebutkan pelaku usaha luar negeri yang secara aktif berjualan secara elektronik kepada konsumen di wilayah Indonesia, serta memenuhi kriteria tertentu, dianggap telah memenuhi kehadiran secara fisik (physical presence) dan melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. Kriteria tersebut mengacu pada kehadiran ekonomi secara signifikan alias significant economic presence, antara lain jumlah transaksi, nilai transaksi, jumlah paket pengiriman, dan/atau jumlah trafik atau pengakses.
Penutup
Seperti kita ketahui bahwasanya salah satu poin dari kebijakan Omnibus Law Perpajakan adalah kaitannya dengan pengertian BUT. Bentuk Usaha Tetap (BUT) akan diubah dan tidak kaku terkait syarat mutlak untuk bisa menjadi BUT harus dengan kehadiran fisik. Aspek nilai tambah ekonomi yang dihasilkan atau significant economic presence juga akan dihitung sebagai komponen pembentuk BUT.
Namun tampaknya, Peraturan Pemerintah nomor 80 tentang Perdagangan melalui system elektronik sudah mengenalkan istilah nilai tambah ekonomi (significant economic presence) sebagai pengertian Bentuk Usaha Tetap. Penulis memandang, bahwasanya saat penentuan dan kewajiban perpajakan atas subjek pajak Bentuk Usaha Tetap ini perlu dilakukan suatu diskusi baik itu melalui sosialisasi atau diseminasi agar dapat dipahami secara terang benderang.
…
Artikel Terkait lainnya :