Untuk mengembangkan usaha PT. Nusahati Indonesia melakukan pinjaman  kepada rekan usaha PT. NusaSMS sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian pembayaran bunga pinjaman sebesar Rp. 1.000.000,- setiap bulan (suku bunga 12%) dan harus dilunasi dalam jangka waktu 3 tahun. Pembayaran angsuran dimulai tanggal 1 Juli 2019 dan pembayaran selanjutnya dilakukan setiap tanggal 1 bulan berikutnya.

Maka aspek perpajakannya adalah pada saat PT. Nusahati Indonesia membayar  bunga pinjaman kepada PT. NusaSMS, PT Nusahati melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas bunga untuk masa Juli 2019 sebesar Rp. 2.000.000,- x 15% atau sama dengan Rp. 150.000,- yang disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 10 Agustus 2019 dan melaporkannya paling lama tanggal 20 Agustus 2019. Atas pemotongan tersebut, PT Nusahati Indonesia memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT. NusaSMS.

Hal tersebut di atas adalah contoh sederhana pengenaan PPh pasal 23 atas bunga pinjaman sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1)a UU PPh. Lalu bagaimana PPh Pasal 23/26 atas biaya bunga yang sudah dibebankan dalam laporan keuangan namun atas realisasi pembayarannya belum dilakukan?

Bunga Sebagai Objek Pajak

Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPh menjelaskan bahwasanya yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk bunga.

Bunga  pinjaman adalah harga yang harus dibayar oleh peminjam kepada yang meminjamkan. Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Praktisnya tentang bunga adalah imbalan atas utang atau penghasilan yang timbul karena adanya piutang.

Bunga Sebagai Biaya Pengurang Penghasilan Bruto

Perlakuan biaya bunga pada berbagai kegiatan dapat dibedakan oleh beberapa hal yang diuraikan, sebagai berikut :

  • Bunga yang atas pinjamannya diperuntukkan membeli saham. Bunga pinjaman yang atas pinjamannya tersebut dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat diperlakukan sebagai biaya, sepanjang dividen yang diterima bukan merupakan obyek pajak, dan biaya bunga tersebut dapat dikapitalisasikan pada harga perolehan saham. Contohnya, PT. Nusagames meminjam uang dari Bank Mandiri sebesar Rp.25.000.000 dengan bunga 20% per tahun. Seluruh pinjaman tersebut dibelikan saham PT. Nusahati. Bunga bank sebesar Rp.25.000.000 X 20% = Rp.5.000.000 tidak dapat diperlakukan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak, tetapi dikapitalisasi pada nilai saham, sehingga nilai saham menjadi Rp.25.000.000 + Rp.5.000.00 = Rp.30.000.000,-
  • Selisih bunga yang dibayarkan ke pemilik saham. Selisih antara bunga yang dibayar kepada pemegang saham dan bunga yang wajar tidak diperkenankan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak. Contohnya PT. Nusagames membayar bunga bank sebesar Rp.10.000.000 kepada Mario Theodoric sebagai salah satu pemegang saham yang memberikan pinjaman ke perusahaan. Bunga atas`pinjaman tersebut dihitung 50% per tahun, sementara tingkat bunga yang wajar adalah 20%. Besarnya bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar Rp.4.000.000 sedangkan selisih sebesar Rp.6.000.000 harus dilakukan koreksi fiskal positif.
  • Bunga yang dibayarkan pada tahapan konstruksi. Tentang hal ini diatur dalam SE Dirjen No. SE – 22/PJ.42/1999 tanggal 27 Mei 1999 tentang perlakuan biaya bunga selama masa konstruksi yang dpata diuraikan sebagai berikut : 1). Dalam hal pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, biaya bunga yang timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir kedalam harga perolehan pabrik/bangunan lainnya tersebut, yang pembebanannya melalui biaya penyusutan. 2). Dalam hal pinjaman dipergunakan untuk pembelian tanah, biaya bunganya harus dikapitalisir kedalam harga perolehan tanah, namun tidak dapat dibebankan sebagai biaya penyusutan.
  • Bunga yang dicatat secara akrual. Bunga yang sudah dibebankan sebagai biaya namun atas PPh Pasal 23 nya belum pernah disetorkan akibat surat perjanjian  yang menyatakan biaya bunga baru dibayar setelah lewat 2 tahun pinjaman. Contoh : Pada tahun 2016 PT. Nusa Niaga meminjam uang kepada Nusasail. Co.Ltd (Jepang) sebesar Rp. 10 Miliar dan atas bunga baru akan dibayarkan pada bulan Desember 2018.  Namun, dalam hal ini PT. Nusa Niaga telah membebankan biaya bunga sejak tahun 2016. Atas kondisi seperti ini atas biaya bunga dapat dikoreksi karena tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23/26 ayat (1) atau tidak dilakukan koreksi namun ditagih atas PPh Pasal 23/26 nya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (4) PP Nomor 94 tahun 2010 bawhasanya Pemotongan PPh oleh pihak PT. Nusa Niaga dilakukan pada akhir bulan saat disediakan untuk dibayarkan penghasilan. Hal ini mengacu pada saat Wajib Pajak telah melakukan pembebanan atas biaya bunga tersebut.

Penutup

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas sehubungan dengan kasus di awal tulisan, bagaimana PPh Pasal 23/26 atas biaya bunga yang sudah dibebankan dalam laporan keuangan namun atas realisasi pembayarannya belum atau tidak pernah dilakukan? Penulis berpendapat dan berkesimpulan, bahwasanya atas biaya dapat dilakukan koreksi positif atau diknekan PPh Pasal 23/26 saat dilakukan pembebanan secara akrual hal ini sebagaimana pengertian penulis terhadap pasal 15 ayat 4 PP nomor 94 menyatakan bahwa Pemotongan Pajak Penghasilan oleh  badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dilakukan pada akhir bulan (tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu): 

  • dibayarkannya penghasilan;
  • disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
  • jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan.

 

 

Loading…