BAB II :
SIFAT DASAR INJIL

Dewasa ini banyak orang dengan penuh semangat memberikan respons terhadap tantangan untuk memberitakan Injil, tetapi apa yang kemudian mereka beritakan sebenarnya jauh dari Injil. Banyak orang memakai Injil sebagai slogan untuk melakukan banyak hal, tetapi apa yang mereka lakukan seringkali terlampau jauh dari kasih yang ada didalam Injil. Apakah Injil itu? Jika seseorang belum diperlengkapi sampai pada taraf memahami apakah sebenarnya Injil itu, maka ia tidak seharusnya memberitakan Injil. Ia bukan saja tidak akan mendapat hasil, tetapi malah menghamburkan waktunya maupun waktu orang lain dan merusak iman orang lain.

Yesus Kristus telah mati bagi manusia yang berdosa, juga telah bangkit bagi mereka, sehingga pengharapan dapat sampai kepada banyak orang. Paulus berkata, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci.” (1 Korintus 15:3-4). Sebab itu, memberitakan Yesus yang mati dan tidak bangkit bukanlah memberitakan Injil, demikian juga memberitakan Yesus yang bangkit tetapi tidak sungguh-sungguh mati pun bukan merupakan pemberitaan Injil. Selanjutnya marilah kita meneliti sifat dasar Injil dari empat segi.

SIFAT DASAR INJIL

1. Injil Bersifat Menebus

Keselamatan di dalam Kristus telah mempersatukan manusia dengan Allah. Ini jauh melampaui semua pengajaran tentang penebusan di dalam agama-agama lain, baik dalam sifat kesempurnaan maupun sifat ketetapan; agama-agama lain hanya memiliki konsep penggantian (substitusi) yang kabur. Injil yang bersifat menyelamatkan hanya dapat terlihat dengan jelas di dalam wahyu Allah.

  • Kematian Yesus Kristus merupakan korban yang bersifat menggantikan (the sacrifice of substitution). Mengapa kematian-Nya disebut demikian? Karena jika Dia tidak mati, kita tidak berdaya melepaskan diri dari status orang berdosa yang patut dikutuk. Tetapi Dia sudah menggantikan posisi kita, berdiri pada status yaqng terkutuk itu. 2 Korintus 5:21 dengan jelas memberitahukan kepada kita, bahwa Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita. 1 Petrus 3:18 juga memberitahukan dengan jelas, “…Ia yang benar mati untuk orang-orang yang tidak benar…” 1 Petrus 2:24 lebih jelas lagi mengatakan bahwa Kristus telah menanggung hukuman dosa bagi kita. Sampai ayat ini memberi tahu kita bahwa baik theologi Paulus, theologi Petrus, maupun theologi pengarang Surat Ibrani, tidak lepas dari konsep yang penting tentang korban penggantian. Kematian Kristrus merupakan korban penggantian. Sebenarnya kitalah yang harus menerima hukuman dan murka Allah, tetapi Kristus rela berdiri pada status kita untuk menerima hukuman, untuk menanggung dosa-dosa kita dan mati menggantikan kita, sehingga kita terbebas dari hukuman. Jika kita telah memahami dengan jelas bahwa Dia pernah mati bagi kita, maka kita tentu tidak lagi hidup bagi diri sendiri, melainkan hidup bagi Tuhan yang telah mati dan bangkit demi menggantikan kita. Pemikiran inilah yang merupakan dasar penyerahan kita. Kematian Kristus merupakan korban penggantian. Ia telah menggantikan saya. Meskipun seluruh dunia ini hanya tersisa saya seorang, tetapi Yesus rela datang ke dunia untuk mati bagi saya. Bukan karena Dia telah berutang kepada saya, melainkan karena saya membutuhkan Dia. Betapa ajaib kehendak Allah, betapa tinggi dan dalam kasih-Nya kepada kita! Sungguh, hanya karena pengorbanan Kristus yang bersifat menggantikan itu kita dibawa kembali ke haribaan-Nya.
  • Kematian Yesus Kristus merupakan korban yang bersifat pendamaian atau meredakan murka Allah (the sacrifice of propitiation). Kematian yang diderita Kristus, cawan yang diminum-Nya, dan hukuman murka yang diterima-Nya, telah meredakan murka Allah dan telah menyelamatkan kita dari status “seharusnya binasa”. Siapa yang dapat mencegah manusia yang sedang menuju penghakiman kekal, vonis kekal, dan hukuman kekal? Siapa yang dapat merintangi atau meredakan murka Allah yang segera akan dicurahkan? Selain Yesus Kristus tidak seorang pun sanggup melakukan hal itu. Kita harus menengadah dan berharap hanya kepada Krisrtus yang dapat menyelamatkan kita dari murka yang akan dicurahkan itu. 1 Tesalonika 5:9 memberitahukan kepada kita bahwa hanya Yesus Kristus yang dapat menyelamatkan kita dari murka yang akan datang. Siapakah yang akan mencurahkan murka? Anak Domba! Murka Allah dinyatakan melalui Anak Domba, dan pada saat itu orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus akan berseru kepada gunung-gunung dan batu-batu karang, “Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu.” Pada waktu Yesus Kristus datang kembali, Ia tidak lagi membicarakan keselamatan maupun pertolongan Allah dan kasih Allah, melainkan membicarakan keadilan dan penghakiman Allah yang akan menimpa mereka yang tidak mau menerima Tuhan Yesus. Yesus Kristus telah menghentikan murka Allah dan mencegah kita menuju jalan penghakiman kekal dan vonis hukuman kekal, sehingga kita dapat kembali kepada anugerah Allah dan tetap tinggal di dalamnya. Melalui sacrifice of propitiation itu, Allah telah menarik kembali murka-Nya dan bahkan menghentikan langkah kita yang menuju kebinasaan. Dengan demikian, penebusan dari-Nya dianugerahkan kepada kita. Salib adalah tempat yang vakum kasih. Pada waktu Kristus disalibkan, Ia tidak bisa menerima cinta dari Allah karena Ia menanggung dosa manusia. Keadilan serta murka Allah menimpa-Nya. Cinta manusia yang bersimpati kepada-Nya juga tidak bisa Ia terima, karena pada waktu itu dosa-dosa manusia sedang ditimpakan kepada-Nya. Itulah sebabnya salib Kristus menjadi satu-satunya tempat yang vakum kasih di seluruh alam semesta. Sebaliknya, kemenangan Kristus atas kematian menjadikan salib sebagai sumber kasih. Ini merupakan paradoks. Murka Allah dihentikan-Nya, demikian pula langkah kita yang menuju kebinasaan. Maka kita kembali ke hadirat Allah.
  • Kematian Yesus Kristus merupakan korban yang bersifat menanggung hukuman, yang seharusnya dijatuhkan pada manusia oleh karena dosa-dosanya (the sacrifice of retribution). Dia telah menebus kita dari kuasa dosa, kuasa maut, dari keadaan diperhamba yang menakutkan, supaya kita berbalik dari kuasa Iblis kepada Allah, dari kegelapan kepada terang, untuk menjadi seorang yang memperoleh kasih dalam kerajaan-Nya, dan juga dalam janji yang diberikan kepada Kristus Yesus (Efesus 3:6). Barangsiapa tidak meneliti kebenaran dengan sungguh-sungguh, hendaknya tidak mengajar orang lain dengan sembarangan, karena ia mungkin membicarakan hal yang salah. Di dalam sejarah pernah terjadi seorang pemimpin menyampaikan khotbah yang sama sekali salah. Dia berkata, “Yesus Kristus telah mencurahkan darah untuk membayar harga tebusan kepada Iblis, sehingga kita dapat direbut kembali dari tangan Iblis”. Khotbah ini salah. Memang untuk sementara kita berada di bawah kuasa Iblis, namun kita tidak berutang kepada Iblis, melainkan berutang kepada Allah. Kristus telah melunaskan utang kita kepada Allah dengan memenuhi segala tuntutan keadilan Allah, dan juga merebut kita kembali dari tangan Iblis, sehingga kita berbalik kepada Allah. Dia telah menggantikan kita dan membayar kembali utang kemuliaan kita kepada Allah. Pengorbanan yang bersifat menebus ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Wahyu 1:5, “…..telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya.” Juga dengan Wahyu 5:9, “Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa.” Dan apa yang Paulus sebutkan dalam 1 Korintus 6:20, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar; karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Dalam 1 Petrus 1:18 dikatakan, “Kamu telah ditebus….bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus.” Ini menunjukkan harga yang jauh lebih tinggi daripada apa pun di dalam dunia. Petrus membandingkan nilai darah ini dengan emas dan perak yang sangat dihargai manusia, dan menyatakan bahwa darah Kristus sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. Melalui korban penebusan inilah kita menjadi milik Allah.
  • Kematian Yesus Kristus merupakan korban yang bersifat mendamaikan atau melakukan rekonsiliasi (the sacrifice of reconciliation). Melalui kematian Kristus, bukan saja kita tidak lagi menjadi seteru Allah, melainkan telah berdamai dengan-Nya. Karena Kristus telah menerima kutukan dosa dan Taurat, maka kita dibenarkan dan disebut sebagai orang yang tidak berdosa. Sebenarnya, istilah “dibenarkan” adalah istilah hukum yang dipakai oleh orang Yunani. Istilah ini juga merupakan istilah pengadilan yang biasa dipakai untuk mengumumkan bebasnya seorang terdakwa dari hukuman. Dibenarkan berarti diperhitungkan sebagai seorang yang tidak bersalah. Orang yang semula berseteru dengan Allah boleh kembali ke hadirat-Nya melalui kematian Kristus; melalui darah Yesus Kristus kita dapat diampuni; dan melalui kebangkitan Yesus Kristus kita dapat menerima kebenaran yang Allah uraikan dalam Kristus.

Kematian Kristus telah memberikan arti yang dapat kita tinjau dari empat segi di atas, yaitu pengorbanan yang bersifat menggantikan, pengorbanan yang bersifat meredakan murka Allah, pengorbanan yang bersifat menebus, dan pengorbanan yang bersifat mendamaikan. Ke-empat segi pengorbanan tersebut telah menggenapkan bagi kita hal-hal yang tidak mampu dicapai oleh semua agama, filsafat, pendidikan, politik, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan manusia.

2. Injil Bersifat Esa

Yesus sendiri berkata bahwa tidak seorang pun dapat datang kepada Bapa kecuali melalui Dia. Jika kebenaran dapat ditemukan oleh manusia, maka manusia menjadi subyek dan kebenaran menjadi obyek. Sedangkan kebenaran sudah mengumumkan, “Akulah kebenaran”. Maka di sini kebenaran adalah subyek, sedangkan manusia yang menerimanya adalah obyek. Kebenaran agama-agama merupakan kebenaran yang berposisi obyek. Hanya Kristus yang memproklamasikan diri-Nya sebagai Kebenaran, merupakan Kebenaran yang bersifat subyek. Barangsiapa bukan kebenaran itu, tetapi berani menyebut diri sebagai kebenaran, adalah pembual yang congkak dan tidak tahu diri. Tetapi diri Kebenaran itu memproklamasikan diri sebagai Kebenaran yang tertinggi melalui tindakan merendahkan diri di dalam dunia (realm) manusia. Itulah sebabnya Yesus berkata, “Aku lemah lembut dan rendah hati.”

Ketika Yesus diadili, Dia membungkam terhadap semua pertanyaan yang diajukan kepada-Nya, kecuali pada saat harus menyatakan diri sebagai diri Kebenaran itu (the self of Truth). “Engkaukah raja orang Yahudi?” Jawab-Nya: “Engkau sendiri mengatakannya.”

Mengapa Dia harus menjawab pertanyaan itu? Karena jika diri Kebenaran yang bersifat subyek itu tidak mengakuinya, maka Dia menyangkal Diri yang telah diproklamasikan-Nya sebagai Kebenaran itu. Itulah sebabnya Yesus harus menjawab.

Selain proklamasi Kristus sendiri sebagai Kebenaran, Petrus juga menegaskan: “Di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kisah Para Rasul 4:12). Dan Paulus juga menyatakan, “Dan esa pula Dia yang menjadi perantara antara Allah dan manusia.” (1 Timotius 2:5). Dia adalah Kristus, namun manusia tidak dapat menerima kebenaran yang bersifat subyektif ini; demikian pula agama yang telah memutlakkan diri telah menolak-Nya, bahkan memakukan-Nya di atas kayu salib.

Sifat esa ini merupakan keunikan Kekristenan yang harus kita pegang teguh dan kita syukuri, meskipun ini merupakan batu sandungan bagi orang yang tidak percaya, baik dalam gereja Tuhan, baik bagi pihak kaum Liberal di dalam gereja, maupun bagi pihak agama lain.

3. Injil Bersifat Sempurna

Injil tidak perlu ditambahi sesuatu agar menjadi sempurna, karena Injil pada dirinya sendiri sudah sempurna. Allah adalah Allah yang sempurna pada diri-Nya, kekal pada diri-Nya, dan berdiri sendiri pada diri-Nya. Demikian juga Injil memiliki sifat-sifat dasar tersebut, tidak perlu ditambah dengan unsur-unsur yang dibuat manusia supaya menjadi lebih sempurna. Barangsiapa berniat menambahkan jasa manusia dalam Injil dengan maksud untuk menyempurnakannya, ia adalah musuh Injil karena di dalam usaha menambahkan sesuatu untuk menjadikan Injil lebih sempurna, di dalamnya sudah terkandung unsur menganggap Injil tidak sempurna.

4. Injil Bersifat Mutlak

Kristus sendiri berasal dari alam kemutlakan, dari Allah. Maka seluruh rencana-Nya bukanlah peristiwa yang terjadi secara kebetulan dalam sejarah, bukan hasil filsafat manusia, juga bukan merupakan hasil kebudayaan, melainkan adalah kehendak Allah yang telah ditetapkan dalam kekekalan. Sebab itu, Injil pasti bersifat mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi. Sifat kemutlakan ini menyatakan bahwa Injil sendiri sudah cukup pada dirinya sendiri (self sufficient) sampai suatu taraf, di mana tidak perlu lagi ditambahkan apa pun padanya, dan juga tidak boleh dikurangkan apa pun darinya.

Sifat keutuhan Injil merupakan perhentian utama antara Kekristenan dan agama-agama lain. Agama-agama lain ada yang berusaha meniadakan pengantara antara Allah dan manusia dan berpendapat bahwa manusia boleh langsung datang ke hadirat Allah. Ada juga yang menambahkan perantara di luar Kristus, misalnya, orang-orang kudus dan Bunda Maria. Baik menambahkan atau mengurangi telah melanggar sifat keutuhan dan sifat kemutlakan dari Injil.

Jika kita tidak memelihara ke-empat sifat dasar Injil ini, maka kita tidak mungkin dapat memiliki keberanian dan tekad yang mantap untuk menghadapi peperangan rohani kita. Dan bukan saja demikian, kita pun akan mudah larut berbaur dengan ajaran-ajaran yang bukan dari Tuhan. A man who keeps the purity of the Gospel becomes strong and never compromises. Orang yang menjaga kemurnian Injil akan menjadi kuat dan tidak pernah berkompromi.

SIFAT DASAR INJIL DI ANTARA KEBUDAYAAN DAN AGAMA LAIN

1. Sifat Kekal

Injil sama sekali tidak mungkin berubah menjadi sesuatu yang tidak dibutuhkan hanya karena kemajuan zaman atau karena zaman telah berubah. Sifat kekal dan tidak berubah ini ada padanya, karena Injil adalah kehendak Allah yang telah Dia tetapkan dalam kekekalan. Injil bukanlah hasil produksi zaman; sebab itu, tidak mungkin tergeser oleh zaman.

Injil akan selalu segar, selalu baru walaupun harus melewati segala zaman. Anak Domba yang tersembelih yang dicatat dalam Kitab Wahyu adalah Anak Domba yang disembelih sebelum dunia dijadikan untuk menyatakan bahwa Allah menebus umat pilihan-Nya melalui kematian Kristus, sehingga mereka disebut sebagai Gereja. Semua itu bukan merupakan tindakan Allah yang bersifat kebetulan, juga bukan merupakan suatu rencana yang bersifat kebetulan dalam sejarah, melainkan merupakan tindakan yang bersifat kekal.

Bagi Allah tidak ada peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Rencana Allah yang kekal adalah Injil. Jika kita tidak melihat sifat kekal dari Injil ini, kita pasti terbawa oleh zaman yang tidak menentu arahnya. Hanya orang-orang yang sungguh-sungguh memahami makna Injil, yang tidak akan tunduk terhadap zaman, karena segala sesuatu yang dihasilkan oleh suatu zaman pasti akan digugurkan oleh zaman lain. Namun tidaklah demikian dengan Injil Yesus Kristus yang sumbernya adalah kekal.

2. Sifat Universal

Karena keselamatan Kristus berasal dari kekekalan, maka kuasa keselamatan-Nya pun melampaui batas-batas geografi. “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.” (Matius 24:14). “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku.” (Matius 28:19). Kedua ucapan itu telah memecahkan konsep orang Yahudi yang sempit, dan menyatakan sifat universal dari Injil.

Injil sanggup menyempurnakan masyarakat/manusia dari aspek apa pun, termasuk kebudayaan, negara, atau aliran pikiran apa pun. Injil juga bisa memenuhi kebutuhan hidup setiap orang. Sebenarnya di dalam dunia tidak ada satu orang pun yang tidak memerlukan Injil Yesus Kristus, maka kita tidak boleh menunjukkan diskriminasi rasial, tetapi seharusnya kita memberitakan Injil dengan sikap mental yang mengasihi suku-suku mana pun yang Tuhan bebankan dalam hati kita untuk menginjilinya. Kita harus memberitakan Injil tanpa memandang bulu. Pahamilah sifat dasar Injil yang universal ini, supaya tatkala kita memberitakan Injil, kita juga memiliki jiwa universal.

3. Sifat Peperangan

Injil bukan merupakan suatu gerakan indoktrinasi agama, juga bukan suatu pengajaran teoritis yang rasional saja, ataupun gerakan perluasan norma-norma etika, melainkan semacam peperangan rohani yang merebut manusia keluar dari aliran hidup Adam kembali kepada Yesus Kristus berdasarkan kuasa Tuhan. Ini adalah suatu peperangan. Jika kita memegang kuat konsep ini, maka pelayanan kita tidak akan bersandar pada diri sendiri, tetapi sebaliknya bersandar pada Tuhan dengan iman yang teguh, sambil melakukan semua pelayanan dengan kebijaksanaan, strategi, dan kemampuan yang berasal dari Roh Kudus.

SIFAT DASAR INJIL DI DALAM PEMBERITAAN

1. Sifat Paradoks

Injil sendiri bersifat paradoks. Pada saat diberitakan juga bersifat paradoks. Sebab itu, Injil memiliki sifat dasar paradoks ganda. Inilah yang disebut kontradiksi secara eksternal dan harmonis secara internal. Dari manakah kita dapat melihat sifat yang khas ini? Marilah kita mengambil contoh penyebaran Injil. Manusia yang membutuhkan Injil selalu tidak menyadari kebutuhannya terhadap Injil. Sebenarnya orang yang paling tidak sadar akan kebutuhan Injil adalah orang yang paling membutuhkan Injil. Itulah yang disebut paradoks. Paulus mendengar seruan orang Makedonia dan pergi ke sana, namun setelah tiba di sana, yang ia peroleh adalah masuk penjara. Itulah sifat paradoks dalam memberitakanInjil.

Jika kita mengenal dengan jelas sifat paradoks, kita tidak akan merasa putus asa hanya karena orang menolak Injil yang kita beritakan, tetapi sebaliknya justru akan memiliki semangat juang yang semakin gigih dalam memberitakan Injil. Manusia tidak akan menentang hal-hal yang tidak penting, tetapi hanya menentang hal-hal yang mengandung ancaman. Hal yang dapat diwujudkan oleh suatu ancaman merupakan eksistensi yang besar. Jika ada orang yang menentang, hendaklah kita bersyukur kepada Tuhan. Orang yang paling menentang pastilah orang yang paling membutuhkan Injil. Janganlah terkejut dan undur hanya karena tantangannya.

Selain sifat paradoks di dalam obyek penginjilan, paradoks ini juga terdapat di dalam salib Kristus sendiri. Salib merupakan tempat yang paling lemah, namun menyatakan kuasa yang paling besar. Salib merupakan tempat yang paling memalukan, sekaligus paling menyatakan kemuliaan Allah. Salib merupakan tempat yang tanpa perlawanan, namun menyatakan kuasa yang paling besar dalam melawan Iblis. Di sinilah terlihat bahwa Injil sendiri memiliki sifat paradoks.

2. Sifat Inisiatif

Orang yang memberitakan Injil harus “pergi” dengan inisiatif. Kita harus sering mengingatkan, menegaskan, dan mempertahankan konsep “pergi” ini. Tuhan bekerja secara inisiatif, maka orang yang berinisiatif memberitakan Injil semakin mengerti isi hati Tuhan, juga semakin dekat dengan prinsip Alkitab. Gereja yang menjadi semakin berapi-api adalah gereja yang dekat pada sifat dasar Inil, yaitu sifat inisiatif.

3. Sifat Adaptasi (Fleksibel)

Meskipun Inil memiliki sifat dasar kekal, yaitu tidak berubah, namun di dalam pemberitaan, metodenya harus sering berubah sehingga dapat dikontekstualisasikan ke dalam lingkungan budaya tertentu dan pendengar yang berbeda. Alkitab menunjukkan bahwa cara penginjilan dan tempat penginjilan selalu berubah. Bukankah Tuhan Yesus memberitakan Firman di ladang, di laut. Bukankah Paulus memberitakan Injil di pasar, di jalan, dan di bukit? Mereka menggunakan metode-metode yang berlainan. Mereka juga menggunakan cara-cara yang berlainan, namun harus kita perhatikan bahwa doktrin dasar mereka tidak berubah.

4. Sifat Individual

Tujuan akhir dari mengabarkan Injil adalah untuk menyentuh hati setiap pribadi yang mendengarnya, sehingga ia merasakan relevansi cinta Allah di dalam Injil kepada dirinya. Oleh sebab itu, Alkitab sangat mementingkan penginjilan pribadi. Yesus Kristus dan Paulus pun tidak terkecuali di dalam hal ini. Itulah sebabnya bagaimana pun besarnya kebaktian kebangunan rohani yang Anda selenggarakan, tujuan akhirnya adalah supaya manusia menjalin hubungan pribadi dengan Allah. Sebab itu, penginjilan pribadi adalah dasar dari segala metode penginjilan, dan kebaktian kebangunan rohani adalah suatu kesempatan untuk menuai, untuk mendengarkan berita Injil secara sistematis. Di antara kedua belas murid Yesus, paling sedikit ada tujuh orang yang diperoleh melalui pelayanan pribadi. Kita dan gereja tidak dapat melalaikan sifat individual dalam penginjilan.

5. Sifat Positif

Jika kita harus menanamkan pada orang lain keyakinan yang sedalam-dalamnya bahwa Injil bersifat melampaui kebudayaan dan rasio, dan berkuasa menyelesaikan segala masalah manusia, tentu kita sendiri harus yakin secara prositif bahwa Injil adalah jawaban dari segala masalah manusia. Betapa pun tua dan tulennya suatu kebudayaan pasti masih ada cacat celanya, namun Injil dapat menggali keluar dengan amat positf hal-hal yang terdapat dalam kehidupan manusia terdalam.

Titik perbedaan antara Yesus dan orang-orang Farisi adalah orang Farisi berpegang teguh pada peraturan, membatasi diri hingga tidak berkutik dalam kekudusan yang pasif; namun Yesus berada dalam kekudusan yang aktif, mempengaruhi orang lain dengan cara yang melampaui peraturan. Tangan-Nya ditumpangkan atas orang mati dan orang yang berpenyakit kusta, hal yang dilarang oleh Taurat. Dia memakai kesucian-Nya untuk mempengaruhi ketidak-sucian orang lain dan menyembuhkan mereka. Orang Farisi menghindarkan diri dari orang kusta untuk memelihara kesucian mereka, tetapi Kristus mengulurkan tangan yang suci untuk membersihkan yang tidak suci.

Dari sudut pandang tradisi, Yesus telah melanggar Taurat; tetapi dari fakta kuasa Injil Dia telah mengalahkan kuasa kenajisan. Sifat positif ini merupakan sifat dasar yang ada di dalam Injil.

6. Sifat Memisahkan

Alkitab dengan tegas mengatakan: Bukan setiap orang yang mendengar Injil akan diselamatkan. Yesaya berkata, “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar?” (Yesaya 53:1). Apakah Anda kecewa karena orang tidak percaya akan pemberitahuan Anda? Atau Anda sangat gembira hanya karena pemberitaan Anda berhasil? Paulus berkata, terhadap orang semacam ini saya menghidupkan mereka, terhadap orang lain saya mematikan mereka. Inilah yang disebut sifat pemisahan itu.

Sebagainmana salib Kristus memisahkan manusia menjadi dua, yang diwakili oleh kedua perampok yang disalibkan di samping-Nya itu, demikian juga ketika Injil diberitakan, pasti akan memisahkan para pendengar menjadi dua, yaitu yang percaya dan yang tidak percaya. Jika ada orang yang tidak percaya, orang yang memberitakan tidak perlu menyesali diri sendiri, namun bila ada orang yang percaya juga tidak perlu gembira; kalaupun bergembira, itu karena namanya sendiri terdaftar di sorga, dan bukan karena orang lain telah menerima Injil.

7. Sifat Melahirkan Kembali

Injil pasti akan menghasilkan orang-orang yang diselamatkan dan lahir baru, dan orang yang dilahirkan kembali pasti akan menginjili serta menghasilkan orang-orang lain yang lahir baru. Injil sama sekali tidak mungkin berkurang atau melemah hanya karena penganiayaan, sebaliknya justru semakin berkembang. Yesus berdoa untuk orang yang percaya kepada Dia, juga bernubuat bahwa orang yang percaya kepada Dia akan melakukan hal-hal yang besar.

Dalam Yohanes 17, Tuhan Yesus bukan saja berdoa bagi orang yang percaya, tetapi juga berdoa bagi mereka yang akan percaya melalui orang-orang percaya. Ini semua menyatakan bahwa pemberitaan Injil adalah pemberitaan hidup yang tiada henti-hentinya, seperti apa yang dikatakan Yohanes di dalam 1 Yohanes 1:1-2, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup–itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami.”

Amin.
SUMBER :
Nama Buku : Theologi Penginjilan
Sub Judul : Bab II : Sifat Dasar Injil
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2013
Halaman : 33 – 48