Di sebuah pengadilan di sebuah negara, Hisar berdiri dengan air mata yang bercucuran membasahi pipinya. Mengapa? Karena ia kalah terhadap perseteruannya dengan saudara kandungnya.

Apa yang diperebutkan dengan saudaranya? Tentang tanah? Atau warisan kah yang mereka perebutkan?

Bukan! Bukan itu semua. Ia kalah terhadap saudaranya sendiri terkait masalah perawatan Ibunya yang sudah tua renta dan hanya memakai sebuah cincin timah di jarinya yang telah keriput.

Seumur hidupnya, sang Ibu tinggal dengan Hisar yang selama ini menjaganya. Ketika beliau telah lanjut usia, datanglah adiknya yang tinggal di kota lain, untuk mengajak ibunya agar tinggal bersamanya. Alasannya, fasilitas kesehatan, dll, di kota jauh lebih lengkap daripada di desa.

Namun, Hisar menolak karena selama ini ia mampu untuk menjaga Ibunya. Perseteruan ini tidak berhenti sampai di sini, bahkan berlanjut ke pengadilan. Setelah melalui beberapa proses sidang, sang hakim pun meminta agar Sang Ibu dihadirkan di hadapan majelis.

Kedua bersaudara ini membopong ibunya yang sudah tua renta dan beratnya tidak sampai 40 kg.

Hakim bertanya kepada Ibu itu, siapa yang lebih berhak tinggal bersamanya. Sang ibu memahami pertanyaan Hakim, ia pun menjawab, sambil menunjuk ke Hisar, “Ini mata kananku.”

Kemudian menunjuk ke adiknya sambil berkata, “Ini mata kiriku!”

Hakim berpikir sejenak kemudian memutuskan hak kepada adik Hisar, berdasar kemaslahatan bagi si Ibu.

Betapa mulianya air mata yang dicucurkan oleh Hisar. Air mata penyesalan karena ia tidak bisa memelihara Ibunya tatkala beliau telah menginjak usia lanjut.

Dan, betapa terhormat dan agungnya sang Ibu, yang diperebutkan oleh anak-anaknya hingga seperti itu. Bagaimana Sang Ibu bisa mendidik kedua putranya hingga ia menjadi ratu dan mutiara termahal bagi anak-anaknya.

Inilah pelajaran mahal tentang berbakti, ketika durhaka sudah membudaya. Semoga kita pun bisa menjadi anak-anak yang dapat membalas kasih sayang orangtua kita

Sumber : https://intisari.grid.id/read/0355971/kisah-kakak-beradik-memperebutkan-hak-mengurus-ibunya