BAB 5 :
IMAN, PENDERITAAN, DAN HAK ASASI MANUSIA

“Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu…..Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu…..Aku tahu, ya TUHAN, bahwa hukum-hukum-Mu adil, dan bahwa Engkau telah menindas aku dalam kesetiaan.” (Mazmur 119:67, 71, 75)

Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah. Jika kami menderita, hal itu menjadi penghiburan dan keselamatan kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga. Dan pengharapan kami akan kamu adalah teguh, karena kami tahu, bahwa sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami. Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati. Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi, karena kamu juga turut membantu mendoakan kami, supaya banyak orang mengucap syukur atas karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami.” (2 Korintus 1:3-11)

———————–

PENDERITAAN DAN HAK ASASI MANUSIA

Di dalam penderitaan kita merasa hak kita dirampas, kebebasan kita diintervensi, kesucian kita sudah dikotorkan, dan sekarang kita merasa bahwa hidup kita sudah terbelenggu. Kita merasa sudah tidak mempunyai hak asasi manusia lagi. Padahal tidak demikian. Justru, hak asasi manusia itu di dalamnya juga mencakup hak untuk berjuang dan hak untuk menghadapi kesulitan yang tidak boleh tidak ada.

Saya minta maaf jika ada ibu atau bapak yang tersinggung jika saya mengatakan bahwa dengan terlalu memanjakan anak sama artinya dengan telah merampas hak asasi mereka sebagai manusia yang dapat berjuang. Sekali lagi, karena Saudara terlalu memanjakan anak, maka secara tidak sadar Saudara sudah merampas hak mereka menjadi manusia yang berjuang. Itu adalah dosa orang tua, yang membuat seorang anak menjadi lemah karena over-protected (terlalu dilindungi). Makin sayang, makin melindungi, makin rusak anak itu.

Pada waktu saya diberitahu akan meninggal, anak saya yang terkecil sudah berusia kira-kira dua tahun dan yang paling besar telah berusia kira-kira dua belas tahun. Oleh sebab itu, mereka tidak perlu takut kalau saya meninggal. Sementara pada saat ayah Stephen Tong meninggal ia baru berusia tiga tahun, tetapi ia masih dapat hidup dengan baik, bahkan dipakai Tuhan menjadi berkat bagi orang banyak.

Jadi tidak ada ayah bukan berarti tidak ada masa depan. Kalau ayah saya tidak meninggal ketika saya berusia tiga tahun, dan masih hidup sampai sekarang, mungkin saya hanya menjadi pendeta yang lucu, tetapi tidak dapat mendorong Saudara untuk berjuang. Kalau saya sendiri tidak pernah berjuang, bagaimana saya dapat memberikan semangat kepada Saudara untuk berjuang? Tidak mungkin! Kalau perjuangan-perjuangan yang pernah saya alami itu ditulis, pasti akan menjadi buku biografi yang menguatkan banyak orang, karena saya mengetahui bagaimana Tuhan melatih saya.

Sekarang saya minta Saudara memperhatikan kalimat ini: “Hak asasi manusia bukan untuk kenikmatan, hak asasi manusia meliputi daya perjuangan.” Kalimat ini sangat penting, dan saya akan menguraikannya dengan mengisahkan satu peristiwa besar.

Jendral McArthur adalah seorang yang membuat orang-orang Jepang harus tunduk setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, dan menyadarkan Kaisar Hirohito bahwa Jepang bukanlah yang terhebat. Mereka dapat dihabiskan dengan bom atom, sehingga Jepang harus menyerah dan menandatangani surat perdamaian di kapal S.S. Missouri, kapal perang Amerika Serikat. Setelah Perang Dunia II, Jendral McArthur menjadi pahlawan yang amat besar.

Pada suatu hari, ia menulis sebuah makalah pendek yang berjudul Doa Seorang Ayah, yang berbunyi: “Tuhan, aku minta kepada-Mu, jangan memberikan kelancaran kepada anakku. Biarlah anakku mengalami kesulitan-kesulitan yang besar, biarlah anakku mengalami topan-topan yang menakutkan, biarlah anakku melalui ombak-ombak yang menderu, yang hampir menengggelamkannya. Namun aku mohon, biarlah di tengah-tengah angin topan yang besar, ia bukan saja tidak tenggelam melainkan dapat menolong mereka yang tenggelam. Peliharalah dia, supaya ia dapat mrengasihi Engkau dengan hati nurani yang murni, dan dapat menolong orang lain sampai ia meninggal. Maka barulah saya dapat berkata bahwa saya puas menjadi ayah dari anak seperti ini.”

Ketika saya membaca makalah ini ketika berusia dua puluh satu tahun, saya gemetar. Saya berkata kepada Tuhan, bahwa saya baru tahu mengapa Ia membiarkan saya kehilangan ayah, mengapa Ia membiarkan saya hidup begitu susah payah di masa muda, mengapa Ia membiarkan saya berjuang mencari uang sejak berusia lima belas tahun. Itu adalah karena doa Bapa saya. Saya tidak mempunyai ayah dan saya menganggap Allah adalah Bapa saya yang berkata: “Stephen Tong, Saya tidak memberikan kelancaran kepadamu. Saya tidak membiarkan engkau tertidur karena keenakan. Saya membuat engkau diguncang oleh segala kesulitan, diombang-ambingkan oleh angin topan yang besar, tetapi tidak jatuh. Tetapi jangan lupa, selain tidak jatuh, engkau juga harus menolong mereka yang hampir jatuh. Dan seumur hidup jangan lupa menguatkan orang lain.”

Pada malam itu, setelah saya membaca surat itu, saya berlutut dan minta kepada Tuhan untuk memberikan kekuatan kepada saya, dan jikalau di kemudian hari Tuhan memberikan seorang anak kepada saya, maka biarlah Tuhan menjadikan saya seorang ayah yang mendidik dengan baik. Itu sebabnya, pada saat anak saya sudah lulus SMA dan akan bersekolah di Amerika, saya bertanya kepadanya tentang berapa banyak uang yang ia butuhkan untuk bersekolah di sana selama satu tahun. Ia berkata bahwa menurut apa yang ia tahu, biaya satu tahun kira-kira US $17.000. Saya kemudian bertanya: “Apakah kamu mau saya menyediakan semua biaya itu atau mau dilatih untuk berjuang. Saya seorang pendeta, dan saya tidak mempunyai cukup banyak uang, saya hanya memberi sebagian kepadamu, sisanya engkau harus berjuang mati-matian, bekerja untuk mencukupi diri. Kalau saya mau menjual rumah untuk mencukupi biaya sekolahmu hingga selesai, itu tidak terlalu sulit, tetapi itu berarti saya merampas hak asasimu sebagai pemuda yang harus berjuang. Pikir baik-baik dan jawab saya dua hari kemudian.”

Dua hari kemudian, ia datang kepada saya dan berkata bahwa saya hanya perlu menanggung sebagian, dan sisanya ia kan berjuang sendiri. Ia kemudian berangkat ke Amerika. Pada saat ia sedang ujian, ia pernah harus bekerja selama dua puluh jam satu minggu. Ia harus menempuh ujian dan sekaligus bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Akhirnya ia menulis surat kepada saya: “Papa, saya bukan hanya mau mengambil satu jurusan, tetapi saya akan mengambil empat jurusan: Fisika, Matematika, Filsafat dan Komputer.” Saya berkata kepadanya, jika ia harus melakukan hal itu, maka ia bisa gila, karena itu berarti ia harus bekerja sampil menempuh ujian begitu banyak. Ia berkata bahwa ia mau melatih diri untuk berjuang, karena itulah hak asasi manusia. Bagi saya, konsep hak asasi manusia meliputi hak untuk berjuang. Ketika dia bekerja hingga sakit, saya meminta dia untuk berhenti bekerja sementara dan saya menanggung semua biayanya sampai ia sembuh.

Jika di saat muda, ia sudah berjuang mati-matian dan sukses, menurut saya hal itu lebih baik daripada ia diberi segala kecukupan, enak-enak di sana, dan pulang membawa ijazah. Sebagai seorang ayah, saya berkata bahwa bukannya saya tidak mampu membiayai dia. Kalau saya menjual rumah, maka saya akan dapat membiayainya, bahkan hingga ia mendapat gelar doktor. Tetapi Tuhan tidak menggunakan cara begitu di dalam mendidik. Itulah sebabnya saya melepaskan dia. Inilah alasan mengapa Tuhan yang mahakuasa tidak menyingkirkan kesulitan kita.

IMAN DAN PENDERITAAN

Sekarang kita akan melihat bagiamana melalui penderitaan, manusia dapat belajar untuk dibentuk oleh Tuhan, untuk menuju kesempurnaan yang disediakan Allah bagi kita. Ini merupakan salah satu puncak kesadaran dan pengertian pembentukan diri yang sangat penting.

Di dalam Mazmur 119:67, 71, 75, kita melihat tiga aspek penindasan disebut: (1) Perbedaan sebelum dan sesudah penindasan; (2) Faedah penindasan; dan (3) Perubahan yang terjadi setelah ditindas dan motivasi Tuhan.

Saya tidak ingat secara pasti, tetapi sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, ketika saya membaca ketiga ayat ini, saya terkejut luar biasa. Saya begitu terheran-heran, bukan karena saya membaca buku tafsiran atau karena saya mendengarkan khotbah, tetapi karena saya menemukan kaitan antara ketiga ayat ini, di mana melaluinya saya mulai mengerti tentang Theologi Penderitaan, yaitu apa maknanya orang Kristen ditindas dan dianiaya; apakah sebabnya anak-anak Tuhan tidak terluput dari penderitaan dan kesengsaraan. Saya tidak menemukan jawaban yang lebih prinsipiel daripada ketiga ayat ini, yang mengandung tiga hal penting, yaitu pendidikan melalui penderitaan, faedah penderitaan, dan motivasi Tuhan yang tidak boleh disalah-mengerti.

“Sebelum aku ditindas, aku menyimpang.” Ini merupakan gejala normal dari semua orang yang merupakan keturunan Adam, yang sudah membawa dosa asal. “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.” Itu berarti sifat penindasan bukannya tidak baik, tetapi baik adanya. Jadi, kita tidak seharusnya melarikan diri atau cepat-cepat menghindarkan diri, atau kita berusaha minta Tuhan menghilangkan penindasannya, karena penindasan itu bersifat baik untuk kita. “Engkau telah menindas aku dalam kesetiaan.” Berarti Allah jujur kepada kita.

Ayat-ayat semacam ini membongkar, mengoreksi, dan memutar-balikkan pikiran saya yang tadinya tidak mengerti mengapa orang suci yang mencintai Tuhan tetapi memerlukan penderitaan. Ayat-ayat ini membentuk pikiran theologi saya mengenai makna penderitaan dan memampukan saya berapologetika untuk menjawab pertanyaan: Mengapa orang suci tetap harus menderita?

Pada bab sebelumnya saya menanyakan sebuah pertanyaan: “Saat kita menderita, di manakah Tuhan?” Pada waktu doa orang-orang suci tidak dijawab, di manakah Tuhan? Pada waktu setan menindas dan Tuhan mengizin kan, apakah maksud Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang tidak kunjung habis dipertanyakan disepanjang sejarah, dan belum pernah berhenti dipertanyakan hingga saat ini. Selama matahari masih terbit, maka manusia akan tetap mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan ini. Selama dunia masih berputar maka pikiran manusia pasti akan memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini. Pertanyaan-pertanyaaan semacam ini sebenarnya sudah dijawab oleh Tuhan di dalam Alkitab. Ketiga ayat itu mengajarkan kepada kita bahwa penindasan-penindasan itu mengubah situasi orang berdosa untuk dibentuk menjadi lebih baik. Ini merupakan suatu kuasa koreksi dan suatu kunci untuk membawa kita kembali ke jalan yang benar.

Bukan saja demikian, penderitaan itu bagaikan obat yang sangat baik bagi kita, tetapi terasa amat pahit di mulut, untuk mengobati kesalahan-kesalahan yang tidak kita sadari. Dalam kesetiaan-Nyalah, Tuhan mengizinkan berbagai penderitaan menindas kita untuk menyempur-nakan hidup kita. Pengertian semacam inilah yang membuat orang suci kuat di saat mereka harus memikul salib yang terlampau berat. Ini menjadi suatu penghiburan bagi berbagai kepahitan yang seolah melampaui kemungkinan kita menang.

Ketika kita dicobai, pencobaan itu sepertinya melampaui kekuatan kita untuk menanggungnya, tetapi pada saat itu Allah akan memberikan kekuatan melalui kebenaran. Ini merupakan suatu dalil yang penting, yaitu: Seberapa pun besarnya kesengsaraan yang menimpa kita, kita tidak boleh menerimanya dengan pengertian yang lebih kecil daripada kesengsaraan yang kita terima itu. Maksudnya, kalau kita menerima kesengsaraan 80 persen, kita harus mempunyai theologi kesengsaraan yang dapat mengerti melampaui 80 persen, dengan demikian baru kita dapat menang. Di sini kemenangan bukan dilihat dari seberapa hebatnya seseorang, berapa ampuhnya senjata yang ada ditangannya, atau berapa banyak pengalamannya, tetapi tergantung dari pengertiannya tentang maksud, tujuan, dan proses penderitaan ini.

Pada bab sebelumnya saya juga berkata bahwa jika kita merasa seolah-olah harus mendapatkan hak yang lebih banyak, maka tuntutan itu mengakibatkan kita merasa menderita, bahkan di saat kita berada di dalam kenikmatan. Itu berarti, perasaan dan tuntutan yang tidak beres, yang melampaui hak kita merupakan sumber penderitaan. Sekarang saya berkata bahwa jika penderitaan melebihi kuantitas penderitaan yang kita terima, maka kita akan menang. Jadi, kemenangan juga tergantung pada pengertian tentang isi hati dan tujuan Tuhan. Ini menjadi kunci kemenangan.

Mengapa ada orang yang menderita sedikit langsung marah-marah kepada Tuhan, sementara ada orang yang menderita banyak dapat tetap bertahan dan bersyukur kepada Tuhan? Saya pribadi sangat menghina penderitaan itu sendiri. Saya lebih mementingkan pertobatan seseorang yang mempunyai tuntutan-tuntutan yang tidak beres, atau menambahkan pengertian seseorang tentang makna penderitaan, karena kedua hal ini membuat pengaruh penderitaan menjadi relatif dan tidak mutlak. Itu berarti, jika seseorang sungguh-sungguh mengerti, maka penderitaan sebesar apa pun yang harus ia tanggung, tidak akan terlalu membuatnya khawatir. Baginya, bahkan mati bagi Tuhan adalah persoalan yang kecil, karena ia tahu bahwa mati bagi Tuhan merupakan haknya untuk memuliakan Tuhan. Karena itu, tidaklah heran jika kita menemukan orang-orang yang dapat tetap bersukacita, tidak peduli betapa besarnya penderitaan yang menimpanya.

Josephus terheran-heran ketika melihat orang-orang Kristen dibakar dan dijadikan lilin hidup yang menyala-nyala di taman istana Nero. Mereka bukan saja tidak berteriak dan bersungut-sungut, tetapi bahkan meminta Tuhan menerima jiwa mereka dan mengampuni orang yang membakar mereka. Senyum kemenangan itu membuatnya ketakutan dan bertanya-tanya, “Mana ada orang-orang seperti ini?”

Pada waktu mereka diadu dengan singa, sebelum singa-singa itu datang mendekat, ada orang Kristen yang lemah iman menangis dan melarikan diri, namun akhirnya tetap dimangsa oleh singa-singa lapar itu. Tetapi ada sebagian orang Kristen yang tetap dapat menyanyi memuji Tuhan, karena mereka boleh mati bagi-Nya. Dan pada waktu tubuh mereka dikoyak dan wajah mereka dirobek, mereka tetap mati dalam keadaan tersenyum.

Sejarah mencatat bahwa ketika kaisar Nero melihat mayat orang-orang Kristen yang telah mati di tengah-tengah arena itu di malam harinya, ia mendapati mereka mati dengan wajah tetap tersenyum. Ia kemudian menjadi seperti orang gila, karena ia tahu bahwa ada suatu kekuatan yang tidak pernah bisa dikalahkan di dalam iman orang Kristen.

Jika hak Saudara dirampas, dan hak asasi Saudara dipermainkan, jika Saudara diperkosa, rumah Saudara dibakar, dan harta Saudara dijarah, apakah Saudara akan turut hilang sebagaimana harta Saudara yang hilang? Tidak! Sebelum dijarah, Saudara telah memiliki semua itu dan kalau dijarah, maka itu berarti Tuhan yang memberi dan Tuhan yang mengambil kembali. Ia menyimpan semua harta kita di sorga, kehidupan kita di dunia bukanlah akhir dari segalanya.

Pengertian semacam ini sudah ada di dalam iman kita, tetapi karena kita tidak memperhatikan dan tidak mengembangkan iman kita, maka kita selalu tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengatasi kesulitan dunia. Sama seperti cek yang sudah ditanda-tangani ada di dalam saku kita, tetapi tidak kita sadari dan tetap merasa miskin, karena kita tidak sadar bahwa cek itu sebenarnya adalah harta yang dapat direalisasikan. Iman itu seperti demikian!

Di dalam penderitaan, orang Kristen seharusnya mempunyai kekuatan yang lebih dibanding semua penganut agama yang lain. Keberanian menanggung segala kesulitan itu telah diberikan kepada orang Kristen. Jadi, jika Saudara sebagai orang Kristen dibakar, dijarah, diperkosa, atau bahkan dibunuh, apakah Saudara juga berpikir bahwa Tuhan sudah mati, atau Tuhan tidak adil, atau Tuhan sedang beristirahat atau Tuhan sudah tidak lagi memelihara Saudara? Tidak!

Seorangt misionaris perempuan dari Prancis pergi ke daerah sekitar Afrika Tengah dengan hati yang tulus mau melayani Tuhan dan mau menjadi hamba-Nya, mengabarkan Injil untuk membawa orang Afrika kembali kepada Kristus. Ia seorang gadis yang masih muda dan cukup cantik.Tidak lama setelah ia sampai sebelum ia berhasil memper-tobatkan seorang penduduk pun, ia sudah diperkosa oleh seorang yang setengah gila dan meninggalkan bekas yang tidak pernah ia lupakan. Ia merasa hancur hati dan tidak mengerti mengapa Tuhan membiarkan hal itu terjadi padanya. Setiap kali ia melihat orang yang berkulit hitam, ia merasa benci, ia tidak dapat lagi mengasihi mereka. Ia menganggap bahwa seluruh bangsa itu adalah bangsa biadab, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan Afrika dan pulang ke Prancis.

Tetapi Roh Kudus terus bekerja di dalam hatinya, sampai akhirnya ia tidak sanggup melawan cinta Tuhan, sehingga ia kemudian memutuskan untuk kembali. Ia sadar bahwa justru karena orang-orang di sana adalah orang-orang berdosa, maka mereka membutuhkan Injil. Justru karena bangsa itu adalah bangsa yang biadab, maka mereka memerlukan orang yang memberitakan Injil kepada mereka, dan ia tahu bahwa Tuhan mengutus dia dan bukan orang lain. Ia harus mengalahkan ketidak-sanggupannya untuk mengasihi orang-orang itu, mengalahkan kebencian yang membuatnya tidak lagi dapat memberitakan Injil. Untuk waktu yang cukup panjang ia terus bergumul dan menangis, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Afrika.

Pada waktu ia pergi, kerohaniannya sudah mantap. Dulu ia pergi hanya karena merasa tergerak ketika mengikuti kongres misi. Sekarang ia sadar bahwa yang mau ia injili justru adalah orang yang berdosa yang karena dosanya telah merusak keperawanannya. Dia menetapkan untuk mengasihi mereka dan tidak lagi membenci mereka. Ia mengabarkan Injil di sana selama berpuluh-puluh tahun sebelum akhirnya ia meninggal di sana. Ia menjadikan banyak orang menjadi orang Kristen. Itulah kemenangan yang mengalahkan penderitaan yang merebut haknya yang paling hakiki.

Paulus mengatakan, “Terpujilah Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam penderitaan kami, sehingga kami sangup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah….. Beban yang ditanggungkan atas kami begitu berat, sehingga kami telah putus asa, juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati.” (2 Korintus 1:3-4, 8-9).

Dan ia melanjutkan dengan berkata bahwa dulu Tuhan yang telah menyelamatkan dia dari kuasa kematian, sekarang sedang menyelamatkan dia dari kematian yang besar dan akan menyelamatkan dia dari kuasa kematian yang akan datang. Masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Dulu, sekarang dan kelak. Tuhan tidak berubah. Tuhan Yesus kemarin, sekarang, dan selama-lamanya tidak berubah. Puji Tuhan! Jika Tuhan dapat memimpin orang-orang yang dianiaya, sehingga mereka kuat dan tekun sampai mati, mengapa Tuhan tidak dapat memimpin kita? Jika ada orang yang dari kecil menjadi yatim piatu bisa berjuang sampai akhirnya menjadi orang yang berhasil, mengapa kita tidak bisa? Jika orang yang patah hati akhirnya dapat menjadi orang yang begitu kuat dan dapat menjadi berkat untuk ribuan orang, mengapa kita harus jatuh? Tidak perlu!

YANG PERLU DIINGAT KALA MENDERITA

Saya tidak merumuskan bahwa pengalaman yang sama pasti akan membawa respons yang sama. Seperti yang telah kita bicarakan di bab sebelumnya, manusia mempunyai nilai yang sama dengan bagaimana ia berespons kepada Allah. Ada orang yang setelah menderita kemudian bertobat, meminta Tuhan mengampuninya, dan tidak berbuat dosa lagi. Tetapi ada juga orang yang setelah mengalami kesulitan, mulai mencela Tuhan, dan memaki-maki orang lain. Ia menjadi luar biasa jahat.

Jangan menganggap bahwa pengalaman yang sama mendatangkan respons yang sama, karena di dalam respons kita pun, kita masih diberikan kebebasan. Kebebasan untuk berespons kepada Allah merupakan salah satu aspek hak asasi manusia yang terbesar, yang jika Saudara salah menggunakannya, akibatnya adalah Saudara akan menuju kepada kecelakaan yang lebih besar kelak di kemudian hari.

Perhatikan kalimat-kalimat ini dengan baik-baik, khususnya bagi pemuda-pemudi: “Dalam pembentukan karaktermu, apa yang kau ucapkan kepada dirimu, sebagai hasil dari responsmu kepada Allah, akan menjadi unsur yang membentuk karektermu sesudah itu.” Jika Saudara tahu bagaimana harus berespons kepada Allah dan mendapatkan kekuatan dari-Nya untuk mermperbaiki diri, hari depan Saudara pasti lebih indah daripada hari ini. Tetapi jika kita berespons secara salah, seperti halnya istri Ayub yang mencela Allah, maka sejak saat itu kita tidak akan mendapatkan kekuatan lagi, karena kita telah memutuskan hubungan melalui respons secara salah. Bagaimana kita berespons kepada Tuhan akan mempengaruhi bagaimana kita berespons kepada diri sendiri; dan bagimana kita berespons kepada diri sendiri akan mempengaruhi masa depan kita. Biarlah kita tidak dihanyutkan oleh penderitaan, tetapi kita justru harus memperalat penderitaan untuk meminta Tuhan membentuk kita.

Jangan mau ditakut-takuti oleh pendetitaan, tetapi manfaatkanlah penderitaan itu. Berbicaralah dengan berani kepada diri Saudara sendiri – karena Saudara bersandar kepada Tuhan dan Tuhan tidak akan membuang Saudara – di dalam penderitaan dan kesusahan, sehingga Saudara akan terus hidup. Ini orang bijaksana! Dalam kesengsaraan dan penderitaan kita harus mengetahui bahwa:

1. Hari Ini Bukan Hari yang Final

Ini bukan tahap terakhir dan kemudian selesai. Hari ini hanyalah satu hari sebelum hari esok, dan hanya satu hari setelah hari yang baru saja lewat. Pada waktu kita menderita, kita harus berpikir bahwa ini bukanlah akhir dari segala sesuatu. Ingat, hari ini bukan final!

Dalam sejarah politik di Amerika, ada sebuah humor yang luar biasa, yaitu saat Dewey bertarung sebagai kandidat Presiden dengan Truman. Perhitungan dari hasil pemilu yang masuk selalu hampir sama, tetapi pada malam terakhir Dewey terus menerima banyak kemenangan. Hanya tinggal beberapa jam sebelum surat kabar pagi harus memberitakan siapa pemenang di antara mereka berdua, ada sebuah surat kabar yang dengan berani sudah memasang berita bahwa Dewey mengalahkan Truman dan berhasil menjadi presiden, padahal perhitungannya belum selesai. Surat kabar itu ingin menjadi surat kabar yang paling cepat memberitakan kemenangan Dewey, sehingga dapat menjadi surat kabar yang paling hebat. Tetapi pada jam terakhir, ternyata Dewey kalah dan Truman menang. Surat kabar itu akhirnya mengalami kerugian yang besar, karena harus mencetak ulang surat kabar hari itu. Terlalu cepat menduga dan terlalu cepat mencetak, sehingga akibatnya justru menjadi surat kabar yang paling lambat keluar karena harus mencetak ulang. Presiden Truman yang baru menang di saat-saat terakhir akhirnya meminta satu copy surat kabar itu sebagai kenang-kenangan.

Jadi pada waktu menderita, jangan menganggap hal itu sudah final. Itu adalah suatu kebodohan. Di saat Iblis berkata, “Akhirnya kamu gagal,” kita harus berani menjawab, “Siapa yang berkata bahwa ini adalah akhir segalanya?”

2. Tuhan Masih Ada

Tuhan memang sepertinya menghilang dan telah mati, sehingga kita merasa tersendiri. Padahal tidaklah demikian. Tuhan tetap ada. Asal kita menengadah, kita akan melihat bahwa wajah Bapa kita tetap tersenyum dan berkata, “Tunggulah, Aku tidak akan meninggalkan engkau, tidak membuang engkau, dan tidak membiarkan engkau.”

Kira-kira delapan tahun yang lalu, saya berkhotbah di Yogyakarta. Pada haris terakhir selesai, seorang berkata kepada saya: “Pak Stephen Tong, tolong doakan seseorang yang saat ini ada di rumah sakit dan sakitnya sangat parah.” Saya pergi ke rumah sakit dan menemui seorang yang sudah lanjut usianya. Dia ternyata bukan orang Kristen, tetapi dahulunya pernah menjadi kristen-kristenan. Ia berkata: “Dulu, pada saat saya masih berusia sembilan belas tahun di Hin Hwa, Tiongkok, malam terakhir sebelum saya naik kapal ke Yogyakarta, saya mengikuti kebaktian yang dipimpin oleh John Sung. Sesudah itu saya menikah dan tidak lagi pergi ke gereja karena suami saya bukan orang Kristen. Sampai sekarang, sudah tiga puluh enam tahun saya tidak pergi ke gereja. Jadi, saya ini adalah kristen-kristenan.”

Sebelum berdoa, saya menyanyi, “Meski ku lupa Hu, Tuhan tak lupa ku.” Waktu saya menyanyi dia menjadi tercengang. Sambil menatap, airmatanya terus mengalir. Saya bertanya, “Mengapa Ibu menangis?” Ia balas bertanya, “Mengapa kamu menyanyikan lagu ini?” Saya menjawab, “Anda dulu kristen-kristenan. Anda melupakan Tuhan, tetapi Tuhan tidak melupakan Anda. Oleh sebab itu saya menyanyikan lagu ini.” Dia berkata, “Itulah lagu yang saya nyanyikan pada kebaktian terakhir itu. John Sung mengajarkannya dalam bahasa Mandarin.” Saya berkata, bahwa saya sendiri tidak tahu mengapa saya dapat menyanyikan lagu ini, dan dia berkata bahwa dia juga tidak tahu. Ia kemudian berkesimpulan bahwa Tuhan memang tidak melupakan dia. Matanya mulai bersinar, semangatnya mulai tumbuh dan ia berdoa dengan sangat sungguh sungguh. Pada hari itu ia mendapatkan kebangunan rohani. Puji Tuhan! Kalau Tuhan bekerja, manusia tidak mengerti. Air matanya dihapus, ia meminta Tuhan menyembuhkannya dan kalau s embuh ia berjanji untuk pergi ke gereja kembali.

3. Saya Tidak Seorang Diri

Waktu Saudara menderita, ingatlah kalimat pertama: “Ini bukan titik final.” Dan kalimat kedua: “Tuhan masih ada.” Kalimat ketiga adalah, “Saya tidak sendirian menderita.” Apakah artinya kalimat ketiga ini. Saya pernah berkata bahwa pada saat kita menderita, Iblis selalu membuat kita merasa tersendiri, laluberkata kepada kita bahwa kitalah orang yang paling menderita di dunia. Tidak! Sebenarnya penderitaan yang kita alami, itu sudah dialami oleh berjuta-juta manusia, bahkan mereka mengalami penderitaan yang lebih hebat daripada kita, hanya saja kita tidak menyadarinya. Kita merasa kita dibuang oleh Tuhan, paling tersendiri. Itu semua adalah tipuan setan!

Di Jerman ada seorang wanita yang setelah suaminya mati, ia hidup dengan kedua anaknya. Tetapi pada suatu hari anaknya pergi perang, yaitu Perang Dunia II. Tidak lama kemudian ia mendengar kabar bahwa anaknya mati di medan perang. Dia menangis hingga matanya bengkak. Ia selalu menangis setiap kali mengingat anak itu. Sementara anaknya yang masih hidup menjadi ketakutan melihat ibunya begitu sedih, tidak dapat dihibur, tidak mau makan, tidak mau minum, dan tidak mau berbicara. Anak ini hanya dapat duduk di sebelah ibunya yang terus menangis.

Akhirnya ibu ini menutup pintu dan jendela, tidak mau orang datang, dan tidak mau pergi ke mana-mana. Ia terus “menikmati kesusahannya”. Sampai kemudian ada satu sahabat karibnya datang mencarinya karena lama tidak pernah bertemu. Akhirnya ia mengizinkan orang ini masuk. Orang ini masuk dan mengajak ibu ini keluar. Karena mereka begitu akrab, maka ia setuju diajak menemui orang-orang yang ditinggal mati oleh anak-anaknya. Di sana ada orang yang ditinggal mati oleh empat orang anaknya, ada yang tiga, dan ada yang delapan. Ketika sampai di rumah, ia mulai sadar bahwa ia hanya kehilangan satu orang anak. Sedikit demi sedikit ia sendiri mulai terlepas dari kesusahannya, dan itu ternyata menjadi obat yang terbaik.

Jadi, obat yang terbaik adalah jangan menyendiri lalu membiarkan Iblis menipu kita untuk “menikmati kesusahan” kita sampai kita mencela Tuhan. Saya khusus memakai istilah “menikmati kesusahan” karena orang yang sedang berada di dalam penderitaan suka menyendiri dan tidak mau diganggu seolah-olah dia adalah orang yang paling susah. Di dalam susah pun dia ingin memonopoli, dia ingin menjadi yang nomor satu, yang paling susah. Bukankah itu menikmati? Jiwa seperti itu adalah jiwa yang sudah sakit keras, dan obat yang terbaik adalah pergi dan melihat orang yang lebih susah daripada dirinya, supaya ia mengerti bahwa banyak orang yang menanggung penderitaan lebih banyak daripada dirinya.

4. Penderitaan Akan Menjadi Kemenangan

Penderitaan akan lewat, perasaan menderita ini dapat disembuhkan. Tuhan akan menolong kita melewati semua ini dan meskipun harus melewati lembah bayang-bayang maut, aku tidak takut, karena Tuhan menyertai aku. Melewati berarti tidak tenggelam di dalam, tidak terkunci di tengah-tengah, tidak berhenti di sana. Ada titik akhir di mana kita akan lepas. Jika Iblis berkata bahwa kita sudah habis dan tidak akan dapat keluar lagi, kita harus berkata, “Tidak! Itu bukan titik final! Tuhan masih ada, saya tidak sendiri, dan saya akan melewatinya!” Dan kalimat terakhir, “Tuhan akan menjadikan saya lebih sempurna.” Kalau kita sudah dapat mengucapkan kalimat terakhir ini, maka kita sendiri akan mulai mempertanyakan apakah sesungguhnya penderitaan itu. Ini hanyalah proses yang harus dan yang akan kita lewati. Ini hanyalah suatu titik kecil di dalam prosedur yang panjang, agar kita menjadi sempurna.

Ketika kita menikah, kita tidak memilih cincin perak, karena perak masih dapat berubah warna. Kita tidak memilih tembaga karena selalu menjadi merah. Kita memilih cincin emas karena emas adalah logam mulia, dan tidak berkompromi dengan oksigen. Emas adalah warna yang paling permanen dan tidak akan pernah mau berubah warna. Tetapi jangan lupa, tidak ada cincin emas yang tidak melewati api dan pukulan besi. Ketika emas masih berada di dalam pertambangan, emas itu sudah berpotensi tetapi belum jadi. Sekarang, proses api menghancurkan dan memurnikan semua cacat dan kotoran yang ada di dalamnya. Baru setelah itu ia menjadi emas yang tidak berkompromi. Emas saja tidaklah cukup, emas masih membutuhkan api.

Bukankah banyak pemuda-pemudi yang mempunyai talenta yang amat besar? Dari dulu saya sangat mencintai pemuda-pemudi, tetapi saya tidak mau bermain-main dengan mereka. Saya tidak mau terlalu dekat dengan pemuda-pemudi supaya saya jangan sampai merusak mereka. Saya menjauh dari mereka supaya mereka akhirnya jadi, dan bukannya hancur karena terlalu dekat dengan saya. Saya berusaha supaya Tuhan memberikan sasaran yang tinggi kepada mereka.

Mereka yang mempunyai potensi yang tinggi jangan menjadi sombong, sebab itu hanya potensi yang belum jadi. Melalui proses api, ujian, sengsara, dan penderitaan, merupakan suatu keharusan bagi mereka supaya mereka jadi. Itu sebabnya saya mendoakan agar mereka dapat bertahan dalam penderitaan. Dan bahkan saya berdoa agar mereka tidak menghindari pendereritaan yang seturut dengan kehendak Tuhan apabila hal itu memang diperlukan. Berdoa supaya Tuhan memberikan penderitaan sekaligus daya dan kekuatan untuk menahan penderitaan dan dapat melewati proses ini.

Itulah sebabnya saya mendidik anak saya dengan tegas. Saya sungguh-sungguh tahu bahwa hal itu perlu baginya. Karena saya tahu bahwa kalau anak saya mempunyai potensi tetapi tidak dilatih, maka di kemudian hari ia akan berpotensi untukmerusak banyak orang. Saya pernah memarahi anak saya di hadapan seribu orang jemaat karena ia jalan-jalan di tengah-tengah kebaktian. Dia ketakutan dan tidak berani mengulangi lagi perbuatan itu lagi. Anak saya pernah satu kali tidak mau ikut kebaktian dan memilih untuk mendengar di luar. Saya menahan surat izin mengemudi (SIM) mobilnya hingga dua bulan, supaya ia tahu bahwa ia tidak benar. Didikan yang keras yang mereka terima sekarang suda mulai menampakkan buahnya. Mereka satu per satu mempunyai perasaan takut akan Tuhan, hidup menjadi manusia yang harus hati-hati dan bertanggung jawab di dalam kesulitan.

Marilah kita mulai dengan rela berkata kepada Tuhan bahwa di saat sengsara, penganiayaan, dan kesulitan datang, Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk melaluinya.

KESIMPULAN

Seluruh pembahasan ini dapat disimpulkan sebagai berikut: melalui penderitaan, barulah kita sadar siapa diri kita, bahwa Tuhan tidak membuang kita dan ada tujuan yang lebih tinggi daripada yang sekarang ini telah kita capai.

Apa yang telah kita capai dan raih sampai saat ini bukanlah final. Tuhan mau kita lebih baik daripada sekarang. Saya berjanji di hadapan Tuhan bahwa pelayanan saya setiap tahun haruslah semakin maju selama saya hidup. Dan sampai tahun 1998, saya sudah melayani selama 41 tahun.

Dalam empat tahun terakhir, saya melihat gejala bahwa di dalam berbagai seminar dan kebangunan rohani yang saya pimpin, Tuhan mengirim banyak pemuda-pemudi di bawah usia 25 tahun untuk menghadirinya, sampai sekitar 60 persen dari seluruh pengunjung. Itu berarti Tuhan sedang mempercayakan generasi yang baru untuk saya didik, saya garap, dan saya pimpin memasuki abad ke dua puluh satu. Jika demikian, bolehkah Stephen Tong yang sekarang ini Saudara lihat adalah Stephen Tong yang baru mencapai taraf ini, tetapi Stephen Tong yang Tuhan mau garap hingga berhasil adalah jauh melebihi apa yang sekarang ini telah ada.

Ketika Saudara melihat cermin, jangan mengira Saudara sudah sukses. Belum! Saudara sedang digarap oleh Tuhan untuk mencapai suatu taraf yang jauh melebihi yang telah kita capai saat ini, karena Tuhan masih mau memakai penderitaan, penyakit, ujian, kesulitan, dan kemiskinan untuk mendidik Saudara sampai jadi. Pada waktu Tuhan membawa bangsa Israel masuk ke Tanah Perjanjian, Tuhan tidak mengusir bangsa-bangsa di sana, sehingga bangsa Israel dapat masuk ke dalamnya dengan sorak-sorai dan berpesta pora. Tidak! Kalau orang Israel mau mendapatkan Tanah Perjanjian, maka mereka sendirilah yang harus mengusir bangsa-bangsa yang telah mendiaminya.

Orang Israel harus berperang dengan semua suku yang ada di Kanaan. Baru setelah orang Israel menang, mereka berhak untuk memiliki tanah perjanjian itu. Tetapi, bukankah Tuhan sudah berjanji memberikan tanah itu kepada bangsa Israel? Tuhan memang sudah berjanji, tetapi janji itu juga mencakup perjuangan orang Israel, karena itu juga merupakan hak bangsa Israel.

Puji Tuhan kalau hari tidak selalu lancar, kalau langit tidak selalu cerah, dan kalau awan mengelilingi kita. Puji Tuhan kalau kesulitan-kesulitan kita tidak dicabut karena Tuhan mau kita melewati kemenangan, bukan sekadar melewati kenikmatan, karena Tuhan langsung memberikan kemenangan kepada kita. Biarlah Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk menegakkan iman kita dan melatih kita menuju hari kemenangan yang terakhir. Dan jangan lupa, Kristus sudah mengalahkan semua itu.

Amin.
SUMBER :
Nama buku : Iman, Penderitaan, dan Hak Asasi Manusia
Sub Judul : Bab 5 : Iman, Penderitaan, dan Hak Asasi Manusia
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2013
Halaman : 81 – 102
Artikel Sebelumnya :
  1. Iman, Penderitaan, dan HAM (Bagian 1)
  2. Iman, Penderitaan, dan HAM (Bagian 2)
  3. Iman, Penderitaan, dan HAM (Bagian 3)
  4. Iman, Penderitaan, dan HAM (Bagian 4)