Jas Merah atau Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Soekarno, 1966), merupakan suatu istilah yang populer dan selalu penulis ingatkan kepada mahasiswa dan praktisi perpajakan yang sedang mengambil kelas brevet dalam memandang suatu fenomena.
Demikian pula tanggal 14 Juli 1945 yang merupakan momentum penting dalam sejarah perjalanan organisasi perpajakan di Indonesia pada masa awal pasca proklamasi kemerdekaan yang mengandung nilai luhur dan semangat perjuangan untuk menopang kehidupan bangsa Indonesia.
Maka berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017 ditetapkan Hari Pajak, yaitu tanggal 14 Juli 2018 diperingati sebagai Hari Pajak Pertama. Dalam momentum tersebut dirayakan dengan upacara bendera, kegiatan olah raga, kegiatan seni, kegiatan sosial, dan kegiatan positif lainnya yang dapat meningkatkan kebanggaan terhadap tanah air Indonesia serta institusi Direktorat Jenderal Pajak, menguatkan rasa kebersamaan antar pegawai, serta memberikan nilai manfaat bagi para pemangku kepentingan.
Sejarah dan Latar Belakang
Pada September 2017, Arsip Nasional RI akhirnya membuka secara terbatas dokumentasi dokumen otentik BPUPKI-PPKI koleksi AK Pringgodigdo yang dirampas Belanda (sekutu) ketika masuk Yogyakarta dan menangkap Bung Karno pada 1946. Penelusuran dokumen Pringgodigdo yang baru dibuka menunjukkan bahwa sejarah pajak dan negara ternyata berkait dengan proses pembentukan negara, yaitu masa-masa sidang BPUPKI.
Bahkan kata pajak itu pertama kali disebut oleh ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Radjiman Wediodiningrat (sekarang dijadikan nama Kantor Wilayah LTO , KPP WP Besar 1 hingga 4 di Jln. Jend. Sudirman Jakarta Selatan) dalam suatu panitia kecil soal “KEUANGAN” dalam masa reses BPUPKI setelah pidato terkenal Sukarno dibacakan pada 1 Juni 1945. Rajiman dari lima usulannya pada butir yang keempat menyebut, “Pemungutan pajak harus diatur hukum”.
Pada masa sidang kedua yang berjalan antara 10 Juli s.d. 17 Juli 1945 kata pajak muncul dalam “Rancangan UUD Kedua” yang disampaikan tanggal 14 Juli 1945 pada Bab VII hal keuangan – Pasal 23 menyebutkan pada butir kedua “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang”.
Sejak 14 Juli 1945 itulah urusan pajak terus masuk dalam UU 1945. Bahkan mendapat pembahasan khusus pada 16 Juli 1945 yang merinci sebagai sumber-sumber penerimaan utama negara dan menjadi isu utama sidang.
Berlatar belakang sejarah tersebut maka tanggal 14 Juli 1945 itulah yang diacu sebagai hari lahir pajak. Penetapan 14 Juli sebagai hari jadi tentu akan memberikan legitimasi historis kepada Direktorat jenderal Pajak sebagai soko guru utama kekuatan negara dan sebab itu oleh para pendiri bangsa dibicarakan dalam proses lahirnya Republik Indonesia.
Hari Pajak
Sesuai namanya, maka seluruh elemen diharapkan ikut merayakan dan memperingati secara nasional khususnya pemangku kepentingan dengan pesan membangun kesadaran masyarakat luas tentang arti penting pajak bagi keberlangsungan NKRI. Sistem perpajakan di Indonesia yang menganut self assessment perlu digelorakan sebagai wujud patriotisme rakyat kepada tanah air tercinta.
Kantor tempat penulis mengagendakan Upacara Bendera dan pemberian santunan kepada yang membutuhkan yang dananya bersumber dari setiap pegawai yang secara ikhlas dan sukarela memberikan donasi. Dan yang menarik dalam hal jiwa pengorbanan adalah Hari Pajak kali pertama ini jatuh pada hari Sabtu dimana di hari Sabtu seharusnya duduk santai bercengkerama dengan keluarga.
Pajak dalam Satu Dekade Terakhir
Di tahun 2008 jumlah penduduk di atas 200 juta namun yang menjadi Waib Pajak tidak lebih dari 2 Juta dan setelah melakukan edukasi dan literasi untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam hal pelaksanaan perpajakan maka di tahun 2018 jumlah Wajib Pajak yang terdaftar adalah 38.651.881 dengan 17.653.963 di antaranya wajib menyampaikan Surat pemberitahuan (SPT). Dari jumlah tersebut, yang telah menyampaikan SPT tahun pajak 2017 per 31 Maret 2018 adalah 10.589.648 atau 59,98%.
Perjuangan untuk naik dari 2 juta, 6 juta, 8 juta, menjadi 12 juta adalah perjuangan yang panjang seiring reformasi pajak kita sendiri. Ditjen Pajak saat ini harus mengurusi 38 Juta Wajib Pajak, 38 juta tentu membutuhkan suatu institusi yang berbeda (Sri Mulyani, Liputan 6.com).
Dalam satu Seminar Perpajakan, Menteri Keuangan menyebutkan bahwa DJP memiliki fungsi yang sama sekali tidak mudah bahkan hampir muskil dilaksanakan oleh sebuah institusi dan manusia-manusianya. Adapun fungsi DJP yang diharapkan oleh pemerintah adalah 3 (tiga) fungsi yang ketiga-tiganya bertolakbelakang yaitu :
- Fungsi pertama DJP ini yang oleh masyarakat seperti tangan yang mulai mencengkeram masuk. Punya mata dan telinga seperti dapat melihat rekening Wajib pajak di bank, mendengar percakapan, dan mendapatkan informasi wajib pajak dari luar negeri melalui AEoI (automatic Exchange of Information).
- Fungsi kedua DJP, 180 derajat berbeda sama sekali dengan fungsi pertama, adalah pajak harus mampu melayani masyarakat. DJP harus memberikan pelayanan dengan baik, respek, seadil-adilnya, sebaik-baiknya, sesopan-sopannya, semendukung-dukungya, hal ini memang tidak mudah namunini adalah “marching orders” dari Menteri Keuangan.
- Fungsi ketiga DJP, DJP harus mampu menjadi instrumen yang mendukung perekonomian dan masyarakat Indonesia. Waktu ekonomi lesu DJP harus mampu mendongkrak ekonomi. Sedangkan pada waktu ekonomi terlalu overheating maka DJP harus mampu mendinginkan.
Admin nusahati mengucapkan Selamat Hari Pajak untuk menuju Indonesia sejahtera dan Mandiri.
Selamat Hari Pajak untuk Kita Semua, #PajakKitaUntukKita