Apakah memang membayar dan melapor perpajakan menjadi sesuatu yang sulit dan merepotkan? Benar bahwa demikian banyaknya aturan-aturan perpajakan bahkan perubahan-perubahannya. Penulis yang adalah petugas yang langsung berhadapan dengan Wajib Pajak sekaligus juga sebagai instruktur dibeberapa pelatihan perpajakan setiap hari selalu mendapat beberapa pertanyaan terkait perpajakan baik secara langsung maupun melalui chatWA, email, IG, twitter dan beberapa telepon yang beruntung saya angkat. Dan pertanyaannya banyak yang sama dan sering berulang-ulang  sehingga timbulah pemikiran bagaimana menyikapi hal-hal seperti ini.

Artificial Inteligence (AI) adalah suatu kecerdasan yang diciptakan dan dimasukakan ke dalam mesin seperti komputer agar dapat melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan manusia (kecerdasan buatan). Melalui blog nusahati penulis menguraikan setiap tulisan yang bersumber dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai arsip maupun sebagai informasi bagi yang membutuhkannya, dan tidak jarang saya memberikan link tulisan terhadap pertanyaan yang disampaikan. Lalu bagaimana dengan sebuah institusi yang paling penting di Republik ini dalam menyikapi hal-hal seperti ini?

Direktorat Jenderal Pajak tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan teknologi ini untuk dapat memberikan informasi seputar perpajakan kepada masyarakat Wajib Pajak, sehingga tidak ada lagi keluhan bahwa membayar dan melapor pajak  adalah sesuatu yang sangat sulit.

Sistem Pembayaran Pajak Mudah

Hampir satu dekade yang lalu dalam sebuah laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dimana penilaian mengacu dari laporan Doing Bussiness menyebutkan rata-rata sebuah kegiatan bisnis di Indonesia harus membayar sedikitnya 22 jenis pajak dalam setahun dan membutuhkan waktu sekitar 344 jam kerja. Tentunya kerumitan ini menjadi faktor penghambat kepatuhan pembayaran pajak dan lebih vital lagi dapat menghambat investasi. Bagaimana sekarang?

Direktorat Jenderal Pajak menyadari dengan menyediakan fasilitas-failitas elektronik, salah satunya adalah sistem pembayaran elektronik (billing system) yang memudahkan dalam pembayaran pajak serta lebih mudah, lebih cepat, dan lebih akurat.

  • lebih mudah, tidak perlu mengantri di loket teller untuk melakukan pembayaran karena dapat melalui Internet Banking dari meja kerja atau melalui mesin ATM. Cukup membawa catatan kecil yang bersisi Kode Billing untuk melakukan transaksi pembayaran pajak.
  • lebih cepat, hanya dibutuhkan hitungan menit dalam melakukan transaksi pembayaran dan dapat dilakukan dari mana saja.
  • lebih akurat, sistem akan membimbing dalam pengisian dengan tepat dan benar sesuai dengan transaksi perpajakan yang diinginkan.

Terkait bagaimana mekanisme pembayaran pajak melalui e-billing dapat dibaca dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Cara Bayar Pajak dengan E-billing“.

Tak dapat dipungkiri bahwa DJP melalui teknologi informasi ini telah melakukan hal yang begitu baik khususnya untuk daerah perkotaan, namun bagaimana dengan masyarakat di daerah yang masih kurang begitu familiar dengan teknologi informasi khususnya internet? Hal ini adalah tugas yang harus dituntaskan dengan melibatkan pihak-pihak lain. Jika kita melihat  bagaimana sebuah bank swasta mampu menggunakan layanan dengan fitur chatbot yang mampu menyediakan segala pertanyaan seperti nilai kurs, lokasi mesin ATM, cek mutasi rekening, promo dan lain-lain maka DJP pun pasrti mampu melakukannya sehingga setiap wilayah dapat terjangkau terkait kemudahan tersebut.

Sistem  Pelaporan Pajak Praktis

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi  maka melalui PER-01/PJ/2017  DJP mengeluarkan aturan terkait penyampaian SPT secara elektronik, yang sebelumnya SPT Masa dan SPT Tahunan disampaikan secara manual sekarang dapat dilakukan secara elektronik. Istilah nama SPT Elektronik (e-SPT) yang meliputi SPT Masa Elektronik (e-SPT Masa) dan SPT Tahunan Elektronik (e-SPT Tahunan). Terkait hal ini dapat di baca dalam tulisan yang berjudul “Penyampaian e-SPT Masa & Tahunan.”

Dan dengan motivasi penyederhanaan administrasi pengelolaan SPT (ease of doing bussiness) DJP selalu melakukan perbaikan-perbaikan  terakhir melalui PMK nomor 9/PMK.03/2018 tentang penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) hal ini dapat dibaca dalam tulisan “Hal Baru tentang SPT.”

Tentu tidak semua pengusaha Orang Pribadi maupun Badan mampu melakukan penyampaian SPT Masa  melalui elektronik, oleh karena itu diberi batasan misalkan penyampaian SPT Masa PPh 21/26 bagi yang jumlah yang dipotong tidak lebih dari 20 orang dalam satu masa tetap diperkenankan dalam bentuk SPT manual, bahkan bagi Wajib Pajak yang jumlah PPh Pasal 21/26 yang dipotong pada masa pajak bersangkutan bernilai nihil tidak perlu menyampaikan SPT demikian juga dengan SPT PPh 25 Nilil serta pemungut PPN dan tidak dikenakan sanksi administrasi sesuai pasal 7 UU KUP.

Tarif Pajak Realistis

Membuat tarif pajak penghasilan untuk jenis pajak Badan rendah baik untuk menjaga nilai kompetitif investasi dalam negeri hal yang sama berlaku juga  bagi pajak penghasilan Orang Pribadi untuk menjaga daya beli masyarakat. Adapun tarif yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Tarif PPh Badan

Tarif PPh Badan sebagaimana diatur dalam UU Pajak Penghasilan dan peraturan pemerintah adalah sebagai berikut :

  • 1% bersifat Final bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKN) dengan omset maksimal Rp. 4,8 milyar, hal ini sebagaimana diatur dalam PP nomor 46 Tahun 2013;
  • bagi peredaran bruto sampai dengan Rp. 50 Milyar mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif  25% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.8 milyar;
  • 25% untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
  • 20%  UNTUK Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya .

a. Tarif PPh Orang Pribadi

Tarif PPh Orang Pribadi sebagaimana diatur dalam  UU Pajak Penghasilan dan peraturan pemerintah adalah sebagai berikut :

  • 1% bersifat Final bagi Orang pribadi yang memiliki  Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKN) dengan omset maksimal Rp. 4,8 milyar, hal ini sebagaimana diatur dalam PP nomor 46 Tahun 2013;
  • 5% , lapisan Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
  • 15%, lapisan Penghasilan Kena Pajak  di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
  • 25%, lapisan Penghasilan Kena Pajak  di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  • 30%, lapisan Penghasilan Kena Pajak  di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Masing-masing negara berdaulat dalam menentukan tarif pajaknya, salah satu indikator penentu besaran tarifnya bagi suatu negara berkembang adalah untuk mengatasi fluktuasi tingkat konsumsi masyarakat dimana makin rendah pajaknya maka secara agregat konsumsi masyarakat akan tumbuh yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Bebeda dengan sebagian negara khususnya yang menganut paham welfare state dimana Pajak Penghasilan dilihat sebagai alat pemerataan pendapatan masyarakat, sehingga untuk negara-negara tertentu seperti Belgia, Finlandia, Swedia, Aruba, dan Inggris adalah pemegang record tarif  pajak penghasilan tertinggi di dunia.

Pemerintahan Indonesia dari perspektif  saya sebagai petugas pajak dalam menentukan tarif sudah cukup baik khususnya untuk Orang Pribadi maupun Badan yang memiliki kegiatan usaha yang masuk kategori Usaha Mikro Kecil menengah (UMKM) hanya dikenakan tarif 1% dari omset dan diawal Juli 2018 nanti diturunkan menjadi 0,5% yang bersifat final  yang dihitung setiap bulan tanpa adanya kewajiban melapor kecuali untuk Surar Pemberitahuan Tahunan.

Penutup

Jika dikatakan bahwa DJP memiliki kekurangan, tentu tidak dapat dipungkiri namun niatan untuk mernjadikan DJP menjadi institusi yang modern dan terpercaya tidak dapat dipungkiri. Jika  di masa-masa sebelumnya DJP memiliki sistem perpajakan yang paling rumit dibandingkan negara lain di ASEAN, namun kini melalui pemanfaatan teknologi informasi ditujukan untuk kemudahan semua pembayar pajak sudah baik. Bahkan baru-baru ini Indonesia berhasil menaikan peringkat dakam pertukaran informasi berdasarkan permintaan (EOIR) untuk tujuan perpajakan dari semula partly compliant menjadi lagerly compliant hal ini membuat Indonesia sejajar dengan Amerika Serikat dan Jepang.

Setiap petugas pajak pun setia setiap saat untuk membantu terkait hal-hal teknis administratif, maka bila ada yang mengatakan bahwa mengeluh karena sistem administrasi yang memusingkan, banyaknya aturan-aturan yang harus dipahami dan diketahui termasuk juga besaran tarif yang tidak realistis adalah menjadi suatu yang mengada-ada jika menjadikan suatu alasan tidak melaksanakan kewajiban perpajakan.