Renungan ini ditulis berdasarkan paparan Pdt. Stephen Tong (dengan judul yang sama) di Singapore Theological Seminar pada tahun1992.

Alkitab tidak hanya berbicara mengenai masuk sorga dan kepercayaan saja. Alkitab juga mengajar kita memakai prinsip firman Allah yang orisinal untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul, baik di bidang politik, masyarakat, seni, dan lain-lain. Kita perlu memahami bukan hanya theologi sistematika tradisionil yang membahas tentang keselamatan, Kerajaan Allah, dan rencana Allah yang kekal, tetapi juga topik-topik yang berkenaan dengan konsep politik, nilai, kebudayaan, maupun sejarah.

Kita yang hidup di dunia ini tidak dapat menghindari pembahasan semacam ini, karena konsep dasar secara langsung atau tidak langsung memengaruhi reaksi hidup kita. Bila kita merenungkan secara mendalam dan mempunyai pemahaman konsep yang tepat, maka kita akan menjadi orang Kristen yang mampu memuliakan Allah dan membawa berkat bagi sesama.

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. (Kejadian 1 : 28 dan 2 : 15)

Istilah ‘mengusahakan’ (LAI) atau cultivate dalam ayat ini berkaitan dengan istilah culture. Ini berarti bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang berbudaya.

Jika kita memandang sejarah sebagai sebuah sistem sirkulasi, kita akan menemukan bahwa di dalam sistem dan sirkulasi ini terdapat definisi-definisi yang seolah-olah tidak tampak namun sebenarnya ada. Bagaimana sirkulasi ini terjadi? Pada saat seorang yang bijaksana mendisiplin tindakan yang kurang bijaksana, maka keprimitifan pun akan dikikis secara perlahan-lahan, karena wisdom is conquering the barbarianism. Pendidikan tampil ke permukaan dan membentuk masyarakat yang berbudaya, dan kebijaksanaan mulai melayani penguasa yang dominan. Seorang politikus yang mengerti hal ini kemudian akan bertekad untuk merebut dan menguasai orang-orang yang bijaksana untuk melayani ambisi mereka. Ambisi politik terdapat dalam diri para pemimpin yang bengis, yang menganut pemikiran diktator. Padahal kuasa diktator secara mutlak akan menjadi penghancur kuasa politik. Pada saat kuasa tertinggi hancur, maka irama sejarah kembali kepada barbarisme yang mendominasi kuasa politik yang tertinggi. Sirkulasi ini berlangsung sampai abad XX dan berkembang menjadi suatu pengharapan bahwa demokrasi dapat menyelesaikan masalah ini.

Demokrasi perlu dibangun di atas dasar neutral information (informasi netral, tidak terdistorsi) dan pendidikan kebudayaan secara menyeluruh. Dengan demikianlah demokrasi dapat berkembang. Namun hal ini adalah idealisme yang tidak mungkin. Bagi saya, kemenangan demokrasi mungkin sekali merupakan wujud pemikiran barbarisme dari orang-orang zaman modern. Jangan kita heran apabila suatu hari kelak kita menemukan negara Amerika – yang mempunyai hikmat dan pengetahuan tinggi – akan jatuh ke dalam tangan orang orang yang menyebut diri demokrat, tetapi memberikan toleransi terhadap perdagangan narkotik, homoseksualitas, aborsi, dan lain sebagainya. Hal tersebut terjadi karena pada saat pemilihan presiden, calon presiden takut kalau-kalau rakyat tidak mau mendukungnya, sehingga dengan terpaksa dia berkompromi demi memperoleh kemenangan saat pemilihan. Sebenarnya, dia telah menggantikan demokrasi dengan kuasa. Sejarah menunjukkan bahwa di dalam sistem sirkuliasi ini, kebudayaan yang dibangun manusia dengan susah payah telah menempatkan dirinya dalam suatu krisis, suatu masalah yang mendalam dan serius.

Siapakah manusia? Berapa pentingnya nilai sifat manusia? Berapa besar potensi dan krisis sifat manusia? Sesungguhnya manusia berpotensi untuk memahami masalah krisis ini hanya melalui terang firman Tuhan, yang bahkan dapat menembus dan memahami sampai sedalam-dalamnya. Maka hanya kekristenanlah yang dapat menjelaskan krisis ini. Jika kekristenan hanya meraba masalah superfisial yang sehari-hari dihadapi manusia dan tidak menemukan prinsip dasar yang Allah wahyukan, maka sumbangsih kekristenan terhadap dunia hanyalah untuk menghadapi kesementaraan, serta tidak mampu bertahan lama.

Adakah unsur kejatuhan manusia dalam dosa juga tercakup dalam kebudayaan? Apakah kebudayaan dihasilkan setelah kejatuhan? Atau kebudayaan sendiri mempunyai kemungkinan untuk mencegah datangnya kejatuhan? Semua ini merupakan hal yang istimewa.

Ketika pemerintah menganjurkan rakyat untuk ber-KB (red – Keluarga Berencana), rakyat mengira KB dapat menyelesaikan masalah ekonomi dan masyarakat. Maka mereka memakai berbagai alasan untuk menunjang ketetapan itu. Namun 10-20 tahun kemudian, saat mereka mendapati bahwa mayoritas rakyatnya adalah ‘manula’, mereka kembali memberi semangat kepada rakyat untuk melahirkan banyak anak, sementara rakyat sudah terlanjur tidak suka mempunyai banyak anak. Saat mereka menemukan arah sejarah sudah susah dikembalikan, mereka baru menyesal akan keputusan yang pernah mereka tetapkan.

Jadi apakah setiap kali strategi dan aksi masyarakat yang kita pilih akan selalu menelurkan kesalahan-kesalahan yang baru disadari pada kemudian hari? Ini hanya salah satu contoh untuk memikirkan apakah kejatuhan sendiri memang sudah tercakup di dalam kebudayaan.

Dari buku-buku dan hasil pemikiran rasio manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, kita tidak berhasil menemukan penyebab kejatuhan. Hanya di dalam firman Tuhan kita bisa menemukan penyebab utama dari semuanya ini. Ketika kuasa politik berubah, ketika sistem dan cara pendidikan telah tersingkirkan, ada hal-hal yang lebih mendalam dan yang sama sekali tidak berubah, yaitu:

  1. Kebudayaan
  2.  Agama

Hal yang bersifat budaya dan agama selalu melampaui hal yang bersifat politik, masyarakat, ekonomi, dan pendidikan. Komunis yang ingin mendongkel ajaran konfusionisme justru binasa, dan atheisme yang ingin memusnahkan agama juga mengalami kehancuran. Komunisme dan atheisme mengunggulkan konsep kosmologi mereka sebagai kebenaran yang mutlak. Mereka menggunakan konsep kosmologi untuk menyerang sistem pemikiran lama dan memperalat kuasa politik untuk memperoleh posisi yang menguntungkan. Tetapi taktik politik bukanlah hal yang kekal. Tatkala komunisme dan atheisme sudah lenyap, kebudayaan dan agama tetap ada. Yang membinasakan telah binasa, tetapi yang dibinasakan tetap berada.

Allah adalah Pencipta manusia. Manusia adalah gambar dan rupa-Nya. Sifat manusia, yang memiliki gambar dan rupa Allah, mencapai puncaknya dengan memiliki dua sifat besar: sifat kebudayaan dan sifat agama. Manusia disebut manusia karena ia mempunyai sifat budaya dan sifat agama. Dengan demikian barulah manusia bisa hidup sebagai manusia di dunia. Ketika kedua sifat ini disingkirkan dari manusia, manusia bukan lagi manusia. Manusia adalah manusia karena bisa mandiri, melampaui dan mengalahkan alam, kecuali pada hari ketika batasan yang alam berikan kepadanya telah sampai. Manusia bukan hanya hidup selama berapa puluh tahun di dunia. Setelah manusia meninggal, sifat budayanya masih berpengaruh pada generasi berikutnya, sedangkan sifat agamanya membawa dia pulang ke tempat kekekalan dengan sejahtera.

Dari manakah datangnya sifat kebudayaan dan sifat agama yang telah membentuk manusia? Singkatnya memang ada secara alami. Begitu manusia lahir, dia sudah mempunyai sifat agama dan sifat budaya. Tetapi perhatikan bahwa tujuan dari sifat agama dan sifat budaya tidak bisa disejajarkan dengan alam. Jika kebudayaan adalah produk alam, maka kebudayaan tidak mungkin menjadi alat untuk menguasai alam. Jika sifat agama adalah produk alam, mengapa agama sering kali melampaui, menentang, dan bahkan menggeser alam? Jadi bila yang bersifat agama dan budaya bukan berasal dari alam, hal-hal itu pasti berasal dari yang bersifat supra alami. Itulah sebabnya para ahli ilmu alam seperti Herbert Spencer dan Thomas Henry Huxley, di dalam keheranannya, mengatakan kalimat istimewa berikut ini: “Rasio dan hati nurani manusia sama sekali bukan produk evolusi.” Mereka sama sekali tidak memberitahukan dari mana asal rasio dan hati nurani manusia. Mereka hanya secara terpaksa mengakui adanya bagian supra alami di dalam diri manusia.

Kita menemukan ada dua macam unsur yang sama sekali berbeda, yang telah membentuk sifat manusia kita, yakni bahwa kita mempunyai tubuh yang hampir sama dengan binatang, membutuhkan makanan dan seks; namun di dalam diri manusia masih terdapat satu unsur lain, yang ikut membentuk bagian yang lebih dalam dan lebih penting, yang bisa membuat kita tidak mengindahkan kemuliaan dan kemewahan dunia, memandang enteng akan kesengsaraan hidup, dan membuat kita mempunyai sifat-sifat transendental, seperti: tidak merasa iri, tidak membenci, dan tidak merendahkan mereka yang lebih hina dari kita. Jika manusia hanya mempunyai kebutuhan makan dan seks saja, hidup kita di dunia ini tidaklah memiliki nilai yang istimewa.

Dari manakah datangnya unsur transendental itu? Tidak ada satu kebudayaan yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Tatkala manusia mencari tahu akan kebenaran ini, mereka langsung menetapkan bahwa unsur tersebut adalah produk kebudayaan, sehingga mereka tidak benar-benar mempelajari dari mana unsur itu berasal. Hanya firman Tuhan yang menguraikan asal usul unsur itu secara gambalng. Sayang, hari ini banyak orang sudah keburu mati sebelum mereka mengerti kekristenan dengan benar. Yang paling kasihan adalah orang orang yang setiap hari memperkenalkan kekristenan kepada orang lain, padahal diri mereka sendiri sama sekali tidak tahu apa-apa. Jadi, bukan saja ada orang yang belum sempat memahami sudah mati, tetapi ada juga yang belum sempat memahami sudah berani mengajar orang lain, sehingga mereka bukan hanya tidak bisa menunjukkan nilai kekristenan yang sesungguhnya kepada dunia, bahkan diri mereka sendiri pun tidak menikmatinya. Hidup mereka tentu tidak berbeda dengan mereka yang bergumul dengan alam, tanpa arah dan tanpa prinsip.

Kebudayaan membuat manusia mau dan harus melampaui alam. Maksudnya, entah di dalam masyarakat yang paling maju teknologinya atau di antara bangsa yang paling primitif dan belum beradab sekalipun, kita akan menemukan sifat yang sama: yang melampaui alam, yang menguasai alam, yang menang atas alam, yang memanfaatkan alam, dan yang membuat alam takluk di bawah dirinya. Inilah yang menyebabkan manusia tidak dapat dimusnahkan oleh binatang buas. Manusia memiliki kebudayaan dan telah menaklukkan alam, sehingga manusia dapat menggunakan benda sebagai alat, menjadikan hasil tanah sebagai suplai kebutuhan hidup, dan memakai semua fungsi transendental ini untuk mengubah prinsip alam sebagai hamba manusia. Bila kita pergi ke pedalaman, kita menemukan alat-alat yang mereka pakai, baik yang terbuat dari batu, kayu, bambu yang sangat sederhana, tetapi tetap terdapat hikmat yang tinggi. Orang primitif memakai alat alat itu untuk memelihara hidup mereka, dan khasiatnya tidak berbeda dengan bom atom yang digunakan oleh manusia modern.

Menaklukkan alam adalah fungsi terbesar dari manusia. Namun manusia juga menyadari bahwa sifat manusia yang bisa menaklukkan alam ini akan dihancurkan oleh alam. Maksudnya, manusia menaklukkan alam, tetapi pada waktu tua dan mati, manusia dikebumikan di alam. Jadi sebenarnya manusia yang menaklukkan alam atau alam yang menaklukkan manusia? Saling menaklukkan dan akhirnya ditaklukkan. Manusia boleh saja memiliki tanah yang amat luas, tetapi akhirnya dia hanya memperoleh sebidang tanah yang luasnya 2×1 meter saja. Pada akhirnya, kebudayaan mendatangkan kehancuran bagi sifat manusia. Betapa ironis!

(Bersambung)

Sumber : sekilas-kin-06.pdf & sekilas-kin-07.pdf