PIR telah membagi sejarah menjadi sebelum dan sesudahnya. Bagaimana sebelumnya manusia hanya memandang alam dan sesudahnya manusia mengerti diri dan alam. Hal ini harus kita pikirkan baik-baik, karena mustahil firman Tuhan diturunkan, manusia bereaksi kepada firman Tuhan lalu tidak terjadi perubahan konsep dalam sejarah. Sejarah dibentuk oleh konsep-konsep yang kreatif, reaktif, dan responsif terhadap firman Tuhan. Dari situ manusia kemudian menentukan arah, prinsip, dan bagaimana meneruskan sejarah. Di dalam seluruh kebudayaan, salah satu tugas yang paling penting dan paling sulit adalah mengubah konsep manusia, karena konsep itu berakar di dalam hidup manusia dan memengaruhi seluruh perilakunya di masyarakat. Konsep menjadi dasar, memberi gairah, dan rasionalisasi di balik semua aktivitas. Maka, jika konsep salah, seluruh hidup akan salah; jika konsep benar maka seluruh hidup dan kelakuan akan bisa beres.

Konsep itu sangat mendasar, memengaruhi, dan penting bagi arah hidup manusia. Jika konsepnya adalah humanisme, maka mustahil menjamin keabsahan dan kebenaran yang tepat. Tetapi jika berasal dari Tuhan, konsep itu akan memberikan inspirasi, dorongan, dan perubahan untuk manusia kembali kepada firman Tuhan dan akan menjadi cahaya dan arah baru bagi manusia untuk hidup dalam kebenaran. Maka, dari mana konsep itu dibangun, bagaimana direspons, akan memengaruhi seluruh aktivitas dan perilaku kita selanjutnya.

Di antara semua konsep yang kita terima dari sejarah, tradisi, pengalaman, lingkungan, dan apa saja yang bisa kita selidiki, amati, analisis, dan terima, akhirnya tidak satu pun yang lebih penting dari konsep agama. Konsep agama menjadi konsep paling mendasar, menentukan, penting, dan memengaruhi kehidupan manusia. Jika konsep agama sudah salah, semua salah. Konsep agama yang benar hanya mungkin dicapai melalui ketaatan yang sungguh dan keinginan merespons Tuhan dengan mengikuti firman-Nya. Maka, Allah berkata, “Iman datang dari pendengaran akan firman Kristus.”

Tuhan menurunkan firman tertulis yaitu Alkitab dan inkarnasi Kristus, menjadi dasar bagaimana kita bereaksi. Ketika kita membaca Alkitab, kita harus bereaksi tunduk dan taat. Ketika menerima Kristus, kita selalu harus memiliki ketaatan dan kerelaan kepada-Nya. Dengan respons yang bertanggung jawab barulah iman seseorang boleh menjadi dasar bagi semua pemikiran dan ide agama. PIR merupakan reaksi manusia kepada firman Tuhan, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Keutuhan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menjadi kesempurnaan wahyu yang Tuhan berikan kepada manusia. Maka, respons kepada Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ini menentukan iman kita.

Terlalu banyak orang mempunyai iman yang salah karena sembarangan menafsirkan Alkitab. Sering kita menambahkan imajinasi kita ke dalam firman Tuhan. Iman harus setia kepada kebenaran, yaitu kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Allah yang benar memberikan kebenaran sejati dengan hati yang mengasihi kita, lalu menurunkan firman untuk memimpin kita. Allah sejati benar-benar memberikan dengan sukarela barulah ada firman yang benar di dunia.

Agama timbul karena manusia percaya Allah memberikan wahyu. Jika Allah memberikan wahyu, sungguhkah wahyu itu berasal dari Allah yang sejati? Bagaimana jika Allahnya beda, bukan Allah yang sejati? Itu sebabnya di antara agama terdapat perbedaan secara kualitas. Ada agama yang mengatakan bahwa Allah tidak ada dan tidak boleh ada Anak, tetapi orang Kristen mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Allah menyatakan kasih-Nya kepada manusia sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia.

“Aku percaya kepada Allah” yang dilanjutkan dengan “Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi”. Inilah respons manusia kepada Tuhan yang memberikan wahyu kepada manusia. Melalui Alkitab barulah kita mengenal siapa Allah. Jika Allah tidak mewahyukan diri, mustahil kita mengerti dan mengenal Dia melalui spekulasi imajinasi dan logika kita yang terbatas. Hanya dengan kita jujur, taat, dan setia kepada Allah yang setia memberikan firman kepada kita, barulah kita mungkin mendapatkan iman yang sejati. Iman sejati adalah kesetiaan total kepada kebenaran total yang diberikan dengan total kesetiaan Allah.

Butir pertama PIR langsung mempertanggungjawabkan pengertian manusia akan alam semesta. Berbagai kebudayaan mencoba memberikan jawaban, tetapi tidak ada yang secara tuntas. Kebudayaan Yunani sangat penting, khususnya dalam hal metodologi. Metode penelitian yang penting seperti induksi dan deduksi dikembangkan oleh pemikiran Gerika. Aristoteles berkata, “Pakailah cara deduksi dan induksi untuk menyelidiki alam semesta, maka pengertianmu akan menjadi lebih masuk akal.” Deduksi dan induksi merupakan cara penggunaan daya pikir secara logis dan menemukan segala yang dipikirkan rasio. Dengan adanya metode, manusia dalam memikirkan suatu objek bisa menjadi lebih akurat dan realistis. Metode seperti ini dimulai dari Yunani, ratusan tahun sebelum Yesus lahir.

Akibat dari cara penelitian model Yunani ini, mereka jatuh ke dalam closed system. Seperti dikatakan Paul Tillich, alam dalam pandangan Yunani adalah alam plastik yang tidak berubah. Yang bisa berubah adalah pengetahuan saya, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Barulah Thomas Kuhn mendobrak dengan paradigm shift dan memberikan penerobosan metode yang baru, bahwa dunia tiap saat berubah dan tidak statis. Dunia ini dinamis, tidak tetap dari dulu sampai sekarang. Pikiran perlu perubahan yang disebut sebagai paradigm shift (perubahan paradigma). Di abad ke-21 ini kita tahu bahwa langit dan bumi berubah. Kalimat ini pertama kali muncul di Alkitab: “Langit dan bumi akan berubah, dunia dan nafsunya akan binasa, tetapi satu titik firman Tuhan tidak akan berubah selama-lamanya.” Satu-satunya buku yang kontras dengan kebudayaan adalah Alkitab. Inilah filsafat dan metode pemikiran Allah sendiri, yang berbeda total secara kualitatif. Allah tidak pernah berubah, kontras dengan dunia yang berubah. Allah menciptakan dunia. Allah yang tidak berubah adalah Allah kita.

Thales dengan tepat meramalkan bahwa pada tanggal 28 Mei 585 SM matahari tidak bersinar. Orang menganggap dia gila. Mereka melawan, menertawakan, dan mengejeknya. Tetapi pada hari itu betul-betul matahari tidak tampak. Orang Miletus mengalami kegelapan di tengah siang hari dan segera sadar bahwa yang dikatakan itu bukan tipuan, bukan omong kosong, bukan teori bohong, tetapi sungguh terjadi. Ketika ditanya, Thales menjawab, “Aku mengamati alam semesta.” Semua gerakan yang terjadi pada bintang dan angkasa ia telusuri, selidiki, catat, dan hitung. Yunani berbeda dari India dan Tiongkok. Yunani tidak sembarangan menerima pemimpin agama. Sekarang kekristenan di Indonesia banyak yang hancur karena terlalu percaya kepada para pengkhotbah yang khotbah-khotbahnya tidak bertanggung jawab, kebenarannya tidak jelas, hanya enak didengar. Mereka ikut kebaktian, lalu membawa orang datang ke gereja seperti itu. Orang yang percaya takhayul seperti itu turut berdosa bersama para pengkhotbahnya yang dipakai Iblis. Maka di sini Thales mulai mengerti dan mempelajari astronomi (ilmu perbintangan).

Dunia maju karena orang memakai metodologi yang benar untuk menemukan kebenaran. Melalui cara yang benar, sekarang kita boleh melihat perpustakaan kita memiliki ratusan juta buku. Manusia bereaksi kepada alam semesta, mempunyai data, dan mendapatkan konklusi. Lalu mereka mengajarkannya kepada orang-orang yang belum tahu. Ini yang disebut sebagai pendidikan. Saat manusia menyelidiki alam semesta, manusia menjadi subjek dan alam menjadi objek.

Menurut Paul Tillich, orang Gerika melihat dunia ini bagaikan dunia plastik, yang tidak berubah, yang kita selidiki. Tetapi menurut Alkitab, dunia ini diciptakan oleh Allah Pencipta. Ketika saya menyelidiki dunia, saya tidak boleh menganggap diri sebagai subjek dan dunia ini objek. Jangan kita menganggap bisa mengetahui sesuatu yang tidak berubah, karena dunia ini berubah dan saya yang menyelidikinya juga berubah. Karena dunia ini berubah, maka janganlah menganggap bahwa dunia ini mutlak dan pengetahuan yang didapatkan manusia itu pasti. Konsep dunia harus berbeda dengan konsep Alkitab.

Ketika PIR hadir, barulah menjadi satu titik balik, adanya kesadaran bahwa bukan hanya di dalam alam semesta, tetapi di luar alam semesta ada Allah yang lebih tinggi dari alam semesta, yang memerintahkan orang Kristen untuk memandang alam semesta dan bereaksi secara berbeda dari orang non-Kristen. Sekalipun kebudayaan Yunani lebih tinggi daripada kebudayaan Timur mana pun, tetap bukanlah kebudayaan yang sepenuhnya benar.

Dunia dan kebudayaan Barat yang dipengaruhi pemikiran Yunani membangun universitas-universitas. Sejarah studi yang bermutu selalu dipengaruhi metodologi Yunani. Orang Yunani berkata, “Dalam semua bidang ada logi, dan semua logi mengandung unsur logika. Logika berinduk pada logos (Firman). Logos menjadi dasar segala studi.” Kebudayaan Yunani bisa menemukan itu karena Tuhan yang memberikannya kepada mereka. Ketika kebudayaan Yunani melampaui semua kebudayaan, mencapai keunggulan metodologi dan semua lainnya, Tuhan langsung memberikan anugerah, sehingga Alkitab tidak lagi memakai bahasa Ibrani; Alkitab Perjanjian Baru diwahyukan dalam dan melalui bahasa Yunani. Ini semua rencana Tuhan yang luar biasa.

Setelah PIR hadir, barulah orang sadar untuk “percaya kepada Allah”, bukan kepada alam. Konsep penting ini perlu kita mengerti, karena sebagian orang Kristen menganggap semua agama sama. Dari PIR kita mengetahui bahwa agama yang kita percaya bukanlah sekadar agama yang mudah. Di abad ke-20, ada dua filsuf yang terpenting, yaitu Thomas Kuhn dan Paul Ricoeur. Dari seratus filsuf, sekitar 92 di antaranya non-Kristen dan hanya 8 orang yang Kristen. Dari 8 orang itu, hanya Thomas Kuhn dan Paul Ricoeur (seorang Reformed) yang Protestan. Di sini saya melihat adanya pimpinan Tuhan untuk mengubah cara berpikir manusia menjadi lebih mengerti kebenaran. Kuhn dan Ricoeur menjadi filsuf Protestan yang penting di dalam membentuk filsafat abad ke-20.

Ucapan Tillich, “Dunia dalam pandangan Yunani merupakan dunia plastik, dunia yang tidak berubah,” telah diubahkan melalui pergeseran paradigma di abad ke-21. Saat ini, hampir tidak ada yang percaya dunia tidak berubah. Es di Kutub Utara terus mencair, permukaan air laut terus semakin tinggi, karena berat jenis es lebih ringan sekitar sepuluh persen dari berat jenis air. Maka ketika air membeku menjadi es, ia akan terapung di air. Ini adalah cara Tuhan, agar di musim dingin, es tidak tenggelam di dalam air. Jika es yang membeku tenggelam, maka semua ikan di laut akan mati. Tuhan mengasihi manusia sehingga ketika musim dingin tiba, air menjadi es dan es itu terapung, semua ikan di bawah terpelihara dengan baik.

Untuk menyelidiki alam diperlukan metode. Metode dan alam bisa berubah. Yang menyelidiki, yaitu manusia, juga berubah. Tetapi ada yang mutlak dan tidak berubah. Setelah adanya PIR, manusia harus membagi sejarah menjadi dua. Kini kita memasuki satu wilayah di mana kita harus mulai mengakui ada yang tidak berubah di balik semua yang berubah. Ada Sang Pencipta di atas semua ciptaan. Ada yang mutlak di atas yang relatif. Maka kini kita melihat segala sesuatu secara berbeda dari orang-orang non-Kristen. Orang-orang non-Kristen melihat dirinya sebagai subjek, alam semesta sebagai objek yang tidak berubah. Filsafat Yunani menyatakan, “Aku menggali rahasia untuk menjadi pengetahuan mendidik orang lain,” tetapi orang Kristen tidak.

Ketika PIR muncul dalam sejarah, orang Kristen mengerti dunia dicipta dan berubah. Hanya Allah Pencipta, Khalik langit dan bumi yang tidak berubah. Dalam kasus Thales, seolah-olah ia mengetahui alam semesta. Di PIR kita sama sekali tidak tahu, karena kita hanya diberi hak untuk berada di dalam, hidup untuk menikmati, dan otak untuk menyelidiki alam semesta. Dan dalam hal ini, kita menyadari bahwa baik kita maupun alam berubah. Kita harus memiliki iman dan memegang Allah yang tidak berubah, barulah kita memahami apa alam semesta itu. Dengan demikian, kita pun menyadari bahwa di alam semesta ini, kita bukanlah tuan rumah. Kita dicipta untuk menikmati anugerah Tuhan yang diberikan dalam alam untuk melayani manusia. Saya memperalat mobil untuk melayani saya; saya juga memakai listrik yang masuk ke rumah saya untuk menonton televisi, mendengar musik, dan menikmati AC.

Ada sesuatu yang dipakai sebagai materi dan ada metode yang dipakai untuk menyelidiki dan menemukan ilmu dan teknologi yang diperalat menjadi hamba untuk melayani saya. Saya bisa menikmati semua itu, tetapi itu bukan milik saya, sehingga tidak boleh saya miliki. Saya boleh menggunakan semua sumber yang Tuhan berikan untuk memperindah dan memudahkan hidup saya. Allah mencipta segalanya untuk dapat kita pakai dan nikmati. Tetapi kita harus mengakui bahwa dunia ciptaan ini adalah ciptaan Allah dan bukan milik kita. Di atas alam semesta, di atas langit dan bumi ini, kita percaya ada Pencipta (Khalik) yang menciptakan semua ini. Sejak PIR, manusia memiliki pengakuan yang baru. Kini saya tahu bahwa Engkaulah Pencipta dan Pemilik semua ciptaan yang Engkau ciptakan dan boleh saya pakai, yang saya ikrarkan dengan kalimat “Khalik langit dan bumi”. Saya datang, berdoa, mengagumi, menyembah, dan berterima kasih kepada Tuhan.

PIR sedemikian agung karena PIR mengubah manusia agar tidak sombong dan beranggapan bahwa ia boleh menikmati sesukanya lalu menganggap diri sebagai tuan rumah. Kita sama sekali tidak berjasa, kita hanya menikmati pemberian Allah, Sang Pencipta dan Pemilik alam semesta. Sebelum ini tidak ada sistem terbuka (open system) di mana manusia yang terbatas ini mengakui dan percaya kepada Dia yang tidak terbatas. Sebelum ini tidak ada yang mengetahui makna dan tujuan hidup manusia di dunia ini dan siapa Pemilik kita. PIR membawa kita kepada pengakuan percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu. Kiranya semua dikembalikan bagi kemuliaan-Nya. Amin.

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/pengakuan-iman-rasuli-bagian-3-butir-pertama-3#hal-1

 

Artikel Terkait :