Pak TongSebelumnya…

Bab 1 :

MANUSIA DAN HATI NURANI (3)

“Roh Manusia adalah pelita Tuhan, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.” (Amsal 20:27)

VI. HATI NURANI YANG BERSUARA

Kita perlu mengingat bahwa hati nurani ini, sekalipun tidak netral, tetapi masih dapat bersuara. Hati nurani memiliki aspek yang sedemikian besar. Maka pertama-tama kita perlu mengerti darimanakah datangnya hati nurani terserbut.

A. Hati Nurani dalam Pandangan Umum

Sir Herbert Spencer (1820-1903), ia dan rekannya, Sir Thomas Henry Huxley (1825-1895), merupakan tokoh evolusi yang mempopulerkan seluruh teori evolusi dari Charles Darwin ke dunia berbahasa Inggris di seluruh muka bumi. Mereka mengatakan, bahwa tidak mungkin dapat menjelaskan darimana datangnya hati nurani ini.

Kedua orang di atas adalah orang-orang yang paling mewakili dari golongan evolusionisme. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak dapat mengetahui dari mana datangnya hati nurani. Mereka lebih suka menyebut diri sebagai agnostisis (gnosti = berarti tahu, maka a gnosti = tidak tahu). Maka filsafat Agnostisisme berarti pemahaman bahwa manusia tidak mungkin mengetahui realitas dasar secara tuntas. Mereka mengatakan bahwa kita tidak mengetahui hal-hal tentang Allah, tentang jiwa, kerohanian dan kekekalan. Mereka mengatakan lebih baik kita dengan jujur mengatakan tidak tahu daripada mengatakan tahu padahal kita tidak mengetahui apa-apa. Pemahaman ini adalah pemahaman Agnostisisme. Sesepuhnya adalah Sir Herbert Spencer dan Sir Thomas Henry Huxley di atas.

Mereka mengakui bahwa proses evolusi, dan monosel menjadi binatang yang makin kompleks sampai menjadi manusia, adalah suatu proses yang sangat panjang, meliputi jutaan tahun lamanya. Tetapi dengan proses ini tidak mungkin mendadak muncul dua hal, yaitu: (1) rasio, dan (2) hati nurani. Jadi orang-orang evolusionis tidak dapat memberikan jawaban dari mana asal mula hati nurani. Jangan kita menduga bahwa evolusi telah mengambil banyak hal. Mereka justru tidak mengetahui hal yang paling penting. Mereka melepaskan salah satu pertanyaan yang paling penting di dalam sejarah ini, karena mereka tidak mengetahui jawabannya. Mereka tidak mengetahui mengapa manusia sejak kecil sudah memiliki hati nurani, tetapi binatang yang paling canggih tetap tidak memiliki hati nurani.

Ketikla seorang anak kecil berbuat salah, ia dapat merasakannya dan merasa malu atau takut, karena mengerti ia telah berbuat kesalahan. Tetapi tidak ada kucing yang langsung mengerti kalau ia berbuat salah. Pada suatu kali, anak saya, ketika masih sangat kecil memecahkan gelas. Ketika saya pulang ia begitu diam, padahal biasanya ia menyambut saya dengan girang. Ia berdiri dekat meja dan terus menunduk. Saya panggil dia untuk mendekat, tetapi ia enggan. Ketika saya panggil sekali lagi dan saya tanyakan apakah ia sudah berbuat salah, ia langsung menangis. Saya tahu hati nurani anak ini masih sangat segar. Kalau kita berbuat salah, bukan saja tidak mau mengaku, mungkin kita akan mencari pengacara untuk melawan musuh kita. Anak kecil dapat langsung sadar, ada perasaan malu dan segan. Inilah keindahan manusia. Kalau manusia tidak memiliki perasaan ini lagi, ia tidak beda seperti kucing. Kalau kucing memecahkan gelas, ia segera lari, karena dia menganggap ada orang yang mau mengancam dia. Itulah kucing.

Kalau suatu kebudayaan sudah kehilangan budaya malu, maka kebudayaan itu betul-betul memalukan. Yang tidak mengerti lebih memalukan lagi. Kalau di tengah masyarakjat kita masih ada rasa malu, rasa sungkan, itu berarti masyarakat mulia. Masyarakat yang sudah tidak ada rasa malu, berarti masyarakat itu betul-betul sudah penuh dengan hal yang memalukan. Ini suatu paradoks. Kalau seseorang berbuat salah, lalu mengaku dan marasa malu, itu berarti hati nuraninya masih baik.

Sigmund Freud (1856-1939). Freud, pendiri mazhab Psiko-Analisis, adalah psikolog dari lingkaran Vienna. Ia seorang yang ateis dan sangat melawan Kekristenan. Freud memiliki teori bahwa hati nurani muncul akibat pendidikan, dari a posteriori atau dari pengaruh lingkungan. Dari semua pengaruh itu barulah secara perlahan-lahan muncul hati nurani tersebut. Ketika ayah ibu mengajarkan bahwa orang memiliki hati nurani, atau pendeta mengajarkan bahwa manusia memiliki hati nurani, maka manusia jadi memiliki hati nurani. Pikiran Freud ini telah mempengaruhi seluruh kebudayaan abad XX.

Freud dengan teorinya, yang keseluruhan konsepnya dipengaruhi oleh Modernisme dari Rene Descartes (1596-1650), berusaha menganalisis segala sesuatu. Descartes yang berasal dari Paris, sekitar 300 tahun yang lalu, telah menimbulkan suatu Modernitas di tengah-tengah Modernisme. Di dalamnya manusia hanya mau menerima alam bawah dan menolak alam atas, percaya materi dan menolak rohani, percaya kekinian dan menolak kekekalan, menerima hal-hal yang kelihatan dan menolak hal-hal yang tidak kelihatan, dan menerima relativitas sambil menolak hal-hal yang mutlak. Maka dengan sendirinya mereka menganggap Alkitab itu omong kosong belaka. Mereka beranggapan bahwa karena manusia tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan yang sulit di tengah kehidupan, maka manusia membuat satu dewa untuk melarikan diri dari tuntutan menjawab berbagai gejala dan fenomena alam.

Karena Auguste Comte (1798-1867), yang mewarnai seluruh Modernitas, dan didukung oleh Rasionalisme dari Descartes dan Spinoza (1632-1677), juga oleh Leibniz (1646-1716), dll., maka seluruh kebudayaan Barat selama 300 tahun terakhir ini telah terjerumus kepada ketidak-percayaan akan hal-hal rohani, hal-hal kekekalan, hal-hal supranatural dan tidak percaya hal-hal ketuhanan. Mereka sudah sangat terpengaruh olweh filsafat Yunani Kuno, yaitu filsafat Materialisme, dimulai oleh Demokritos. Sistem pikiran ini sedemikian diterima oleh Karl Marx (1818-1883).

Seluruh filsafat Barat, pada akhirnya sampai pada satu kesimpulan: Kalau kita adalah orang modern, maka kita harus membuang iman, membuang hal-hal spiritual, hal-hal yang tidak kelihatan, dan marilah kita menyelidiki dan membicarakannya dengan teori-teori psikologi, bukan dengan teori spoiritual. Mereka beranggapan bahwa seseorang terus berdoa karena merasa kurang aman; seseorang terus percaya kepada Allah karena ia tidak memiliki kekuatan rasa aman untuk hidup tanpa Allah. Dengan teori-teorinya, Freud berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai interpretatos seluruh dunia, bahkan Allah pun diletakkan di bawah penafsirannya. Ia bukan hanya salah di dalam menafsir Alkitab, bahkan ia mau menentukan dari sudat mana ia menafsir Allah. Maka dengan sendirinya ia menolak hati nurani berasal dari Allah.

Ludwig Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883), Ludwig Wittgennstein (1889-1961), dan A.J.Ayer (1910-1989). Para ilmuwan dari Lingkaran Vienna dan Positivisme Logika, sampai pada Sigmund Freud mengikuti pola Modernitas ini. Sampai pada akhirnya muncul Post-Modernisme yang menghancurkan semua dalil yang dipastikan oleh kaum Moderrnisme ini. Kini kita masuk ke zaman Post-Modernisme dengan paradigma yang baru dan prasuposisi yang berbeda. Maka mereka tampil sama sekali berbeda, dan dengan tugas utama mendobrak dan mencabut seluruh akar Modernisme.

Freud mengatakan bahwa tidak ada hati nurani. Yang disebut sebagai hati nurani sebenarnya adalah suatu akibat dari tradisi, pendidikan atau lingkungan yang disodorkan kepada seseorang, oleh suatu masyarakat yang percaya secara a priori adanya hati nurani. Pandangan ini tidak tepat, karena jika seorang manusia dari sejak lahir diasingkan di hutan, maka apabila ia tidak mati, ia tidak mendapatkan pengaruh manusia sedikitpun. Setelah sepuluh tahun, ketika ia dibawa kembali ke peradaban manusia, maka dengan segera hati nuraninya akan berfungsi. Tetapi hal ini tidak mungkin terjadi pada kera. Sekalipun dididik sedemikian hebat dan terus-menerus diletakkan di tengah lingkungan manusia, kera tidak akan memiliki perasaan hati nurani. Oleh karena itu, jelas bahwa hati nurani bukan merupakan hasil dan proses pendidikan atau pengaruh lingkungan.

Immanuel Kant (1724-1804). Ia seorang filsuf Jerman yang sangat luar biasa dari Königberg. Seumur hidup ia tidak pernah belajar ke luar negeri. Seumur hidup ia juga tidak pernah pesiar keluar dari kotanya sendiri. Paling jauh ia pergi sejauh 30 km dari rumahnya. Tetapi ia mempelajari rasio murni, rasio praktisi, dan rasio penghakiman, yang menghasilkan buku-buku seperti The Critique of Pure Reason (1781), The Critique of Practical Reason (1788), dan The Critique of Judgment (1790). Buku-bukunya mempengaruhi seluruh dunia sampai hari ini. Ketika ia mati, di batu nisannya dituliskan, “Hanya ada dua hal yang semakin menakutkan di sepanjang hidupku, yaitu: (a) langit yang berbintang terus berkelap-kelip, dan (b) hati nurani yang terus bersuara di dadaku, yang terus mengeluarkan perintah kepadaku.”

Yang ia maksudkan adalah bahwa percuma seseorang berusaha membuktikan adanya Allah, semua itu tidak cukup. Tetapi paling sedikit kita mengetahui bahwa di dalam diri, ada satu suara yang terus berbisik menjaga kita agar jangan berbuat jahat. Bagi Kant, dengan bahasa filsafat, ia menyebut suara itu sebagai categorical imperative. Itu berarti: perintah yang paling agung, yang ditanam di dalam setiap hati manusia yang memberitahu kita bagaimana kita harus hidup. Maka mau tidak mau kita akan terus mendengar sesuatu yang berbicara dari dalam hati kita. Maka Kant mengatakan bahwa di luar ada bintang yang terus berkelip dan di dalam ada hati nurani yang bersuara; kedua hal itu yang membuktikan bahwa Allah ada, dan ia gentar karenanya.

Saya tidak bermaksud untuk menunjukkan pembuktian Allah melalui filsafat, karena kita membuktikan Allah tidak berdasarkan filsafat, tetapi berdasarkan wahyu. Itu sebabnya, saya hanya ingin menunjukkan bagaimana orang-orang yang melihat dan menyoroti hati nurani. Mereka hanya dapat meraba-raba. Allah telah memberikan hati nurani. Manusia tidak dapat menyangkal atau menolaknya.

B. Hati Nurani dalam Pandangan Alkitab

Setelah kita melihat pikiran beberapa orang, kini kita perlu kembali kepada Alkitab. Alkitab menegaskan bahwa ada hati nurani. Allah sendiri yang telah menciptakan hati nurani.

Hati Nurani adalah “wakil dari wakil”.

Manusia dicipta oleh Allah untuk menjadi wakil Tuhan Allah untuk menguasai seluruh alam semesta. Manusia dicipta untuk mewakili Tuhan menghadapi alam semesta ini. Kini manusia menguasai alam.

Manusia diperintahkan oleh Allah untuk menguasai, mengelola, membudi-dayakan, memperbaiki dan memelihara alam yang sedemikian indah, yang diciptakan bagi manusia. Meskipun alam diciptakan bagi manusia, alam tetap tidak dicipta untuk dirusak oleh manusia. Konsep ini sangat penting. Kita dicipta untuk menguasai alam fisika ini, tetapi tidak dicipta untuk menghancurkan alam yang indah ini. Manusia dicipta untuk mengawasi, memelihara, memperkembangkan dan membudi-dayakan alam. Dari sinilah kemudian dikembangkan mandat budaya orang Kristen. Dari sini kemudian menjadi kebudayaan. Manusia menjadi makhluk yang berbudaya karena memang manusia dicipta sebagai makhluk yang boleh membudi-dayakan alam semesta.

Tetapi pada akhirnya, ketika manusia mau mencari untung sebanyak-banyaknya, laut mulai dicemarkan. Manusia mulai merusak telaga, mencemari sungai, tidak peduli semua ikan mati, yang penting kaya. Hal ini menunjukkan bahwwa manusia sudah rusak. Sebelum merusak dunia yang diperintahkan untuk dikelola, maka manusia telah terlebih dahulu merusak dirinya sendiri. Ini prinsip. Orang yang sudah tidak beres, pasti berani mengerjakan segala sesuatu. Asal dia mendapatkan keuntungan. Ia tidak peduli apakah ia akan merusak, menganiaya atau mempersulit orang lain. Ia berani melakukan apa saja, Manusia seperti ini adalah manusia-manusia yang telah kehilangan suatu keseimbangan di dalam jiwanya. Apakah keseimbangan itu? Saya menyebut keseimbangan ini sebagai “wakil dari wakil”. Manusia adalah wakil Allah untuk alam semesta, lalu hati nurani merupakan wakil Allah untuk menguasai manusia yang menjadi wakil. Inilah kunci tentang hati nurani.

Manusia menjadi penguasa alam, manusia menjadi wakil Allah terhadap alam. Memang manusia boleh mempergunakannya. Silahkan mengelola alam semesta ini untuk menjadikan manusia lebih berfaedah, masyarakat lebih majiu dan secara keseluruhan manusia menjadi lebih baik. Manusia sanggup menemukan berbagai instrumen, mesin, menggali minyak dan dapat memberikan kemudahan bagi manusia. Silahkan menebang pohon, lalu membuat suatu auditorium yang akustiknya sangat baik. Tetapi jangan lupa, kalau menebang pohon semua pohon sampai habis, tanpa menanam yang baru, di kemudian hari, timbul banjir dan dampak lingkungan yang buruk. Manusia merasa senang karena dapat menjadi wakil Tuhan dan dapat menguasai alam. Lalu manusia mulai berpikir, “Nah, kalau begini saya dapat berbuat semau saya.” Tuhan tidak memperkenankan hal itu. Manusia memang menguasai alam, tetapi manusia dikuasai Tuhan. Maka kini Tuhan meletakkan sesuatu di dalam diri manusia yang tidak kelihatan. Itu adalah hati nurani.

Manusia dicipta, ketika selesai dicipta menurut peta dan teladan Allah, maka Allah menghembuskan nafas hidup kepadanya. Hembusan itu merupakan meterai bahwa selalu ada yang mengontrol kita. Kemana pun kita pergi, hati nurani terus mengikuti kita. Sekalipun kita tidak mau, dia selalu ikut, karena ia diutus oleh Tuhan untuk terus mengikuti dan mendampingi kita sampai mati. Ia akan berfungsi secara luar biasa di dalam diri kita.

Seorang ayah meminta seorang guru, untuk menjaga anaknya yang sedang belajar, agar tidak tidur. Maka guru itu menemani anaknya belajar. Ketika mulai mengantuk, guru itu kembali membangunkan anak itu, sehingga anak itu dapat kembali belajar untuk ujian esok harinya. Setiap kali mengantuk, guru itu membangunkan. Sampai akhirnya guru ini sendiri mengantuk dan tertidur. Maka ketika ayah itu kembali, ia melihat keduanya sudah tertidur pulas, dan keadaan sudah terlambat, karena waktu ujian telah tiba. Seringkali, keadaan menjadi terlambat. Itu disebabkan karena gagal berfungsi wakil yang seharusnya. Maka, ketika manusia harus menjadi wakil Allah di dunia ini, Allah menaruh wakil-Nya bagi wakil itu di dalam hatinya.

Di sebuah seminar, saya mendapatkan satu pertanyaan: “Ada seorang pendeta yang terus-menerus berzinah dengan perempuan lain, tidak setia dengan isterinya. Akhirnya, kami memberanikan diri untuk datang kepadanya dan menganjurkan agar dia berhenti dari perbuatannya itu. Tetapi dia tidak mau mendengar bahkan memakai ayat Alkitab untuk membela diri. Ia berkata bahwa kecuali dosa menghujat Roh Kudus tidak ada dosa yang tidak dapat diampuni.” Saya marah luar biasa, dan saya anjurkan agar majelis menarik dia turun dari mimbar dan tidak memperkenankan dia untuk berkhotbah lagi karena orang itu sudah mempermalukan nama Tuhan. Ketika saya membaca pertanyaan itu, saya segera sadar bahwa itu bukan pendeta, tetapi pendusta. Ketika ia membaca Kitab Suci, ia bukan mau belajar hidup suci, tetapi mencari alasan untuk dapat berbuat dosa terus. Kalau pendeta boleh berzinah, maka semua orang Kristen boleh berzinah dan tidak perlu bertobat, karena semua dosa dapat diampuni. Pendeta apakah seperti itu? Tetapi banyak pendeta yang berani berbuat demikian di abad XX ini.

Orang Kristen harus hidup suci, harus kembali kepada kebenaran, harus taat kepada Tuhan. Kalau iman kita tidak benar, kita akan dipakai oleh Setan. Kalau moral kita rusak, kita akan menjadi batu sandungan bagi banyak orang. Jika hidup kita tidak beres, kita akan menjadi saksi bagi Setan. Tuhan memberikan hati nurani bagi kita, dan hati nurani itu begitu penting, karena sedikit saja meleset, segera akan dipakai Setan.

Tuhan meminta kita menyerahkan hati kita kepada Tuhan. Hati kita adalah pelita Allah yang akan menyinarkan cahaya untuk menyelidiki seluruh lubuk hati kita, seluruh pikiran kita, dan tindakan kita.

Amin.
SUMBER :
Nama Buku : Roh Kudus, Suara Hati Nurani, dan Setan
Sub Judul : Bab 1 : Manusia dan Hati Nurani (3)
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2011
Halaman : 31 – 40