Setelah tamat dari universitas tidak beberapa lama, aku ditugaskan di sebuah kota kecil kawasan hutan terpencil sebagai guru, gajinya sangat kecil. Sebenarnya aku mempunyai kelebihan yang tidak sedikit, keterampilan dasar mengajar cukup baik, dan mempunyai keahlian khusus menulis karangan. Kemudian, di satu sisi aku mengeluh pada takdir yang tidak adil, dan pada sisi lainnya merasa iri dengan orang-orang yang memiliki pekerjaan terhormat, menerima gaji yang tinggi. Jika demikian, bukan hanya sudah tidak bergairah terhadap pekerjaan, bahkan untuk menulis karangan juga sudah tidak berminat lagi. Seharian penuh, aku terus memperindah karangan, membayangkan bisa mempunyai kesempatan untuk memilih sebuah lingkungan kerja yang baik, dan juga menerima imbalan yang besar.
Begitulah waktu dua tahun telah berlalu dengan cepat, pekerjaan yang kulakukan sendiri tidak keruan, dalam karang-mengarang juga tidak ada hasil apa-apa. Sementara itu, aku telah mencoba memadukan beberapa bagian yang kusukai sendiri, namun pada akhirnya tidak ada satu pun yang menerimaku.
Lalu, muncullah tanpa sengaja sebuah masalah kecil yang sepele, tapi mampu mengubah nasib yang selama ini memang ingin kuubah.
Pada hari itu, sekolah menyelenggarakan pekan olahraga, di kota kecil yang sangat kekurangan aktivitas kebudayaan ini, sudah pasti merupakan suatu hal yang besar, oleh karenanya, orang yang datang untuk melihat sangat banyak. Sekeliling lapangan olahraga yang tidak begitu luas dengan cepat telah membentuk lingkaran tembok manusia hingga angin tak bisa berembus. Aku datang terlambat, berdiri di balik tembok manusia, menjungkitkan kaki juga tidak bisa melihat suasana yang ramai di dalamnya. Pada saat demikian, seorang bocah lelaki pendek yang berada di samping telah menarik perhatianku. Hanya melihat dia sekali demi sekali memindahkan batu bata dari tempat yang tidak jauh, di balik tembok manusia yang tebal itu, dengan sabar membangun sebuah pijakan, setingkat demi setingkat, tak kurang dari setengah meter tingginya. Aku tidak tahu sudah berapa banyak waktu yang digunakannya untuk membangun “panggung” ini, dan juga tidak tahu sudah berapa banyak pertandingan seru yang terlewatkan, namun saat dia naik ke atas pijakan yang dibangunnya, ia mengarah kepadaku sambil tersenyum berseri-seri. Kegirangan dan rasa bangga atas keberhasilan itu, tampak demikian jelas di wajahnya.
Sekilas, hatiku terguncang sejenak, masalah yang demikian sederhananya: “jika ingin melintasi tembok manusia yang padat untuk dapat melihat pertandingan yang seru, cukup ganjalkan saja batu bata yang agak banyak di bawah kaki.”
Sejak saat itu, dengan penuh semangat aku mulai bekerja dengan sungguh-sungguh, selangkah demi selangkah. Dan dalam waktu yang singkat, aku telah menjadi juru didik terkenal. Berbagai jenis susunan bahan pelajaran terbit terus-menerus, dan berbagai macam kehormatan yang membuat orang iri berturut-turut jatuh ke tanganku. Di waktu luang, aku tidak berhenti menulis karangan, berbagai macam karya
sastra kerap kali dimuat di surat kabar, menjadi orang yang secara khusus menyumbangkan karangan ke banyak penerbitan. Kini, aku telah bertugas di sekolah menengah kejuruan dan dimutasi ke tempat yang kusukai sendiri.
Sebenarnya, seseorang yang memiliki cita-cita asal saja tidak takut susah, secara diam-diam “mengganjal batu bata yang agak banyak di bawah kaki sendiri”, maka pasti bisa melihat pemandangan yang ingin dilihat sendiri, memetik buah hasil kesuksesan itu yang digantungkan ke tempat yang tinggi.
…
Sumber : https://www.inspirasidaily.com/belajar-dari-tumpukan-batu/