Pak TongPRAKATA

Di ambang pintu memasuki abad XXI, istilah globalisasi, demokratisasi dan hak asasi manusia sudah tidak asing lagi bagi telinga orang zaman ini. Namun, kita juga melihat bahwa memuncaknya teknologi modern dan keunggulan ilmu pengetahuan mutahir telah menimbulkan berbagai masalah yang tidak pernah diduga sebelumnya dan fatal karena tidak dapat ditanggulangi oleh kebijaksanaan manusia sendiri.

Fusi, kerusakan lingkungan, penyakit AIDS dan kerusakan moral merupakan masalah yang berpotensi meruntuhkan segala keunggulan yang pernah dicapai berabad-abad lamanya hingga saat ini. Mangapa hal ini harus terjadi? Bukankah itu seolah-olah hanya merupakan proses pasang surutnya kebudayaan di sepanjang sejarah? Apa yang menjadi dalil penentunya? Bukankah kebudayaan kita telah mencapai puncak di dalam sejarah itu?

Namun fakta berbicara lain. Sejarah memberitahu kepada kita: setiap puncak kebudayaan selalu menjadi titik krisis kebinasaan atau kemerosotan kebudayaan itu sendiri. Di manakah kebudayaan Maya, Aztek, Machu Piccu, Mesopotamia, Babilonia, dll? Di manakah kemegahan Mesir Kuno? Di manakah kemuliaan militerisme yang tak tertandingi dari kekaisaran Romawi? Bukankah itu semua telah lewat dan tidak kembali lagi? Siapakah yang dapat memberi jawaban terhadap fenomena-fenomena kejatuhan kebudayaan yang kongkrit dan misterius ini?

Alkitab mengatakan: Dosa-lah yang menjadi faktor perusak yang sesungguhnya. Setelah kejatuhan Adam ke dalam dosa, sifat dasar dosa telah berakar dan mencengkeram di dalam segala upaya kebudayaan manusia. Anak-anak manusia telah dipengaruhi oleh sifat-sifat egois dan kecongkakan untuk hidup berpusat pada diri sendiri, dan tidak mau bersandar kepada kebijaksanaan dan kebenaran Sang Pencipta. Maka akibatnya, dosa ikut mencemari semua keberhasilan kebudayaan yang diraih manusia!

Jika mengabaikan faktor ini, kita bagaikan orang yang bermimpi di siang hari bolong,. Kita sangat mudah hidup dalam penipuan terhadap diri sendiri. Kita jatuh ke dalam optimisme palsu, yang bukan saja tidak sanggup menyelesaikan problema umat manusia, tetapi juga tidak mungkin memberikan jalan keluar yang sehat atas kelumpuhan-kelumpuhan yang sedang berada di dalam semua kebudayaan.

Kiranya Tuhan memberikan visi yang kelas kepada kita, sehingga kita tidak heran jika melihat Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) yang menjanjikan pencerahan baru, pada akhirnya memimpin manusia masuk ke dalam kekosongan dan kekacauan yang lebih parah lagi. Demokrasi modern yang mempergunakan kebebasan tanpa dikendalikan oleh kebenaran akan membawa manusia menuju Barbarianisme modern. Kita perlu pertobatan secara pribadi! Demikian pula kebudayaan-kebudayaan juga memerlukannya!

Soli Deo Gloria.
Jakarta, Oktober 1997
Pdt. DR. Stephen Tong.

PENDAHULUAN

Alkitab tidak hanya berbicara mengenai masuk sorga dan kepercayaan saja. Alkitab juga mengajar kita memakai prinsip firman Allah yang orisinal untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul, baik di bidang politik, masyarakat, seni, dan lain-lain. Kita perlu memahami bukan hanya theologi sistematika tradisionil yang membahas tentang keselamatan, Kerajaan Allah, dan rencana Allah yang kekal, tetapi juga topik-topik yang berkenaan dengan konsep politik, nilai, kebudayaan, maupun sejarah.

Kita yang hidup di dunia ini tidak dapat menghindari pembahasan semacam ini, karena konsep dasar secara langsung atau tidak langsung memengaruhi reaksi hidup kita. Bila kita merenungkan secara mendalam dan mempunyai pemahaman konsep yang tepat, maka kita akan menjadi orang Kristen yang mampu memuliakan Allah dan membawa berkat bagi sesama.

“Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kejadian 1 : 28 dan 2 : 15)

Istilah cultivate (LAI : mengusahakan) yang terdapat dalam ayat ini berkaitan dengan istilah culture (kebudayaan). Berarti manusia diciptakan sebagai makhluk yang mempunyai sifat budaya.

——————————-

BAB I : SIRKULASI SEJARAH

Jika kita memandang sejarah sebagai sebuah sistem sirkulasi, kita akan menemukan bahwa di dalam sistem dan sirkulasi ini terdapat definisi-definisi yang seolah-olah tidak tampak namun sebenarnya ada. Bagaimana sirkulasi ini terjadi? Pada saat seorang yang bijaksana mendisiplin tindakan yang kurang bijaksana, maka keprimitifan pun akan dikikis secara perlahan-lahan, karena wisdom is conquering the barbarianism.

Pendidikan tampil ke permukaan dan membentuk masyarakat yang berbudaya, dan kebijaksanaan mulai melayani penguasa yang dominan. Seorang politikus yang mengerti hal ini kemudian akan bertekad untuk merebut dan menguasai orang-orang yang bijaksana untuk melayani ambisi mereka. Ambisi politik terdapat dalam diri para pemimpin yang bengis, yang menganut pemikiran diktator. Padahal kuasa diktator secara mutlak akan menjadi penghancur kuasa politik. Pada saat kuasa tertinggi hancur, maka irama sejarah kembali kepada barbarisme yang mendominasi kuasa politik yang tertinggi. Sirkulasi ini berlangsung sampai abad XX dan berkembang menjadi suatu pengharapan bahwa demokrasi dapat menyelesaikan masalah ini.

Demokrasi perlu dibangun di atas dasar neutral information (informasi netral, tidak terdistorsi) dan pendidikan kebudayaan secara menyeluruh. Dengan demikianlah demokrasi dapat berkembang. Namun hal ini adalah idealisme yang tidak mungkin. Bagi saya, kemenangan demokrasi mungkin sekali merupakan wujud pemikiran barbarisme dari orang-orang zaman modern. Jangan kita heran apabila suatu hari kelak kita menemukan negara Amerika – yang mempunyai hikmat dan pengetahuan tinggi – akan jatuh ke dalam tangan orang-orang yang menyebut diri demokrat, tetapi memberikan toleransi terhadap perdagangan narkotik, homoseksualitas, aborsi, dan lain sebagainya. Hal tersebut terjadi karena pada saat pemilihan presiden, calon presiden takut kalau-kalau rakyat tidak mau mendukungnya, sehingga dengan terpaksa dia berkompromi demi memperoleh kemenangan saat pemilihan. Sebenarnya, dia telah menggantikan demokrasi dengan kuasa.

Di tengah-tengah sistem sirkulasi ini, sejarah menunjukkan bahwa di dalam sistem sirkulasi ini, kebudayaan yang dibangun manusia dengan susah payah telah menempatkan dirinya dalam suatu krisis, suatu masalah yang mendalam dan serius.

Siapakah manusia? Berapa pentingnya nilai sifat manusia? Berapa besar potensi dan krisis sifat manusia? Sesungguhnya manusia berpotensi untuk memahami masalah krisis ini hanya melalui terang firman Tuhan, yang bahkan dapat menembus dan memahami sampai sedalam-dalamnya. Maka hanya Kekristenanlah yang dapat menjelaskan krisis ini. Jika kekristenan hanya meraba masalah superfisial yang sehari-hari dihadapi manusia dan tidak menemukan prinsip dasar yang Allah wahyukan, maka sumbangsih kekristenan terhadap dunia hanyalah untuk menghadapi kesementaraan, serta tidak mampu bertahan lama.

Adakah unsur kejatuhan manusia dalam dosa juga tercakup dalam kebudayaan? Apakah kebudayaan dihasilkan setelah kejatuhan? Atau kebudayaan sendiri mempunyai kemungkinan untuk mencegah datangnya kejatuhan? Semua ini merupakan hal yang istimewa.

Ketika pemerintah menganjurkan rakyat untuk ber-KB (Keluarga Berencana), rakyat mengira KB dapat menyelesaikan masalah ekonomi dan masyarakat. Maka mereka memakai berbagai alasan untuk menunjang ketetapan itu. Namun 10-20 tahun kemudian, saat mereka mendapati bahwa mayoritas rakyatnya adalah ‘manula’, mereka kembali memberi semangat kepada rakyat untuk melahirkan banyak anak, sementara rakyat sudah terlanjur tidak suka mempunyai banyak anak. Saat mereka menemukan arah sejarah sudah susah dikembalikan, mereka baru menyesal akan keputusan yang pernah mereka tetapkan.

Lalu, apakah setiap kali strategi dan aksi masyarakat yang kita pilih akan selalu menelurkan kesalahan-kesalahan yang baru disadari pada kemudian hari? Ini hanya salah satu contoh untuk memikirkan apakah kejatuhan sendiri memang sudah tercakup di dalam kebudayaan.

Dari buku-buku dan hasil pemikiran rasio manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, kita tidak berhasil menemukan penyebab kejatuhan. Hanya di dalam firman Tuhan kita bisa menemukan penyebab utama dari semuanya ini

Ketika kuasa politik berubah, ketika sistem dan cara pendidikan telah tersingkirkan, ada hal-hal yang lebih mendalam dan yang sama sekali tidak berubah, yaitu: (1) Kebudayaan/kultur; dan (2) Agama.

Hal yang bersifat budaya dan agama selalu melampaui hal yang bersifat politik, masyarakat, ekonomi, dan pendidikan. Komunis yang ingin mendongkel ajaran Confusionisme justru binasa, dan atheisme yang ingin memusnahkan agama juga mengalami kehancuran. Komunisme dan atheisme mengunggulkan konsep kosmologi mereka sebagai kebenaran yang mutlak. Mereka menggunakan konsep kosmologi untuk menyerang sistem pemikiran lama dan memperalat kuasa politik untuk memperoleh posisi yang menguntungkan. Tetapi taktik politik bukanlah hal yang kekal. Tatkala komunisme dan atheisme sudah lenyap, kebudayaan dan agama tetap ada. Yang membinasakan telah binasa, tetapi yang dibinasakan tetap berada.

Amin.

SUMBER :
Nama buku : Dosa dan Kebudayaan
Sub Judul : Prakata & Pendahuluan
Bab I : Sirkulasi Sejarah
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Institut Reformed STEMI, 1997
Halaman : 1 – 7