Dr. Stephen TongBAB IV :
AGAMA DAN IMAN KRISTEN (1)
Surat Roma 2 :
  • 12. Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum Taurat.
  • 13. Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.
  • 14. Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.
  • 15. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.
  • 16. Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.

————————————

A. ALLAH : SUMBER SIFAT AGAMA

Ayat-ayat Alkitab yang setiap kali kita baca mengandung unsur-unsur yang penting untuk pembentukan manusia. Manusia dibentuk bukan hanya dari Karbon (C), Oksigen (O), Sulfur (S), Fosfor (P) dan unsur-unsur kimia lainnya. Dan manusia juga bukan hanya dibentuk dari RNA, DNA dan elemen-elemen yang lain yang ada di dalam organ-organ tubuhnya. Tapi manusia telah diciptakan Allah dengan dibubuhi unsur-unsur yang paling penting yaitu unsur-unsur yang bersifat agama di dalam diri kita masing-masing. Misalnya, di dalam Kisah Para Rasul 17:27 kita telah membaca: “Supaya mereka mencari Dia (Allah)….” Itu menunjuk suatu unsur, yaitu unsur bahwa manusia membutuhkan Allah dan manusia berusaha mau mencari Allah. Suatu unsur lainnya yang Allah berikan kepada manusia di dalam dirinya ialah kekekalan. Di sini, di dalam Roma 2 ini, kita melihat ada unsur hukum Taurat yang tertulis. Apakah maksudnya? Kalau pun manusia belum pernah membaca Kitab Suci, manusia tetap harus diadili; yang belum pernah mendengar Injil pun harus diadili. Sekalipun mereka belum pernah diberi hukum Taurat, mereka tetap harus diadili. Mengapa? Karena di dalam hati mereka sudah ada unsur hukum Taurat itu. Kita pun telah mengetahui manusia diberikan unsur kewajiban moral. Itulah sebabnya manusia demikian hormat, mulia dan agung. Manusia mempunyai keagungan martabat yang tinggi sekali. Manusia agung, mulia dan hormat, karena manusia memang diberikan unsur-unsur itu. Unsur-unsur itu membentuk manusia dan dengan ini manusia disebut manusia.

Kita telah membicarakan tentang agama-agama. Agama-agama muncul bukan karena ketakutan dan ketidak-mengertian manusia terhadap alam semesta, sehingga manusia terpaksa menciptakan suatu pikiran tentang allah yang menjadi dalang di belakang layar kosmos; allah yang mencipta alam semesta, padahal itu cuma hasil ciptaan pikiran manusia. Agama timbul bukan karena hal demikian. Secara teori dari manusia yang menganggap sudah mengerti tentang timbulnya agama adalah teori-teori subyektif manusia yang berusaha menginterpretasikan seluruh alam semesta dengan daya pikir manusia sendiri yang sudah dicemarkan oleh dosa. Ini sesuatu yang tidak mungkin. Bagaimana kita melihat hal ini dengan jelas, kalau kita tidak bisa mengerti kejadian ini? Tetapi Alkitab memberikan Wahyu Allah, sehingga kita bisa melihat dengan jelas di tempat di mana menjadi kelemahan, dasar yang paling lemah, sehingga manusia tidak mungkin memberikan penjelasan interpretasi kosmos atau interpretasi tentang diri sendiri dengan tepat.

Tidak ada cara untuk mendapatkan interpretasi yang akurat tentang kosmos dan tentang diri sendiri kecuali kita kembali kepada Tuhan dan menaklukkan diri ke bawah Firman-Nya. Agama timbul bukan sebagai hasil ciptaan manusia atau baru timbul kalau manusia merasa memerlukannya. Tetapi, agama merupakan suatu produksi dari sifat agama yang sudah ditanamkan oleh Allah di dalam diri manusia. Waktu Allah membentuk dan menciptakan manusia, Alah telah memberikan unsur atau sifat agama. Sejauh manakah sifat agama itu? Apakah sampai di tingkatan tertentu sudah cukup? Kalau sudah cukup, apakah sebabnya agama yang satu dengan agama yang lain bisa bertarung demikian hebat? Dan orang yang bersifat agama makin kuat, mungkin menjadi musuh kebenaran yang makin keras? Yang menyalibkan Kristus, bukan orang yang tidak beragama, melainkan pemimpin-pemimpin agama. Pemimpin-pemimpin agama itu mendengar kebenaran Yesus Kristus, tetapi karena bertentangan dengan konsep mereka dan karena mereka begitu mencintai agama mereka sendiri, maka mereka menyalibkan dan membunuh Yesus Kristus. Maka dengan hanya beragama, atau mengetahui soal agama-agama saja, tidak cukup. Sifat-sifat agama yang diberikan Tuhan di dalam diri manusia menuntut hal-hal yang lebih tinggi sehingga hidup manusia sehari-hari tidak bisa hanya dipenuhi dengan hal-hal materi. Jangan kira hidup orang-orang kaya enak sekali karena merasa sudah cukup. Mereka tetap mempunyai kekosongan hati yang tidak mungkin diisi kalau mereka tidak kembali kepada Tuhan. Orang-orang yang hanya kaya secara materi tetapi tidak mempunyai hal-hal lainnya di dunia ini adalah orang-orang yang paling perlu dikasihani di dalam dunia. Karena kaya, seringkali mereka mendengar perkataan atau laporan palsu dari bawahan-bawahannya.

Seseorang tidak akan puas kecuali mendapatkan sesuatu yang sungguh-sungguh dan berkaitan dengan yang benar itu. Oleh sebab itu jangan kira kita sudah cukup jika kita beragama. Orang yang sudah mempunyai agama tetapi tidak memikirkan dengan serius agama yang dianutnya itu dan apakah dirinya sudah berkait dengan sumber kebenaran, sebenarnya orang itu belum mencapai sasaran, masih ada langkah-langkah panjang yang harus ditempuhnya. Untuk menyimpulkan semua hal ini, saya memakai istilah religiousity, yaitu sifat agama itu sendiri. Sifat agama itulah yang menjadikan manusia makhluk beragama, makhluk yang mempunyai kemungkinan dan yang mempunyai potensi untuk beragama.

Dari manakah asal agama? Dari Tuhan atau manusia? Jkalau semua agama berasal dari Tuhan, mengapa terjadi konflik di antara agama-agama? Kalau agama-agama itu dari manusia, mengapa manusia bisa mempunyai agama? Tuhan telah memberikan bekal, kemungkinan dan sifat agama kepada manusia. Lalu sifat itu dikembangkan dan dijadikan satu sistem agama. Proses itu memungkinkan timbulnya jarak dan seringkali jarak itu jauh sekali dari kebenaran Tuhan sendiri. Agama bukan hanya pikiran agama. Pikiran agama adalah bagian dari agama. Agama juga bukan sekedar perasaan reaksi psikologis; itu hanya bagian dari agama saja. Perasaan yang begitu dalam, jiwa yang responsif atau daya respon jiwa merupakan sebagian dari agama, tetapi agama lebih daripada itu. Agama juga bukan semacam prihatin. Prihatin adalah sesuatu hal yang berkaitan dengan agama sedalam-dalamnya. Orang yang beragama berusaha memprihatinkan diri dalam memikirkan relasinya dengan Allah, memperhatikan masalah-masalah dalam masyarakat dan umat manusia keseluruhan. Prihatin merupakan suatu hal yang sangat dalam; prihatin merupakan suatu hal di mana manusia sadar akan religere, yaitu hubungannya dengan yang lain, bahwa eksistensinya tidak menjadi suatu pulau yang terpencil, melainkan dia mau mempunyai hubungan dengan sesamanya. Agama mengandung perasaan dan fungsi prihatin, tetapi prihatin bukan agama itu sendiri.

Agama mengandung semacam konsep dan perasaan kewajiban moral, tetapi kewajiban moral tidak bisa disamakan dengan agama. Agama lebih daripada konsep dan perasaan kewajiban moral. Agama bukan hanya semacam ide yang sangat ideal di mana di dalam agama itu manusia mempunyai ide, angan-angan, atau cita-cita yang dijadikan system doa dan permohonan. Banyak orang yang di dalam doa permohonannya hanya mencetuskan ide-ide pribadinya, tetapi doanya belum berelasi dengan penerima doa permohonannya. Alangkah indahnya waktu murid-muird datang kepada Tuhan Yesus dan berkata, “Tuhan, ajarlah kami berdoa.” Apakah agama hanya suatu cara atau jalan di mana manusia mencetuskan ide-ide idealnya? Agama tentu mengandung doa, tetapi dengan berdoa dan mencetuskan segala ide belum berarti sudah beragama. Agama juga bukan semacam konsep dan struktur pikiran serta ekspresi tuntutan tentang yang sungguh-sungguh, yang benar atau yang sejati, yang baik dan yang indah (True, good and beauty). Ketiga hal ini memang merupakan unsur-unsur yang sangat penting di dalam kemasyarakatan. Tetapi ketiga hal yang begitu penting ini, tetap bukan agama.

Di dalam agama ada ekspresi mengenai kesejatian, kebajikan dan keindahan, tetapi sekalipun ketiganya itu digabung tetap bukan agama. Banyak gedung-gedung atau tempat-tempat ibadah yang agung luar biasa dibangun untuk dipersembahkan kepada Tuhan, misalnya Katredral Notre Dame di Paris, Westminster di London, Saint Stephen Dome di Viena, Saint John The Divine di New York, Borobudur di Jawa Tengah, Mesjid Istiqal di Jakarta, dll. Semua bangunan yang sangat agung itu dibangun untuk mencetuskan iman kepercayaan yang mau ditujukan kepada Tuhan. Semua itu merupakan ekspresi manusia yang ingin memberikan keagungan, kebesaran, keindahan, kesejatian di dalam agama. Tetapi agama lebih dari hal-hal itu. Agama bukan seperti impian anak-anak yang belum menjadi kenyataan atau semacam kompensasi dari mimpi-mimpi yang belum tergenapi di masa kanak-kanak, sebagaimana yang dikatakan oleh Sigmnud Freud.

Freud menganggap barangsiapa beragama, orang itu belum matang dan barangsiapa sudah dewasa hidupnya tidak memerlukan agama, hanya perlu seks. Semasa hidupnya, Freud dilawan oleh dua rekan kerjanya, seorang diantaranya adalah muridnya sendiri, Alfred Adler, dan seorang lainya adalah Karl Jung. Perlawanan juga datang dari keturunannya kira-kira lima puluh tahun kemudian. Sekarang banyak ahli psikologi menemukan kesalahan-kesalahan yang pada waktu itu dianggap benar. Biarlah semua ideologi dan sistem pikiran manusia keluar dan menyatakan diri. Akhirnya akan terlihat dan terbukti bahwa teori-teori manusia itu tetap mempunyai kelemahan luar biasa, sedangkan kebenaran yang dari Tuhan sekalipun ditentang, dilawan dan diserang sesengit mungkin, akan terbukti Firman Tuhan itu benar adanya. Kalau agama itu bukan ini dan itu, tidak begini dan begitu, agama lebih tinggi dari ini dan itu dan pada pihak yang lain diketahui agama itu bukan saja tidak ada apa-apanya, bahkan kadang-kadang menjadi musuh kebenaran, lalu bagaimana pemaparan jelasnya?

B. KARAKTERISTIK AGAMA

1. Konsep Mengenai Allah Yang Esa dan Penguasa

Dari manakah asal konsep mengenai penguasa alam semesta yang telah menjadi suatu fakta yang tidak bisa dicabut dari kebudayaan manusia itu? Tidak ada kebudayaan agung yang tidak menanamkan atau mengekspresikan konsep semacam itu. Saya menemukan di dalam seluruh kebudayaan Tionghoa ada satu kekurangan, apalagi setelah Konfusianisme menjalar ke mana-mana, yaitu konsep tentang penguasa alam semesta itu tidak jelas. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu kebudayaan yang paling lama dan paling besar di dalam dunia dan pengaruhnya besar sekali. Orang Jepang, Korea, Vietnam menganggap kebudayaan Tionghoa itu sebagai sumber kebudayaan mereka. Namun demikian kalau kita membaca syair-syair dari Li Bai, Du Fu, Pai Qi Yu, kita tidak dapat melihat konsep mengenai penguasa alam semesta yang begitu jelas. Meskipun di dalam filsafat dari Lao Tze dan Konfusius yang lebih kuno (lebih dulu) terdapat konsep itu, tetapi akhirnya sudah menjadi begitu merosot. Menjadi makin turun dan akhirnya hampir kehilangan konsep itu. Kebudayaan di negara-negara yang dikuasai atau dipengaruhi oleh Kekristenan mempunyai konsep penguasa ini begitu jelas, tetapi di tempat-tempat tertentu sudah merosot lagi menjadi pikiranb-pikiran yang dicampur-baur dengan politeisme. Di dalam pandangan Islam, konsep monoteisme ini jelas bukan main. Orang Islam tidak bisa menerima dan mati-matian melawan politeisme. Mereka menegaskan salah satu konsep yang paling jernih dan paling penting di dalam agama Islam, bahwa Allah itu hanya satu. Ini merupakan salah satu keagungan dari pikiran-pikiran Islam. Tetapi pikiran selanjutnya yang lebih penting ialah Allah Yang Esa. Allah yang bagaimana? Pikiran Kekristenan jelas mengenai hal ini: Allah yang satu itu adalah Allah Tritunggal. Tetapi orang Islam tidak bisa menerima hal ini. Di sinilah perbedaannya. Monoteisme, keyakinan bahwa Allah itu satu, esa, merupakan kepercayaan yang sungguh benar dan agung. Allah memanggil Abraham keluar dari suku bangsa dan tempat asalnya, karena saat itu di seluruh muka bumi Allah tidak melihat kemurnian kepercayaan monoteisme, seperti Abraham. Tetapi apakah monoteisme adalah kepercayaan yang ditemukan oileh Abraham? Tidak. Kepercayaan Abraham ini adalah suatu kebangunan iman, kepercayaan yang terjadi setelah manusia mengalami kemerosotan iman. Manusia yang pertama, Adam, mengetahui dengan jelas relasinya dengan Allah, yakni relasi di antara “aku dan Engkau”.

Kalau kita mau mengerti kalimat ini lebih dalam, harus membaca salah satu buku dari Profesor Martin Buber, seorang Yahudi yang mempengaruhi dunia pikiran yang tertinggi dalam abad ke-20 ini. Orang-orang yang dipengaruhinya adalah Karl Barth, Brunner, Heidegger, Bultmann, dan beberapa teolog lainnya. Relasi antara “aku dan Engkau” begitu jelas sejak permulaan manusia diciptakan. Tetapi lambat laun manusia tidak lagi menganggap Allah yang tidak kelihatan itu sebagai pegangan bangsa mereka. Mereka berusaha menghubungkan kepercayaan terhadap sesuatu yang besar itu dengan sesuatu yang bisa dipegang, supaya bisa mendampingi mereka. Di sinilah terjadinya berhala-berhala atau idola. Monoteisme sudah merosot menjadi politeisme dan kemudian politeisme mengalami kebangunan serta dimurnikan kembali kepada monoteisme melalui Abraham. Manusia diberi konsep bahwa Allah itu hanya satu dan Dia adalah Penguasa alam semesta. Konsep ini menjadi akar atau dasar, unsur yang paling fundamental (hakiki) di dalam semua kebudayaan yang besar.

2. Konsep Hidup dan Kekekalan

Kita telah memikirkan konsep tentang hidup dan kekekalan. Ini tidak terjadi waktu kita membedakan atau menilai di antara hidup manusia dan makhluk lain yang bukan manusia. Misalnya waktu kita melihat seekor ayam ditabrak mobil, sekalipun kita merasa kasihan waktu mengetahui ayam itu mati, tetapi kita tidak memikirkan kelanjutannya. Tetapi sewaktu kita melihat seseorang ditabrak dan meninggal, perasaan kasihan kita sangat mendalam dan mulai memikirkan ke manakah dia pergi sesudah mati. Konsep kekekalan ini tidak dikaitkan dengan binatang-binatang tetapi hanya dengan manusia. Manusia masih mempunyai sesuatu kesinambungan perasaan keberadaan dirinya, yang luar biasa dalamnya di dalam jiwanya sendiri. Kadang-kadang kita memikirkan: kalau saya mati ditabrak mobil lalu terbaring, apakah saya melihat banyak orang mengelilingi saya di situ? Kita bisa mempunyai pikiran semacam demikian, karena itu merupakan suatu cetusan atau ekspresi dari konsep kekekalan di dalam hidup kita yang berlainan dengan binatang. Pada waktu manusia melihat manusia lainnya mati, timbul pikiran yang serius dan dalam yang berkaitan dengan kekekalan, serta menyadari bahwa dirinya adalah seorang yang berkekekalan di dalam kurungan kesementaraan tubuh jasmaniahnya. Apalagi jika yang meninggal adalah orang yang dikasihinya. Pikiran sedalam itu tidak pernah nampak terlintas di dalam binatang. Bukankah binatang memakan bangkai binatang lainnya? Binatang-bintang tidak mempunyai sifat kekekalan seperti yang terdapat di dalam manusia. Bersyukurlah kepada Tuhan kalau orang yang kita kasihi diambil oleh Tuhan, supaya kita boleh memikirkan ke manakah kita akan pergi besok. Bolehkah kita hanya memikirkan soal makan dan minum sehari-hari? Setiap hari mereka hanya mengurus hal-hal yang kurang bernilai. Mengapa menunggu sampai kematian orang yang paling kita hormati dan dicintainya baru kita sadar apa artinya hidup?

Pada saat kita menyadari kebodohan yang telah kita lakukan, berarti kita menyadari bahwa seharusnya kita tidak bodoh. Jadi kebodohan itu bukan sesuatu yang kekal, melainkan insidental. Kita harus berani berkata: “Sekarang kembali!” Waktu kita merasakan perlu kembali berarti kita digugah lagi, disadarkan lagi, kembali diberikan suatu kepekaan bahwa kita adalah manusia. Hal ini tidak pernah terjadi dalam makhluk yang lain, selain manusia. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dicipta dengan cara demikian. Konsep kekekalan itu begitu jelas di dalam hidup kita. Tetapi konsep ini pernah mengalami kemerosotan atau kemunduran.

3. Konsep Mengenai Kewajiban Moral

Manusia juga diciptakan dengan suatu konsep kewajiban moral. Konsep kewajiban moral memberikan kesadaran bahwa kita harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kita lakukan dan nilai standar tindakan kita dalam kita melakukan sesuatu hal. Misalnya, saya menganggap saya boleh melakukan suatu hal karena semua orang juga melakukan hal itu. Dasar pemikiran ini merupakan salah satu dari semua, maka kalau semua melakukan hal itu, saya pun boleh mnelakukannya. Padahal kita tidak boleh lupa bahwa kita adalah satu individu, di mana di dalam satu diri saya masing-masing ada konsep semua dan kalau semua kurang saya berarti tidak lagi sempurna sebagai semua. Saya mempunyai satu konsep individu yang berada di dalam “semua” itu juga merupakan sebagaian konsep dalan hidup saya. “Bolehkah saya melakukan hal ini?” Kalau saya tidak melakukannya saya akan tersiksa dan dirugikan. Jika demikian apakah karena takut tersiksa dan tak mau rugi, maka saya menjual pendirian diri saya sendiri? Kalau setiap kali saya mempertanyakan mengapa dan apa sebabnya saya melakukan ini dan itu, saya akan mernyadari bahwa saya adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagian besar perbuatan kita dilakukan tanpa mempunyai relasi, religere, dengan perasaan tanggung jawab moral yang Tuhan berikan sebagai konsep dasar unsur agama.

Betapa banyak orang melakukan segala sesuatu hanya karena ikut-ikutan, karena arus masyarakat, tetapi bukan berdasarkan motivasi dan pendirian yang jelas. Oleh sebab itu banyak pemikir penting telah memikirkan apakah kriteria atau standar mutlak bagi kelakuan dan dasar daripada setiap kelakuan. Misalnya Konfusius mengatakan: “Yang kau tidak inginkan orang lain lakukan terhadap dirimu, jangan lakukan itu juga terhadap orang lain. Kalau kau tidak ingin dinodai oleh orang lain, jangan menodai orang lain. Kalau tidak mau diumpat oleh orang lain, jangan mengumpat orang lain. Kalau tidak mau difitnah oleh orang lain, jangan memfitnah orang lain.” Itulah kriteria kelakuan yang dikemukakan oleh Konfusius. Tetapi Immanuel Kant mengatakan: “Engkau boleh melakukan sesuatu, hanya kalau kau mengharapkan prinsip kelakuanmu itu menjadi prinsip universal.” Saya perhatikan banyak orang mempunyai kriteria kelakuan yang berbeda-beda; sikap mereka menghadapi diri sendiri dengan sikap menghadapi orang lain berbeda sekali. Kalau terhadap kesalahan orang lain mereka ingin cepat-cepat membuktikan dan menghakimi, tetapi terhadap kesalahan diri sendiri berusaha menutupi. Mengapa demikian? Karena setiap manusia mempunyai standar ganda. Apakah maksudnya? Kalau saya melakukan sesuatu, itu adalah karena saya dan kalau dia melakukan sesuatu, itu adalah karena dia. Dia bukan saya, dan saya bukan dia. Saya adalah saya dan dia adalah dia. Kalau saya berbuat salah, biarlah sedapat mungkin kesalahan saya itu ditutupi, karena saya harus mencintai saya. Kalau setiap saya mencintai saya (dirinya sendiri), maka setiap orang ada yang mencintainya, yaitu dirinya sendiri. Tetapi kalau orang lain berbuat salah, biarlah kesalahannya itu dibongkar, karena itu adalah kesalahannya, dia bukan saya. Dari sini kita melihat bagaimana setiap saya berusaha mempunyai standar ganda di mana standar untuk orang lain dibedakan dengan standar untuk diri sendiri. Maka Kant mengatakan: “Lakukanlah segala sesuatu hanya kalau kau ingin primnsip kelakuan itu menjadi prinsip universal; seluruh dunia boleh melakukan apa saja berdasarkan prinsip itu.”

Tetapi hal ini tetap nampak tidak mutlak. Yesus Kristus mengajarkan kriteria yang lain: “Apa yang kau inginkan agar orang lain lakukan terhadap dirimu, lakukanlah hal itu terhadap orang lain.” Kelihatannya hal ini sama seperti apa yang diajarkan oleh Konfusius, namun sebenarnya tidak sama. Memang di dalam agama-agama terdapat banyak persamaannya maka semuanya menjadi sama. Seorang profesor berkata kepada mahasiswanya: ”Yang sama tidak ada samanya, yang tidak sama ada samanya.” Kemudian seorang dari mahasiswa itu mengajak seorang kawannya menanyakan apa maksudnya kalimat itu. Profesor itu menyuruh mereka berdua saling berhadapan dan memandang, serta berkata: “Coba perhatikan, kalian berdua sama tetapi tidak sama; tidak sama tetapi ada persamaannya. Sama-sama mempunyai dua mata, satu hidung, satu mulut.”

Di dalam agama juga ada persamaan dan perbedaannya. Barangsiapa melihat banyak persamaan lalu menganggap semua sama adalah orang yang tidak bijaksana. Demikian juga orang yang melihat banyak perbedaan lalu mengatakan semua tidak sama. Kita harus mengetahui di mana persamaan dan dimana perbedaan antara semua agama, sampai di mana batasnya masih boleh ada persamaan, dan di luar itu bagaimana kita mengetahui perbedaannya. Ini sesuatu yang tidak mudah.

Setiap “saya” mempunyai suatu konsep kewajiban etika dan moral, di mana “saya” harus bertanggung jawab. Saya dan kelakuan saya harus sama-sama bertanggung jawab. Bolehkah saya melakukan sesuatu lalu melarikan diri dari kewajiban yang harus saya tanggung? Dalam hal ini telah terjadi suatu pemisahan dan ini adalah semacam sifat dosa. Bukankah banyak orang yang hanya mau berzinah tetapi tidak mau keluarganya berantakan? Berapa banyak suami-isteri yang menyeleweng tetapi tidak rela diceraikan oleh isteri atau suaminya? Mereka mau berdosa tetapi tidak mau menanggung akibat dosa. Di sini terjadi pemisahan antara perbuatanku dan hukumanku; antara dosaku dan pengadilanku. Semuanya itu berusaha dipisahkan secara paksa sehingga etika mereka berantakan. Mereka berusaha keras untuk mencari alasan dengan akalnya untuk menunjang sebab-sebab mereka melakukan sesuatu. Tetapi hal itu mustahil karena kebenaran merupakan suatu keutuhan antara sebab dan akibat yang tidak mungkin dipisahkan.

4. Konsep Mengenai Kriteria Kebenaran

Kebenaran adalah sesuatu yang sungguh-sungguh ada; kebenaran itu mutlak ada. Jika tidak demikian, tidak mungkin kita menuntut dan rela tunduk kepada kebenaran yang sungguh-sungguh. Motivasi kita mencari kebenaran yang sungguh-sungguh merupakan sebagian dari kebenaran. Wajarlah jika kita mau mencari yang sungguh-sungguh dengan sikap yang sungguh-sungguh. Kalau kita mau mengetahui kebenaran, biarlah kita mempunyai sikap benar-benar mau mencari kebenaran. Sikap benar-benar mencari kebenaran itu adalah sebagian dari kebenaran dan itu tidak pernah diberikan oleh Tuhan kepada makhluk yang lain, sehingga manusia menjadi satu-satunya makhluk yang mempunyai keinginan dan perasaan memerlukan kebenaran, percaya akan adanya kebenaran, serta mempunyai kemungkinan mengatahui kebenaran. Apakah kriteria atau standar mutlak dari kebenaran itu? Sayang sekali masalah pokoknya, yakni kriteria atau standar mutlak dari kebenaran itu sudah menjadi kabur setelah manusia jatuh ke dalam dosa.

5. Konsep Mengenai Nilai Persembahan atau Ibadah

Kalau saya merasa sesuatu bernilai, bukankah saya berusaha mencarinya dengan sungguh-sungguh karena saya menghormatinya? Menghormati sesuatu yang patut dihormati sama seperti mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh. Saya harus dengan hormat mencari hal-hal yang memang patut dihormati. ”Hormatilah hal-hal yang dihormati.” Ini sesuatu yang diajarkan oleh Alkitab. Maka berbakti kepada Allah harus berdasarkan pengertian bukan hanya ikut-ikutan. Berbakti harus keluar dari hati yang sungguh-sungguh dan bukan hanya secara lahiriah. Tuhan Yesus berkata: “ Percumalah mereka yang menyebut aku ‘Tuhan, Tuhan!’ hanya dengan mulutnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku.” Waktu kita berbakti, memberikan kehormatan kepada Yang Paling Hormat, memberikan kehormatan kepada Kehormatan Yang Tertinggi itu sendiri, di sinilah hormat bertemu dengan Yang Hormat, sikap benar-benar bertemu dengan Yang Benar, nilai bertemu dengan Nilai Yang Mutlak. Itu adalah kaitan, persamaan, antara diri kita dengan agama. Kalau kita lihat dari unsur-unsur semacam ini dan dari sudut-sudut ini, maka mau tidak mau kita harus mengakui bahwa semua agama berusaha mengembalikan nilai kepada Nilai Yang Mutlak, hormat kepada Yang Terhormat, benar kepada Kebenaran; namun siapakah Dia? Meskipun agama-agama itu agung tetapi kita harus tetap mengatakan bahwa agama adalah agama, sedangkan Yang Benar itu lebih tinggi dari semua agama. Sudahkah kita mempunyai kesungguhan mengenal Allah Penguasa alam semesta? Sudahkah kita mempunyai arah yang benar terhadap kekekalan hidup? Sudahkah kita mempunyai kriteria, standar yang mutlak daripada moral? Sudahkah kita betul-betul mengenal Dia yang paling hormat itu?

Kalau setiap agama mengatakan dirinya benar, mungkinkah semuanya benar? Tidak! Kesimpang-siuran di dalam agama-agama dan ajaran-ajaran gereja membuktikan hal ini. Namun ini tidak meniadakan keberadaan dari Yang Benar itu. Kita telah menyadari bahwa ke-lima konsep agama itu benar-benar ada. Tetapi ke manakah arah kekekalan kita? Di manakah standar moral kita? Siapakah Obyek ibadah kita? Hanya Kristus-lah jawaban yang dapat memulihkan sifat agama manusia kepada rencana Allah yang semula. Itulah sebabnya secara umum dapat dikatakan agama adalah suatu sistem dari moral dan ibadah yang menuntut kebahagiaan kekal. Namun, hanya di dalam Kristus kita berjumpa dengan Allah melalui iman kita serta menerima keselamatan hidup kekal dan Roh Kudus sebagai meterai. Inilah Kekristenan di luar segala persamaan agama-agama.

Amin.
SUMBER :
Nama buku : Iman dan Agama
Sub Judul : Bab IV : Agama dan Iman Kristen (1)
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2011
Halaman : 59 – 74