Dr. Stephen TongBAB IV :
AGAMA DAN IMAN KRISTEN (2)

Roma 2 :

  • 12. Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum Taurat.
  • 13. Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.
  • 14. Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.
  • 15. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.
  • 16. Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.

—————————————————————

C. PERSAMAAN AGAMA-AGAMA

1. Konsep Manusia Sudah Berdosa

Di dalam agama-agama ada persamaan yang besar, yaitu semua agama percaya bahwa manusia sudah berada di dalam dosa, kita semua berdosa. Ini adalah keyakinan yang umum yang terdapat di dalam semua agama yang berbeda-beda. Manusia bisa saja mengganti istilah dosa ini dengan “kesalahan”, “keteledoran”, “kekurangan”, “kekhilafan”, dstnya; tetapi itu tetap berarti dosa. Dosa itu meliputi kekurangan, tidak mencapai kesempurnaan, keteledoran, kekeliruan. Itu semua tercakup di dalam hamartia, istilah Yunani yang dipakai di dalam Kitab Suci untuk dosa. Hamartia mengandung pengertian dasar “tidak mencapai target atau sasaran”. Kita tidak mencapai target yang ditetapkan oleh Tuhan, itulah yang dimaksud dosa. Dalam hal ini, semua agama mengakui, dosa adalah suatu fakta.

2. Konsep Jalan Keluar Dari Dosa

Semua agama percaya pasti ada jalan keluar daripada ikatan atau belenggu dosa. Kedua persamaan ini, baik yang pertama maupun yang ke-dua ini begitu erat dan berakar di dalam semua agama dan termasuk di dalam tema “Iman Dan Agama”. Di dalam agama, manusia percaya dirinya berdosa dan percaya ada jalan keluar dari dosa seperti orang yang tahu bahwa dirinya sakit dan tahu bahwa ada orang yang dapat menolong, menyembuhkannya sehingga dia pergi ke dokter. Itulah dua aspek yang sangat penting dari agama-agama.

3. Konsep Nilai Dalam Moral

Semua agama percaya bahwa ada nilai di dalam moral. Semua agama mengajarkan berbuat baik adalah baik. Karena berbuat baik adalah baik, maka kita harus baik-baik berbuat baik. Berbuat baik adalah lebih baik daripada tidak berbuat baik dan lebih baik daripada berbuat tidak baik atau berbuat jahat. Kita tahu bahwa berbuat baik itu bernilai dan waktu kita berbuat baik, kita bukan saja mempunyai baik tetapi kita mengaitkan diri dengan kebajikan. Waktu kita menggabungkan diri dengan baik atau kebajikan, itu baik atau bernilai. Semua agama mengajarkan demikian.

4. Konsep Kuasa Supra-alamiah

Semua agama percaya bahwa ada satu kuasa supra-alamiah (supra-natural power). Agama mengajarkan di dalam alam ini kita hanyalah salah satu being (ada) yang terbatas, satu pribadi yang kecil. Kita memang mempunyai batas, tetapi di luar batas itu pasti ada yang lebih besar dari kita dan kita harus mengabdikan diri kepada kuasa itu sehingga kita melepaskan diri dari batasan. Dan itulah iman, yang melintasi batasan. Di sini kita melihat salah satu aspek yang paling besar dari iman, yaitu ingin melintasi keterbatasan dari diri dan eksistensi sendiri. Waktu kita mau keluar dari keterbatasan diri kita, kita memerlukan iman sebagai senjata untuk keluar. Ini ada di dalam setiap agama.

5. Konsep Kekekalan

Semua agama sama di dalam hal percaya adanya kekekalan. Semua agama percaya dan mengajarkan bahwa setelah mati tidak selesai tetapi masih ada kelanjutannya. Semua agama percaya akan ke-lima hal itu. Kalau begitu bagaimana dengan agama-agama atau sistem-sietem agama yang tidak percaya salah satu atau dua dari hal-hal itu? Sebenarnya mereka boleh dikeluarkan dari kategori agama karena kurang lengkap dalam sifat agama. Semua agama dan sistem agama yang besar mengandung keyakinan akan hal-hal ini. Ini berdasarkan sifat dan unsur asasi yang diberikan Allah kepada manusia yang diciptakan sebagai makhluk beragama. Ini adalah hal-hal yang paling hakiki yang berada di dalam manusia. Namun sekalipun semua agama percaya akan dosa, jalan keluar akan dosa, nilai moral dan kebaikan, kuasa alamiah dan kekekalan, tetapi konsep mengenai Allah itu seringkali menjadi kabur bahkan lenyap di dalam agama tertentu.

Ada agama agung tidak percaya adanya Allah, misalnya Budhisme. Kita tidak bisa mengeluarkan Budhisme dari agama. Budhisme memang merupakan salah satu agama yang terbesar di dalam dunia, tetapi kita tidak boleh melalaikan fakta ini. Di dalam satu kalimat dari “Sakiomonisatau” dari Budha Sidarta dikatakan, “Di atas adalah langit dan di bawah bumi, akulah yang terhormat.” Kalimat ini seolah-olah ingin memberikan satu konsep mengenai siapakah dia. Kalau dia yang paling hormat bukankah dia menjadi Allah? Maksud sebenarnya bukan demikian. Maksudnya ialah sifat Budha ada pada setiap individu. Kalau setiap orang bisa mengekspresikan atau merealisasikan sampai mutlak, orang itu bisa menjadi Budha, maka kehormatan itu ada pada eksistensinya.

Konsep Allah yang berpribadi tidak ada di dalam Budha. Yang ada pada Budha adalah penguasa alam semesta, tetapi bukan oknum (yang berpribadi); penguasa alam semesta itu adalah hukum-hukum (law) di dalam hidup. Di sinilah letak perbedaannya dengan Kekristenan. Maka Kekristenan tidak boleh disamakan dengan semua agama. Justru di tempat yang belum bisa digenapi oleh agama di situlah Kristus datang untuk menggenapinya.

D. PERBEDAAN AGAMA-AGAMA

Selanjutnya, sekalipun semua agama percaya akan ke-lima hal yang disebutkan tadi, namun semua agama berlainan di dalam menginterpretasikan hal-hal itu. Kita lihat di antara yang sama ada lainnya, yakni lain di dalam pengertian terhadap istilah yang sama.

1. Konsep “Baik”

Setiap agama memberikan definisi yang berlainan mengenai “dosa” dan “baik”. Yang baik menurut satu agama bisa menjadi yang tidak atau kurang baik menurut agama yang lain. Yang dianggap tindakan biadab oleh suatu agama, mungkin masih merupakan hal yang biasa oleh agama lainnya. Ada agama yang mengajarkan tidak menikah lebih baik daripada menikah, tidak menikah lebih suci daripada menikah, tetapi ada agama yang mengajarklan barangsiapa tidak/belum menikah belum mengerti hidup. Ada agama yangmengajarkan pernikahan monogami, sedangkan agama lainnya memperbolehkan poligami. Jadi apakah kriteria atau standar baik itu? Semua agama percaya dan mengajarkan baik dan soal baik dan jahat (dosa); tetapi masalahnya apakah kriteria atau standar nilai baik dan jahat itu? Ini menimbulkan perbedaan yang sangat besar di antara agama itu.

2. Konsep “Dosa”

Demikian juga mengenai jalan keluar dari dosa, semua agama mengajarkan secara berlainan. Ada yang mengajarkan dengan cara menyiksa diri (asketisisme). Ada yang mengajarkan untuk melepaskan diri dari dosa harus dengan memecut diri, mencabuti rambut, tidur di atas papan yang penuh dengan paku, berpantang tidak makan daging, berpuasa, dsbnya. Kira-kira 15 tahun yang lalu, di India ada seseorang yang mengajar semacam jalan keluar dari dosa. Sambil berjalan di tepi sungai Gangga, dia mencabuti bulu-bulu di tubuhnya satu persatu, karena dia beranggapan kalau bulu-bulu di seluruh tubuhnya habis dicabuti berarti dosanya juga habis; dosanya sebanyak seperti bulu di tubuhnya. Tetapi baru dicabut bulu di sini, di sana sudah tumbuh lagi.

Di Filipina ada orang-orang yang mengaku dirinya Kristen memaku diri sendiri di atas kayu salib dan untuk paku terakhir tentu saja harus minta orang lain memakunya. Mereka mempunyai interpretasi yang salah, “Saya digantung di kayu salib seperti Kristus disalibkan untuk menanggung dosa dunia, saya menanggung dosa orang lain.” Ini adalah penghujatan terhadap Kristus yang luar biasa besarnya. Bagaimana pun kita disiksa, dihancurkan dan diremukkan, untuk menanggung dan menghapus dosa kita sendiri saja tidak bisa, apalagi untuk menanggung dan menghapus dosa orang lain. Di sana sampai-sampai ada orang yang membanggakan diri dengan disalibkan sebanyak 25 kali pada setiap Jum’at Aguing selama 25 tahun. Kasihan sekali orang-orang yang melakukan hal-hal demikian karena mereka tidak mengerti apa yang mereka perbuat. Dapatkah kita melepaskan diri daripada dosa-dosa kita dengan cara-cara demikian? Pengajaran mengenai butir yang ke-dua ini berbeda sekali di antara agama-agama dan Kekristenan. Semua agama percaya akan fakta dosa ini tetapi semua agama bersimpang-siur di dalam mencari jawaban.

3. Konsep “Moral”

Semua agama mempunyai cara mengajar nilai moral dan perbuatan baik. Tetapi masalahnya, apa itu moral dan apa itu baik? Mengenai hal ini agama-agama tetap bersimpang-siur seperti hal yang pertama, dan ke-dua.

4. Konsep “Kuasa Supra-alamiah”

Semua agama percaya kuasa supra-natural (supra-alamiah). Tetapi apakah kuasa supra-natural yang melampaui kuasa manusia itu? Mungkin ini kuasa dari Allah, mungkin kuasa dari setan, atau mungkin dari roh-roh jahat. Mengapa manusia pergi ke ahli nujum, ke kelenteng, ke masjid, atau ke gereja? Mengapa manusia berdoa, berkata-kata dengan yang tidak kelihatan? Menurut pandangan orang-orang di Kraton Solo, gerbang kraton itu dijaga oleh empat orang, padahal di situ hanya ada dua penjaga, sebab mereka percaya ada dua badan kasar dan dua badan halus yang tidak kelihatan ikut menjaga di situ. Banyak orang Jawa percaya akan hal itu. Mereka pun percaya ada satu kuasa di mana kita tidak bisa menjangkaunya dengan mata atau penglihatan dan tidak bisa dijamah atau dirasakan dan dipegang dengan tangan kita; tetapi kuasa itu sungguh-sungguh ada.

Semua agama percaya ada kuasa supra-natural, yaitu kuasa yang melampaui dunia natural atau alamiah, melampaui semesta (kosmos) yang kelihatan ini. Tetapi supra natural jangan dicampur-adukkan dengan metafisika. Metafisika adalah cara manusia memikirkan tentang dunia di belakang tirai dunia yang kelihatan, yakni kekuatan atau unsur apa yang telah menyebabkan gejala-gejala yang nampak dalam dunia yang kelihatan. Tetapi kuasa supra-natural kadang-kadang berkaitan dengan oknum, kadang-kadang berkaitan dengan kuasa yang begitu besar dari sesuatu yang tidak kelihatan yang mempunyai hidup. Sementara di dalam, metafisika tidak memikirkan tentang oknum dan hidup. Itulah perbedaan antara supra-natural dengan metafisika.

5. Konsep “Kekekalan”

Semua agama percaya dan mengajarkan tentang kekekalan, sesudah mati mau ke mena? Semua agama percaya orang mati ada yang ke neraka dan ada yang ke sorga. Banyak orang di Timur mengatakan bahwa sorga ada di sebelah Barat. Tetapi orang di Barat juga mengatakan bahwa sorga ada di sebelah Barat. Jadi sorga sebenarnya di mana? Sebab Barat bisa menjadi Timur dan Timur bisa menjadi Barat. Semua agama percaya sesudah mati manusia pergi ke atas. Tetapi di manakah atas itu? Kalau bumi diputar yang di bawah bisa menjadi yang di atas dan yang di atas menjadi yang di bawah. Sebagian besar orang beranggapan, pokoknya yang lebih tinggi dari kepala kita itulah atas!

Jadi dari manakah harus ditinjau Barat dan Timur? Apakah dari seluruh alam semesta ini? Ataukah dari tempat di mana kita berdiri? Tentu saja semua pandangan mengenai ke mana manusia pergi sesudah mati telah dipikirkan sebelum manusia mengetahui bahwa bumi ini bulat. Kekekalan bukan semacam ekstensi (kontinuitas) waktu, bukan semacam ekstensi keberadaan di dalam dunia ini., Dan kalau supra-natural dan kekekalan itu semacam konsep yang benar-benar ada realitanya, bagaimana kita mengetahui sesudah mati kita ke mana? Tuhan di mana? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan besar yang tidak mungkin kita hindari dan juga tidak bisa kita jawab, karena kita sangat terbatas. Kita tahu dan kita percaya Tuhan ada. Kita tahu kita perlu akan Tuhan, tetapi kita tidak tahu Tuhan di mana. Manusia menjawab Tuhan mungkin di sini mungkin di sana, sekalipun secara total tempat sini dan sana dikumpulkan tetap kita tidak dapat mengatakan itu tempat di mana Tuhan berada. Tuhan yang menciptakan ruang, bukan ruang itu sendiri dan pasti lebih besar dari ruang serta tidak dibatasi oleh ruang.

Agama mempunyai persamaan-persamaan itu. Ke-lima hal tadi bisa kita terapkan kepada agama-agama yang besar di dunia. Misalnya tidak ada agama yang tidak mengajarkan tentang dosa. Kristen, Katolik, Islam, Budhisme, Hinduisme, Yudaisme, semua mengajarkan tentang dosa dan juga jalan keluarnya. Tetapi di manakah jawaban yang mutlak tentang hal-hal itu?

E. PENGGENAPAN AGAMA DAN KRISTUS

1. Konsep Allah Tritunggal

Mengenai konsep penguasa alam semesta, agama-agama telah kehilangan realita oknum dan ke-“Tritunggal”-an. Agama-agama tahu bahwa ada penguasa dan kuasanya yang besar. Tetapi bahwa penguasa itu mempunyai pribadi, bahwa Dia adalah Allah dan bahwa Dia adalah Allah Tritunggal, tidak ditemukan di dalam agama-agama.

2. Konsep Kekekalan

Semua agama mengajarkan dan berdasarkan kekekalan hidup. Tetapi di dalam agama-agama telah kehilangan arah kekekalan dan tujuan yang pasti. Dari mana kita mengetahui bahwa agama-agama telah kehilangan tujuan yang pasti dan arah yang benar? Mereka berbuat sebaik mungkin menurut standar yang diberikan oleh mereka (manusia) sendiri. Lalu mereka mengharapkan suatu hari kelak mereka boleh tiba pada tujuan dan mudah-mudahan bisa diterima di dalam kekekalan. Mereka berada di dalam unsur yang memang merupakan salah satu unsur yang paling penting di dalam agama, yaitu unsur pengharapan.

Pengharapan bukan suatu hal yang kecil atau remeh, melainkan merupakan salah satu unsur atau zat yang paling dasar dan penting di dalam agama. Karena ada pengharapan, maka eksistensi manusia mempunyai arti. Karena ada pengharapan, mereka menunjukkan pandangan ke depan dan berjuang mati-matian, berani menerima siksaan. Ini merupakan salah satu kekuatan yang sangat besar yang bisa diberikan kepada manusia dan merupakan salah satu hal yang paling penting dari sifat agama. Orang yang kehilangan pengharapan akan selalu kehilangan arti hidup, akan selalu kehilangan kepastian nilai sekarang dan yang paling banyak terdorong untuk bunuh diri. Jadi pengharapan itu penting sekali. Bagaimana pun besar dan suksesnya suatu negara, jika tidak mempunyai pengharapan, maka negara ini sedang menuju kepada keruntuhan. Pengharapan merupakan salah satu unsur yang paling penting dan terdapat di dalam setiap agama, namun demikian di dalam agama manusia hanya berharap-harap semoga bisa diterima di kekekalan, berarti tidak ada kepastian.

Di dalam agama ada pengharapan tetapi tidak ada kepastian. Lalu, apa yang diharapkan? Mengharapkan hal yang tidak pasti. Di dalam agama, manusia berharap hal yang tidak pasti tetapi pasti mereka terus berharap akan hal yang tidak pasti itu. Inilah kehilangan dalam unsur yang ke-dua di dalam agama. Kekekalan itu ada di dalam agama tetapi kepastian untuk mencapai kekekalan itu tidak ada di dalam agama. Jangan sampai kita mempunyai kepastian yang palsu, karena kepastian yang palsu lebih celaka daripada ketidak-pastian yang sungguh. Maksudnya, lebih baik kita tidak mempunyai pengharapan yang belum pasti tapi akan hal yang sungguh ada, daripada kita mempunyai harapan yang pasti akan hal-hal yang palsu.

Namun demikian tidak berarti kita cukup mempunyai kesungguhan di dalam pengharapan. Mempunyai kesungguhan di dalam pengharapan saja tidak cukup. Tetapi kalau kita mempunyai kepastian yang palsu pasti rusak. Seseorang, entah sudah diselamatkan atau belum, yang sungguh-sungguh mencari keselamatan lebih baik daripada seorang yang merasa pasti dirinya sudah diselamatkan padahal sesungguhnya dia belum diselamatkan. Orang yang mengatakan, “Saya sudah diselamatkan dengan pasti.” Tapi sebenarnya dia belum diselamatkan dan hanya menipu diri sendiri. Ada orang Kristen yang setia datang ke gereja dan sudah dibaptis mengira dirinya sudah pasti di dalam Tuhan dan pasti diselamatkan padahal sesungguhnya tidak. Paulus berkata jika seseorang menganggap dirinya milik Kristrus, biarlah dia memikirkan kembali bagaimana dia bisa menjadi milik Kristus (Roma 8).

Kita tidak boleh mengabaikan hal ini. Kita harus menguji iman kita, bagaimana kita beriman terhadap hal-hal yang pasti ini, supaya kita bisa berdiri teguh. Jangan kita sampai mempunyai kepastian akan hal-hal yang palsu. Tetapi Yesus juga pernah berkata, “Jangan menyangka setiap orang yang menyebut Aku: Tuhan, Tuhan, yang akan masuk ke dalam kerajaan sorga.” Kalau agama mau jujur, agama hanya mengajar agar kita berbuat baik dan mudah-mudahan bisa diselamatkan dan masuk ke sorga. Kekristenan mengajar kita akan hal-hal yang pasti. Tapi kalau orang Kristen berkata, ”Saya pasti diselamatkan dan masuk sorga!” namun mengatakan kepastian itu tidak berdasarkan kebenaran, maka orang Kristen itu lebih celaka daripada orang yang bukan Kristen.

3. Konsep Moral

Semua agama mempunyai dan mengajar konsep moral, tetapi sudah kehilangan standar mutlak. Kehilangan akan standar mutlak ini bukan saja terjadi dalam agama-agama lain, sekarang di kalangan orang-orang Kristen pun mulai banyak yang membuang akan hal ini dengan munculnya Etika Situasi. Etika Situasi telah memberikan kelonggaran kepada Kekristenan sehingga Kekristenan berkompromi tanpa standar. Bukan berarti bahwa setiap kelakuan kita harus ada standar mutlak, tetapi secara umum tidak bisa tidak ada standar mutlak.

Yang mutlak jangan direlatifkan dan yang relatif jangan dimutlakkan. Kriteria atau standar mutlak ini merupakan yang penting sekali. Manusia yang benar-benar mau menjalankan kelakuannya dengan semangat mutlak tapi tidak mempunyai standar mutlak akan terombang-ambing dengan kekuatannya sendiri. Tapi yang paling celaka adalah manusia yang tidak mempunyai kemutlakan tapi berani memutlakkan diri. Pada waktu seseorang menuding-nuding orang lain misalnya, “Itu salah!” berarti orang itu telah merampas kedudukan sebagai Allah, seolah-olah dirinya tidak bisa salah. Ini tidak berarti kita tidak boleh mengatakan bahwa orang lain salah. Tapi kita tidak boleh lupa bahwa itu merupakan suatu hal yang sangat serius, kecuali kalau kita benar-benar mengetahui kebenaran. Jangan sembarangan menasihati, mengkritik atau menyalahkan apalagi menghakimi dan menghukum orang lain.

Di dalam agama selalu diajarkan mudah-mudahan kita diterima oleh Allah, sesuatu yang tidak mutlak. Tetapi orang-orang penganut agama ini sering memutlakkannya, yang tidak mutlak dan yang mutlak selalu berdampingan dan ini merupakan gejala yang sudah umum terjadi.

4. Konsep Sumber Kebenaran Yang Asli

Di dalam hal mencari kebenaran, agama telah kehilangan sumber kebenaran yang asli. Bagaimana kita mengetahui apakah kebenaran yang kita terima sumbernya asli dan kita benar-benar mengetahuinya? Kita harus memberikan tanda tanya besar terhadap sumber kebenaran yang kita ketahui. Seringkali orang sudah menyebarkan suatu berita dan menganggap berita itu benar, padahal mungkin tidak benar, jadi kebenaran itu sudah berpisah dari sumbernya. Kalau mau mengetahui kabar mengenai seseorang kita harus menanyakan langsung pada orang itu. Demikian juga kalau kita mau mengetahui kebenaran, pertama-tama kita harus menanyakan apakah kebenaran itu ada sumbernya, apakah kebenaran itu mempunyai dasar yang teguh, apakah kebenaran bersifat utuh? Yang lebih penting lagi adalah ekspresi dari diri kebenaran itu sendiri.

Melalui firman Tuhan kita mengetahui diri kebenaran itu berseru, “Akulah Kebenaran.” Kalau itu adalah sumber dan ekspresi dari sumber itu sendiri, maka akan menjadi konklusi yang mempermalukan semua konklusi yang palsu. Sekali lagi, kalau sumber kebenaran itu sendiri mengekspresikan atau menyatakan dirinya sebagai “Kebenaran” itu, maka teriakan atau ekspresi dari sumber kebenaran itu akan menutup segala konklusi yang tidak bersumber padakebenaran. Agama memang selalu membicarakan kebenaran tetapi sayangnya justru hal yang terpenting telah kehilangan sumber. Sumber yang tidak benar atau kehilangan sumber (tidak ada sumber), keduanya tidak membawa manusia kepada kebenaran.

Oleh sebab itu, mempercayai sesuatu mudah tetapi membuktikan kepercayaan itu tidak mudah. Berteriak dan mengajarkan kebenaran itu mudah, tetapi mengaitkan diri dengan sumber kebenaran yang benar itu tidak mudah. Celakalah mereka yang menganggap kebenaran tidak mempunyai sumber atau yang menganggap diri sudah mengenal sumber kebenaran tetapi sebenarnya mengenal yang salah. Keduanya berbahaya.

5. Konsep Obyek Ibadah Yang Sejati

Semua agama mengajarkan berbakti dengan hormat, tetapi manusia umumnya suidah kehilangan obyek ibadah yang sejati. Berbakti, memberikan suatu unsur ibadah, menunjukkan fungsi kita sebagai manusia yang bereksistensi. Waktu kita menaklukkan diri beribadah, kita mempersembahkan rasa hormat kita yang tertinggi dan yang terdalam kepada yang kita anggap layak dihormati. Tetapi kalau obyeknya salah, sayang sekali.

Ada gadis muda mencintai pria dengan cinta yang murni dan tulusnya. Baru mendengar rayuan si pria, langsung menetapkan ingin menikah dengannya (padahal mungkin rayuan yang sama pernah dilontarkan si pria kepada gadis-gadis lainnya). Lalu ia mempersembahkan dirinya kepada pria itu, lalu gadis itu mendapatkan akibat yang buruk. Mengapa gadis itu mendapatkan akibat yang buruk padahal cintanya murni sekali? Sebab ia mempersembahkan cintanya yang murni itu kepada obyek yang tidak benar. Akibat dari persembahan cinta sangat tergantung kepada obyek yang benar atau tidak.

Demikian juga dalam hal kita beragama dan beribadah. Kita memang harus sungguh-sungguh beribadah. Tapi kesungguhan saja tidak cukup. Kita perlu menanyakan apakah obyek yang kita sembah itu sungguh-sungguh patut dihormati atau tidak? Kita tidak boleh sembarangan dalam hal beragama. Kita tidak boleh mempunyai konsep asal ada Allah, asal mempunyai agama, asal beribadah, asal ke gereja, sudah cukup. Itu seperti seorang yang mengatakan, “Asal menikah, dengan siapa pun boleh.”

6. Kristus adalah Jalan Kembali Kepada Allah

Marilah kita mencari jawaban. Siapakah sesungguhnya obyek ibadah yang benar, yang sungguh-sungguh patut kita hormati? Saya akan memberikan jawaban itu melalui ucapan Seseorang dan yang tidak pernah keluar dari mulut yang lain: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup!” Dengan proklamasi kalimat itu, Dia sudah membuntukan jalan bagi jalan lain, membuntukan “kebenaran” yang sebenarnya bukan kebenaran. Dia telah menegaskan, bahwa hidup ada pada Dia. Kalau ada beberapa atau banyak orang pernah mengucapkan kalimat seperti itu, barulah kita perlu mengadakan diskusi dan melakukan perbandingan untuk mengetahui manakah yang benar. Tetapi kalau hanya satu orang yang pernah mengucapkan kalimat seperti itu, jangan kita abaikan.

Yang mengucapkan itu bukan Musa, Abraham, Konfusius, nabi-nabi atau rasul-rasul, melainkan Yesus Kristus. Kita perlu memikirkan apakah dasarnya Yesus Kristus mengatakan kalimat itu. Manusia biasa bolehkah mengatakan kalimat seperti itu? Tidak! Tidak seorang pun bicara seperti Yesus Kristus. Dari ucapan-ucapan-Nya, menunjukkan siapakah Dia. Dia adalah Allah yang benar, yang telah menyatakan diri di dalam rupa manusia. Sekarang, tantangannya bagi kita: bagaimana sikap kita memperlakukan Dia? Apakah hanya sebagai salah satu pendiri, pemimpin atau tokoh agama di mana kita berpendapat asal mempunyai agama sudah cukup? Agama hanyalah sistem ibadah atau moral yang bersangkut-paut dengan kebahagiaan yang kekal, tetapi Kristus memberikan apa yang tidak diberikan oleh agama.

PENUTUP

Apakah manusia cukup hanya mempunyai agama? Apakah agama dapat membawa manusia kembali kepada Allah? Apakah dengan perbuatan baik dan moral yang dijalankan, dosa benar-benar bisa diampuni dan manusia boleh kembali kepada Allah? Firman Allah mengatakan, “Tidak!” Manusia tidak mungkin diselamatkan dengan agama, bahkan tidak mungkin diselamatkan oleh Taurat yang diberikan oleh Allah sekalipun.

Agama hanya membuktikan manusia memerlukan Allah, karena keberadaan manusia adalah keberadaan relatif dengan Penciptanya, sedangkan Taurat bukan diberikan untuk keselamatan manusia melainkan hanya untuk membuktikan bahwa manusia sudah melanggar sifat moral Allah yaitu kesucian, kebenaran dan kebajikan-Nya.

Meskipun manusia mencari jalan dalam agama, namun satu-satunya jalan yang disediakan Allah bagi keselamatan manusia adalah di dalam Kristus Yesus, yang telah mengalahkan kuasa dosa dan kematian serta melepaskan manusia dari cengkeraman iblis. Apa yang sudah digenapi oleh Kristus di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari kematian, jauh melampaui segala usaha agama sehingga kita memperoleh hidup yang kekal melalui Injil Kristus.

Amin.

SUMBER :
Nama buku : Iman dan Agama
Sub Judul : Bab IV : Agama dan Iman Kristen (2)
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2011
Halaman : 74 – 88