Berawal dari terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016 tanggal 22 Maret 2016 tentang perubahan kelima atas Peraturan Menteri Keuangan nomor 16/PMK.03/2013 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Di mana salah satu lampiran yaitu lampiran nomor 67 PMK tersebut diperuntukan bagi Bank/Lembaga penyelenggara kartu kredit yang meliputi 23 bank/lembaga untuk memberikan rincian jenis data dan informasi yang berupa data transaksi nasabah kartu kredit, paling sedikit memuat :
- Nama bank;
- Nomor rekening kartu kredit;
- ID merchant;
- Nama merchant;
- Nama pemilik kartu;
- Alamat pemilik kartu;
- NIK/Nomor paspor pemilik kartu;
- NPWP pemilik kartu;
- Bulan tagihan;
- Tanggal transaksi;
- Rincian transaksi;
- Nilai transaksi;
- Pagu kredit;
Data tersebut dalam bentuk elektronik yang disampaikan melalui Online dan/atau langsung paling lambat tanggal 31 Mei 2016 yang disampaikan secara bulanan (paling lambat akhir bulan berikutnya).
Sangat dimaklumi banyak penolakan atas aturan ini karena terkesan garang dan mendadak yang bisa membuat jantung berdetak keras termasuk juga bagi Wajib Pajak yang sudah patuh dalam kewajiban perpajakannya.
Peraturan ini dikeluarkan tentu dengan proses yang sangat panjang dan tidak serta merta serta telah dilakukan studi dan kesepakatan semua pihak demikian penjelasan Direktur Penyuluhan dan Humas Ditjen Pajak (detik finance, Kamis 31/3/2016). Namun, tetap saja membuat kaget kalangan perbankan seperti diakui oleh General Manager Asosiasi Kartu Kredit indonesia (AKKI).  Tentang bagaimana kehebohannya, berikut ini informasi seputar Heboh Pajak Atas Data Kartu Kredit. 🙂
Rahasia Perbankan?
Banyak yang mempertanyakan bahwa aturan ini bertentangan dengan kerahasiaan perbankan yang dianut oleh Undang-undang Perbankan.
Pada kenyataannya diketahui bahwa sesuai Undang-Undang Perbankan yang dianggap rahasia adalah terkait data simpanan (misalnya saldo rekening tabungan debitur) sementara data transaksi kartu kredit bukanlah sebuah kerahasiaan hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta pihak penerbit kartu kredit  saat berkoordinasi dengan Direktorat Kenderal Pajak.
Utang Bukanlah Penghasilan?
Banyak yang menyayangkan jika data kartu kredit langsung dianggap sebagai penghasilan yang akan dikejar pembayaran pajaknya.
pada kenyataannya tidak serta merta, karena semua sepakat bahwa data tersebut hanya digunakan sebagai data pendukung apabila terjadi pemeriksaan kepada Orang Pribadi dipadukan dengan Surat pemberitahuan (SPT) tahunan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak walaupun tidak mutlak dipersamakan sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak pemegang Kartu kredit.
Wajib Pajak tidak perlu khawatir karena sebelumnya akan diawali dengan konfirmasi kepada Wajib Pajak jika ada selisih antara SPT Tahunan dengan penggunaan Kartu Kredit dalam 1 (satu) tahun.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan jika Ditjen Pajak ingin melihat profil belanja Wajib Pajak lewat transaksi kartu kredit perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut untuk tidak salah dalam membuat profile belanja Wajib pajak diantaranya :
- Pemakaian kartu kredit kadang tidak untuk kepentingan pribadi namun juga dipakai oleh anggota keluarga misalnya ada teman yang ingin beli HP namun menggunakan kartu kredit Wajib Pajak.
- Kartu kredit juga sering dipergunakan untuk kepentingan modal usaha.
Lari Dari Kartu Kredit
Banyak yang memprediksi bahwa ketentuan ini akan menyebabkan banyak pengguna kartu kredit yang akan memilih penggunaan uang tunai, betulkah demikian? Terkait hal ini adalah hanya waktu yang bisa menjawab karena hal yang umum terjadi adalah kekhawatiran yang berlebihan terjadi sama persis saat pemberlakukan aturan-aturan sebelumnya yang pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat Wajib Pajak.
Mungkin bagi Wajib Pajak yang sudah patuh dalam kewajiban perpajakannya tidak akan khawatir dalam penggunaan kartu kredit, namun tidak sedikit yang lebih bersikap hati-hati sehingga menyebabkan lebih memilih menggunakan uang tunai dibandingkan kartu kredit. Hal ini disinyalir akan bertolak belakang dengan cita-cita Bank Indonesia, Otoritas Jasa keuangan serta pemerintah yang mendorong masyarakat untuk terus menggunakan uang non tunai.
Bahkan sebagian nasabah kelas atas akan berusaha mendapatkan Kartu kredit di Singapura dengan menggunakan aplikasi DBS, OCBC, Citabank Singapura hal ini sebagaimana disampaikan oleh Direktur Utama PT. Bank Central Asia dalam detik finance, Senin 4/3/2016.
Kepentingan Negara
Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) mendukung kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak namun mengingatkan agar kebijakan ini jangan sampai meresahkan masyarakat.
Direktorat Jenderal Pajak diharapkan untuk melaksanakan aturan ini secara konsisten dan disiplin dengan menjaga kerahasiaan data, jika hal ini dapat dilakukan masyarakat Wajib Pajak pasti akan menerimanya.
Negara sekaliber Swiss yang terkenal dengan kenyamanan perbankannya saja, data nasabah pun bisa dibuka apabila ada keperluan yang penting untuk suatu negara. Hal ini menyatakan bahwa tidak perlu ada yang dikhawatirkan dengan munculnya ketentuan kewajiban perbankan sebagaimana dijelaskan di atas.
Menurut pendapat penulis bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak termasuk kebijakan dalam ketentuan ini adalah sebuah sikap bahwa sistem self assessment system yang dianut Indonesia khususnya Pajak Penghasilan Orang Pribadi tidak berjalan sebagaimana mestinya, Penghasilan Orang Pribadi di sini adalah khusus atas usaha atau kegiatan. Karena penghasilan atas Orang Pribadi dari pekerjaan tentunya telah dilakukan pemotongan oleh pemberi kerja.
Download :Â Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016
…