Jesus SaidFirman : Kisah Para Rasul 17:26-28, Roma 3:10-12,  Pengkhotbah 3:11

Manusia dicipta berlainan dengan segala makhluk. Manusia dicipta terakhir, tetapi tertinggi nilainya. Manusia dicipta sesudah semua dicipta lengkap. Semua itu dipersiapkan untuk digunakan oleh manusia. Manusia dicipta bukan untuk benda, materi atau dunia. Tetapi benda, materi dan dunia dicipta bagi umat manusia. Manusia dicipta bagi Tuhan Allah, Sang Pencipta. Di sini kita melijhat bahwa “we are created by Him, through Him, and for Him.”

 Arah Hidup untuk Mencari Allah.

Kalau manusia dicipta bagi Allah, maka arah hidup kita harus menuju ke atas, bukan ke bawah. Barangsiapa berusaha memuaskan hidupnya hanya kepada sesuatu yang dari bawah, maka dia akan merasa kosong, dahaga dan lapar untuk selama-lamanya. Barang siapa yang berusaha hidup memuaskan diri  dari yang atas, dia akan mendapatkan kepuasan yang sejati. Alkitab berkata: “Bukalah mulutmu besar-besar, Aku akan mengisinya,”  dan “Berbahagialah mereka yang dahaga dan lapar akan kebenaran, karena mereka akan dikenyangkan.”  Di sini Alkitab dengan jelas mengajak kita untuk mengarahkan hidup secara terbuka kepada Pencipta kita.

Dua ribu tiga ratus tahun yang lalu, Plato pernah mengajar dalam filsafatnya bahwa sebagaimana burung-burung kecil membuka mulutnya untuk menunggu makanan dan sesudah mereka besar mereka mencari makanan adalah sesuatu hal yang alamiah, demikian pula manusia membuka mulut berseru kepada Tuhan dan mencari Allah, juga merupakan sesuatu hal yang wajar secara spritual.

Distorsi dalam Pencarian akan Allah.

Di dalam Kisah Para Rasul 17:26-28, Tuhan mengatakan bahwa Dia menciptakan manusia supaya mereka mencari Allah. Tetapi di dalam Roma 3:10-12 dikatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Bagaimana kita mengerti ayat-ayat yang seakan-akan berkonflik dan berkontroversi ini? Kehendak Allah yang asli untuk seluruh umat manusia secara kolektif dicatat dalam Kisah Para Rasul 17. Tetapi keadaan di dalam Mazmur 14:1-3 yang dikutip dalam Roma 3:10-12 merupakan sesuatu keadaan yang sudah abnormal, yang sudah menyeleweng dari kehendak Allah yang asli. “The abnormalization has been done because we committed sin.”

Dosa sudah menyelewengkan kita dari jalur yang asli, dari kehendak yang orisinil. Kehendak Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang harus mencari Allah. Tetapi manusia yang hidup dalam dosa, telah menjadi makhluk yang hanya mencari kenikmatan. Kesenangan di dalam dosa menjadi hal utama. Itu merupakan satu penyelewengan kehendak.

Alkitab berkata kepada kita: “Maka Allah menciptakan manusia menurut rupa dan gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kejadian 1:27). Manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah. Itu sebab manusia terlalu mulia, terlalu hormat, sehingga sayang sekali jikalau kemuliaan dan kehormatan yang begitu tinggi yang sudah Tuhan karuniakan kepada Saudara, Saudara cemarkan.

Pakaian hitam yang terkena tinta hitam, tidak akan menampakkan perbedaan yang terlalu besar. Tetapi pakaian putih yang indah dari seorang mempelai wanita yang menantikan mempelai pria, apabila tersiram tinta, walaupun sedikit saja,  akan menimbulkan kesedihan yang terlalu besar. Kita terlalu mulia, terlalu hormat, untuk membiarkan hidup kita dicemarkan oleh dosa. Itu sebabnya baik-baiklah mencari kehendak Tuhan dan baik-baiklah hidup sesuai di dalam kehendak-Nya.

Peranan Sistem Nilai di dalam Pencarian akan Allah.

Manusia dicipta menjadi satu makhluk yang bisa berkebudayaan dan beragama. Kita melihat tuntutan ini menjadi satu pokok yang klimaks, yaitu mencari Allah. Sebelum mencari Allah kita mencari segala sesuatu yang bernilai! Hal ini berlainan dengan sistem binatang. Konsep nilai, penilaian nilai dan penghargaan akan nilai hanya ada pada hidup manusia.

Kita mempunyai kaitan yang tidak mungkin diabaikan, yaitu nilai dan penilaian sebagai konsep dan tindakan kita masing-masing. Bagaimanakah kita bisa menilai orang lain, menilai diri sendiri dan menilai segala sesuatu yang dimiliki? Waktu kita membeli suatu barang, kita menilainya sebelum dibayar. Waktu kita memilih jodoh, juga ada penilaian. Penilaian dikaitkan dengan kecantikan atau dengan moral atau dengan kemungkinan efisiensi dan lainnya. Tetapi Allah yang paling hormat adalah Dirinya Nilai itu sendiri.

Di bawah Allah, segala sesuatu yang dicipta mempunyai tingkatan nilai. Wakltu kita menilai akan “nilai”, maka kita sedang mempergunakan peta dan teladan Allah yang diberikan dalam hidup kita. Penilaian yang mungkin diberikan oleh manusia, dikembalikan kepada diri-Nya nilai itu sendiri dengan pengakuan sebagai Nilai Tertinggi, itu disebut beribadat.

Worship is to admit and to submit yourself before the Greatest glory, the Greatest honour and the Greatest value, that is God. Allah adalah Nilai yang Tertinggi. Allah adalah Diri-Nya hormat yang tertinggi. Allah adalah Diri-Nya kemuliaan yang tertinggi. Memuliakan yang paling mulia, menghormati yang paling hormat, menilai yang paling bernilai, tindakan itu menjadi tindakan menaklukkan diri dan bersembah sujud.

Tidak salah jika Saudara kagum kepada orang yang pintar, karena di dalam kekaguman itu Saudara sedang mempergunakan daya penilaian. Tidak salah jika Saudara kagum pada orang yang berbijaksana, karena di dalam kekaguman itu Saudara sedang menaklukkan kehormatan Saudara kepada kehormatan yang lebih tinggi. Tetapi, Allah adalah kehormatan dan kemuliaan yang tertinggi. Bukan saja kita perlu kagum dan takluk, tetapi kita perlu bersembah-sujud dan tersungkur di hadapan-Nya dengan rela, bukan tidak rela. Tersungkur di hadapan Tuhan merupakan satu pengertian bahwa melalui Roh Alah yang memberi bijaksana, maka kita melihat Allah sebagai Yang Tertinggi dan kita takluk kepada Dia. Itulah hidup beribadat.

Ibadat yang sejati adalah meninggikan dan menghargai Allah sebagai Yang Terhormat dan Tertinggi. Itu dilaksanakan di dalam seluruh hidup yang mematuhkan diri kepada Allah, seluruh hidup yang taat kepada rencana-Nya, seluruh hidup yang mau menjalankan kehendak dan apa yang ditetapkan oleh Dia. Itu ibadat yang sejati!

Beribadat bukan hanya tentang bagaimana posisi tubuh jasmani. Dalam bahasa Ibrani, kata “ibadat” diartikan sebagai membengkokkan diri di hadapan Allah. Ada orang yang tidak mau takluk kepada Allah, namun kelihatan beribadat di gereja; kelihatan mempunyai kelakuan yang indah di dalam beribadat bahkan di dalam agama-agama. Saudara melihat orang-orang beribadat dengan berlutut dan sebagainya, tetapi sesudah itu mereka pergi menipu, congkak dan berbuat segala macam kejahatan yang melawan kehendak Allah. Orang-orang yang semacam itu belum pernah beribadat. Mereka sedang berdosa di dalam agama.

Tuhan Yesus menyebut Farisi yang berdoa dengan teriakan keras sebagai orang yang sedang berbicara kepada dirinya sendiri. Tetapi menyebut pemungut cukai yang berdoa tersungkur di hadapan Tuhan mengaku dosanya, sebagai orang yang dibenarkan oleh Tuhan. Pemungut cukai itu lebih dibenarkan oleh Tuhan daripada pemimpin agama yang sudah biasa beribadat, namun tidak mengerti apa arti beribadat.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menilai akan penilaian. Manusia juga bisa menilai akan nilai itu sendiri. Apabila penilaian ini diterapkan di dalam hal-hal yang lain, maka timbullah kemungkinan pertama yaitu kebudayaan, sedangkan kemungkinan yang kedua adalah hidup beragama. Kebudayaan dan hidup beragama adalah satu menifestasi bahwa manusia diciptakan Tuhan berbeda dengan segala makhluk.

Mandat kultural merupakan satu pemikiran besar yang disimpulkan dari Kitab Suci oleh teolog-teolog Reformasi. Manusia di dalam dunia ini bukan hanya makan dan tidur. Manusia harus bisa memberikan sumbangsih penilaian yang baik untuk hidup yang lebih dari sekedar materi dan kebutuhannya saja. Manusia mempunyai mandat kultural, manusia mempunyai sesuatu kewajiban untuk hidup berkebudayaan yang baik.

Di dalam Kejadian 1, Tuhan memberi perintah kepada manusia untuk membudidayakan dunia ini, mengelola bumi ini. Manusia harus mengelola dan memelihara bumi ini dengan baik. Ini memberikan satu gambaran tentang kehendak Allah. Manusia yang mau menjalankan kehendak Allah, harus ikut memelihara lingkungan yang baik di dalam dunia ini.

Pemilik pabrik yang limbahnya ikut merusakkan lingkungan, belum menjalankan kehendak Allah. Keuntungan boleh diterima, kaya itu boleh saja. Tetapi dari mana kekayaan itu datang dan untuk apa kekayaan itu kita gunakan, itu lebih penting dari sekedar menjadi kaya. Uang yang banyak boleh kita miliki, tetapi dengan cara apa uang itu kita perolah dan untuk apa uang itu kita gunakan, itu lebih penting dari sekedar mempunyai uang yang banyak.

Kita diberi satu mandat kultural. “The Cultural Mandate”.  Manusia dalam menjalankan kehendak Tuhan, harus kembali kepada prinsip-prinsip Alkitab. Kebudayaan dan agama, keduanya didasarkan pada sesuatu pencarian, penuntutan nilai. Hal-hal yang bernilai, yang disimpan dan dipelihara.

Di museum-museum, ada begitu banyak lukisan yang meski pun sudah tua, tetapi tetap disimpan. Begitu banyak guci yang sudah pecah, tetapi tetap dipelihara. Begitu banyak benda-benda kuno yang usianya ribuan tahun masih tetap disimpan. Mengapa? Karena benda-benda itu bernilai. Nilai yang ada di dalam penilaian sehari-hari, disimpulkan, dikumpulkan menjadi satu kristalisasi kebudayaan. Itu semua berdasarkan satu mandat kultural.

Peranan Wahyu Umum di dalam Pencarian akan Allah.

Waktu orang lain berbicara sesuaru kepada kita, kita bereaksi terhadap orang itu. Waktu Tuhan berbicara kepada kita, bagaimana kita bereaksi kepada Tuhan?

Respons merupakan satu hal yang penting. Allah itu bernilai. Kalau manusia mengerti nilai, manusia datang bersembah-sujud kepada Allah. Allah itu hormat. Kalau manusia sadar, manusia memberikan kehormatan kembali kepada Tuhan. Itu namanya reaksi kepada yang asli.

Manusia biasa melihat ke cermin dan berdandan, tetapi mengapa kucing jarang melihat cermin? Ini satu hal yang merangsang pemikiran saya. Mengapa kucing tidak mempunyai respons kepada gambarnya sendiri yang ada di cermin? Karena kucing dicipta sebagai makhluk yang tidak berhubungan dengan peta teladan Allah, sehingga respons itu tidak mungkin terjadi. Mungkin kera bisa melihat ke cermin, tetapi kera tidak bereaksi sehingga menimbulkan pikiran ataupun aksi. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berespons kepada Penciptanya. Kalau kita berespons kepada Pencipta kita, apa artinya? Artinya kita harus menanggapi sesuatu yang keluar dari Tuhan Allah!

Allah berbicara di dalam alam. Allah berbicara di dalam hati nurani kita. Allah berbicara di dalam sejarah. Ketiga hal ini disebut sebagai general revelation, Wahyu Umum dari Tuhan Allah. Wahyu Umum diberikan berbeda dari Wahyu Khusus. Wahyu Umum diberikan sehingga manusia mempunyai pengertian tentang keberadaan Allah di samping keberadaan diri sendiri. Dari dunia yang dicipta, dari suara hati nurani, dari sejarah yang begitu ajaib, kita mengetahui bahwa Allah itu ada.

Filsuf yang merupakan pendiri “German Idealism” yang bernama Immanuel Kant, mengatakan dalam pengantar bukunya yang berjudul The Critique of Practical Reason, demikian: “Ada dua hal yang makin lama makin mengejutkan saya, dan makin membuat saya kagum. Pertama adalah langit yang di atas yang penuh dengan bintang. Yang kedua adalah adanya suara di dalam dada saya yang selalu berkata-kata.”  Kata-kata itu juga yang tertulis di atas batu nisan kuburan Kant, di Konigsburg, Jerman. Namun, Kant tidak menemukan jawaban yang jelas dalam hidupnya. Wahyu Umum adalah satu pengertian yang tidak bisa dipungkiri dan disangkal oleh setiap orang. Setiap manusia mengetahui bahwa Allah itu ada.

Reaksai dan respons kita di dalam Wahyu Umum secara eksternal, menjadi kebudayaan. Reaksi dan respons kita kepada Wahyu Umum secara intrernal menjadi agama. “Civilization ia human respons to God’s general revelation, outwardly. Religion is human respons to God’s general rebelation, inwardly.”

1. Kebudayaan dan Pencarian akan Allah.

Di dalam hidup sehari-hari, kita akhirnya membentuk sistem kebudayaan, karena kita dicipta oleh Nilai yang Tertinggi, dengan konsep nilai. Waktu kita berespons kepada Tuhan, kita mulai membentuk sistem-sistem di dalam masyarakat yang bersangkut-paut dengan nilai. Tetapi, pada waktu kita memikirkan ke dalam, kita membentuk sistem-sistem yang lebih batiniah, lebih introvert. Bukan di luar, tetapi di dalam. Itulah kegiatan agama.

Di dalam kebudayaan, ada tiga hal besar yang dituntut:

  1. Kebijaksanaan.  “To know the knowlwdge”. Ini menjadi kemungkinan berilmu. Manusia tidak pernah puas dengan fenomena atau gejala yang terlihat di luar. Manusia tertarik untuk mengetahui lebih dalam lagi. Itu adalah tuntutan mengetahui pengetahuan. Dan dalam mengetahui secara tepat, mengetahui secara sejati, maka kebenaranlah yang menjadi sasaran dari tuntutan itu. Bijaksana diperlukan untuk bisa mengendalikan dan menyaring pengetahuan-pengetahuan yang ada. Wisdom is more than knowledge. Mencari dan menemukan bijaksana akhirnya menjadi akar dari seluruh disiplin akademis. Ini disebut filsafat. Filsafat berasal dari istilah Yunani filia dan sofia. Filia adalah cinta, sofia adalah bijaksana. Mencintai kebijaksanaan, itu adalah satu tuntutan yang dasar. Kita mau menjadi orang yang bijak. Kita mau bertindak, bekerja dan menuntut segala ilmu dengan bijaksana sebagai nakhodanya, sehingga bijaksana memimpin pengetahuan dan bijaksana mendasari pengetahuan. Pengetahuan ibarat bangunan yang menjulang tinggi ke atas, sementara bijaksana ibarat fondasi yang berdiri kokoh di bawah. Pengetahuan ibarat kapal besar yang berlayar, sementara bijaksana ibarat nakhoda yang menentukan arah pelayaran. Orang Yunani yang pertama kali memunculkan istilah philosopher  adalah Heraklitos. Kini, orang-orang yang sudah mendapatkan gelas yang tertinggi disebut doctor in philosophy (Ph.D), orang ini dianggap sudah menguasai jalan mencinta dan menuntut akan kebijaksanaan. Kita melihat ini sebagai aspek pertama dari kebudayaan.
  2. Kebajikan. Aspek kedua dari kebudayaan sudah mulai beralih dari otak menuju kepada batin. Dari sini, hal yang paling penting adalah mengenai kebajikan, bukan kebijakan. Kebijakan ditambah dengan kebajikan baru berada di dalam wadah yang “secure”, wadah yang betul-betul aman. Kebijakan tanpa kebajikan untuk mengontrolnya, maka kebijakan itu mungkin menyeleweng dan menjadi rasio yang terhilang. Pengetahuan dikuasai oleh kebijakan, tetapi kebijakan ditanam di dalam kebajikan. Dari situ timbullah hidup yang lebih bersifat moral, batiniah dan etika. Semua kebudayaan yang besar baik di Mesir, Roma, Tiongkok, Yunani, Jepang, India, Babilonia maupun di mana saja, Saudara akan menemukan bahwa sejak pada permulaannya manusia telah mempunyai kebudayaan dan langsung menjadikan ini sebagai salah satu aspek yang terbesar, tanpa perlu evolusi seperti yang dikemukakan oleh Darwin. Pada batu yang disebut sebagai Hammurabi Stone (sekarang berada di British Museum) Saudara akan melihat konsep-konsep moral dan konsep-konsep keadilan sudah ditulis di sana. Di situ tertulis berbagai hal tentang bagaimana harus memperlakukan diri terhadap sesama manusia; bagaimana harus mengganti kerugian jika seseorang sudah merugikan orang lain. Hal-hal mengenai nilai, moral dan hidup batiniah sudah tertulis di sana. Ini menjadi aspek kedua dari kebudayaan. Puji Tuhan, Allah telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang begitu rumit, yang begitu berharga. Di dalam interpretasi filsafat Tionghoa, ada dua istilah yang paling penting.
    1. Pertama adalah “true and genuine sincerely”. Berhentilah berkawan dengan orang yang tidak mau sungguih-sungguh berkawan dengan Saudara. Kita tidak memerlukan kawan terlalu banyak, tetapi kita memerlukan kawan yang sungguh-sungguh ingin berkawan yang keluar dari hatinya. Kalau tidak bersunggguh-sungguh, untuk apa? Orang yang bertopeng, bisa tersenyum di luar. Orang yang meninggikan kita karena keuangan kita, semuanya tidak berguna. Lebih baik jika kita mencari kawan yang sungguh-sungguh. Hal ini sesuai dengan Alkitab. Ada sesuatu unsur penting yang mendasari etika yaitu kesungguhan, keikhlasan, kesejatian. Jikalau saya menemukan musuh yang memiliki kesungguhan di dalam hatinya untuk memusuhi saya, saya tetap menghormati dia. Jika saya menemukan kawan-kawan yang paling dekat, bahkan saudara saya sendiri yang kehilangan kesungguhan,  saya kurang menghormati dia. Ini merupakan satu dasar dari nilai moral yang penting. Kesungguhan, keikhlasan, kemurnian hati nurani.
    2. Kedua adalah semacam cinta kasih yang memperlakukan keadilan di antara sesama dan memperlakukan rasa perikemanusiaan yang penuh dengan kemurahan dan pengertian. Ini sesuai dengan ajaran Alkitab (Mikha 6:8).
  3. Keindahan. Manusia tertarik dengan yang pintar, yang baik dan yang indah luar biasa. Jika kita mendengar orang-orang ribut, mungkin kita menutup jendela dan mengunci pintu. Tetapi jika kita mendengar orang yang menyanyi dengan merdu, mungkin kita membuka pintu dan melihat. Kita mnelakukan hal itu karena tertarik dengan keindahan. Kalau Saudara melihat seorang pengemis yang sudah tiga bulan tidak mandi dan bau luar biasa, tentu Saudara akan lari meninggalkannya. Tetapi kalau Saudara melihat seorang bayi mungil yang elok dan bersih, mungkin Saudara merasa gemas dan ingin mencubit pipinya. Kita tertarik oleh yang indah. Pakaian yang indah menarik kita, suasana yang indah menarik kita, pohon-pohon dan bunga-bunga menarik kita, lalu timbullah reaksi. Orang yang melukis akan menemukan bahwa keindahan itu bukan saja terletak pada bentuk, tetapi juga pada warna. Tetapi keindahan juga bukan hanya terletak pada bentuk dan warna, tetapi juga pada cahaya. Maka seorang pelukis yang hebat adalah pelukis yang bisa mengekspresikan impresi yang diterimanya dari cahaya yang mengakibatkan perubahan segala macam warna. Sebuah lukisan yang memiliki keindahan adalah sebuah nilai (nilai dari lukisan itu) yang berdasarkan nilai (nilai dari obyek lukisan) yang diciptakan oleh Nilai yang asli (Allah sebagai sumber dari nilai). Allah adalah Nilai yang asli, ciptaan adalah nilai yang dicipta dan lukisan adalah nilai yang menilai nilai dari Nilai.

Kita tertarik oleh keindahan. Salah satunya adalah keindahan dari lawan jenis yang berbeda dengan diri kita! Itu adalah klimaks dari segala benda-benda seni. Tidak ada seni yang lebih tinggi daripada seni diri manusia. Manusia punya dua mata, satu hidung. Manusia bisa tertawa. Pada waktu manusia tertawa, wajahnya menjadi lebih manis. Apa yang mengakibatkan kemanisan itu? Bukankah manusia mempunyai keringat yang asin? Tetapi mengapa pada waktu manusia tertawa, kita melihatnya manis? Untuk menghancurkan makanan yang keras, manusia memakai giginya. Beberapa macam makanan yang keras seolah-olah memerlukan gergaji untuk memotongnya, tetapi Tuhan menciptakan gigi manusia. Bukan saja tidak jelek seperti gergaji, tetapi justru indah sekali. Pada waktu tersenyum seolah-olah gigi itu memantulkan cahaya, apalagi jika gigi itu rajin digosok oleh pemiliknya.

Tuhan menciptakan manusia dengan keindahan luar biasa. Kita mulai menuntut pengetahuan, kita menuntut keindahan di dalam hati, yaitu etika dan terakhir kita menuntut keindahan. Ini semua akhirnya menjadi kebudayaan.

Keindahan sampai pada puncaknya adalah keindahan yang ditemukan pada waktu kita menghubungkan yang nyata dengan yang abstrak. Di dalam perkembangan kesenian, kita mendengarkan satu definisi dari Aristoteles: Kesenian adalah imitasi alam.

Adam Lay adalah pelukis kuda yang amat hebat. Dia sengaja tinggal di sebelah kandang kuda untuk melihat gerak-gerik kuda. Ia memperhatikan dari dekat bagaimana kuda berlari, berjalan, atau segala reaksinya terhadap sekelilingnya. Mereka yang tidak mengerti tentang anatomi maupun kebiasaan kuda, biasanya membeli lukisan kuda yang sembarangan saja. Mereka tidak begitu memperhatikan otot-otot yang dilukis, anatominya, surainya, maupun pencahayaan dari lukisan kuda. Sebenarnya semua itu merupakan satu pelajaran dari satu buku (di antara seribu buku) yang ditulis oleh Aristoteles yang berjudul On the move of animals (Gerak-gerik berbagai binatang).

Mungkin kita pernah melihat lukisan yang persis dengan aslinya. Apa yang kita sebut sebagai “persis dengan aslinya”, sebenarnya adalah satu copy dari peta teladan yang ditangkap oleh sang pelukis. Ini persis dengan itu, berarti itu adalah sumber dari peta teladan ini. Dan yang itu adalah yang dicipta oleh Tuhan.

Ketika 1800 tahun setelah Aristoiteles, muncullah seorang bernama Da Vinci. Da Vinci mengatakan bahwa seni bukan hanya imitasi alam, tetapi seni merupakan tindakan, gerakan dari roh. The action of spirit. Apakah beda antara lukisan yang dijual di pinggir jalan dengan lukisan yang ditaruh di Metropolitan Museum of Art di New York? Bedanya yaitu, lukisan yang dijual di pinggir jalan hanya mempunyai warna, tapi tidak mempunyai pengaruh kejiwaan. Sedangklan lukisan di Museum of Art mempunyai pengaruh kejiwaan tersebut.

Jika kita melihat lukisan-lukisan dari Van Gogh, Raphael atau Da Vinci misalnya, kita akan melihat bahwa lukisan tersebut mempunyai semacam jiwa yang bergolak. Semacam gambaran yang berbicara kepada manusia. Berartus-ratus tahun terus berbicara. Itu disebabkan karena kebudayaan manusia yang terus berlangsung. Manusia dicipta oleh Tuhan menjadi makhluk-makhluk yang berkebudayaan.

2. Agama dan Pencarian akan Allah.

Jangan menganggap agama itu remeh. Barangsiapa meremehkan agama, orang itu akan digeser oleh agama! Salah satu sistem filsafat yang paling kuat dan paling menghina agama adalah komunisme. Waktu Rusia mengirimkan tank-tank dan serdadu-serdadu dengan senjata-senjata yang paling modern ke Afganistan, mereka mengira bahwa mereka dapat dengan mudah membasmi orang-orang yang beragama yang mereka anggap kuno. Tetapi buktinya setelah bertahun-tahun dilakukan, pada akhirnya serdadu-serdadu itu harus ditarik mundur.

Agama tidak pernah bisa dimusnahkan dari muka bumi ini. Orang-orang komunis menangkap pendeta-pendeta dan memasukkan mereka ke penjara, menangkap penginjil-penginjil dan memperlakukan mereka dengan kejam di Cina. Pada tahun 1949 hanya 780.000 orang Protestan yang mengikuti perjamuan suci, tetapi setelah komunis menguasai Cina dengan slogan-slogannya yang menyerukan untuk membasmi agama, maka 40 tahun kemudian orang Kristen di Cina menjadi 50 juta orang.

Mungkinkah agama dibuang dari hidup manusia? Tidak mungkin! Mungkinkah agama dibasmi dan dimusnahkan dari muka bumi? Tidak mungkin! Apa sebab? – Bukan saya yang menjawab hal ini tetapi jawaban berasal dari Alkitab – Karena Allah berkata bahwa dari satu orang, Dia telah menciptakan segala bangsa. Allah menciptakan manusia supaya mereka mencari Allah, supaya manusia boleh menjamah dan mengenal Dia. Ini adalah satu kehendak asli dari Allah.

God created man as a religious being. Kita adalah manusia yang beragama. Manusia yang hidup tidak mungkin tidak berada di dalam satu kesadaran di mana ia memerlukan kaitan-kaitan yang berfokus kepada kekekalan. Alkitab berkata: “Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan indah dan Dia memberikan kekekalan ke dalam manusia.” (Pengkhotbah 3:11).

Saudara adalah makhluk yang kekal. Sepuluh tahun kemudian Saudara akan menjadi lebih tua, dua puluh tahun kemudian Saudara akan menjadi lebih tua, lima puluh tahun kemudian Saudara mungkin sudah tiada. Tetapi waktu tidak bisa menggeser kekekalan. Zaman tidak bisa meniadakan kita. Kerusakan badaniah tidak bisa menghambat keberadaan kita dan sejarah tidak mungkin menghentikan keberadaan kita. Di dalam diri kita masing-masing ada kekekalan. Manusia adalah makhluk yang kekal.

Kiranya Tuhan mengarahkan dan memimpin kita untuk hidup berkebudayaan sesuai kehendak-Nya. Hidup keagamaan sesuai kehendak-Nya. Kiranya kita mencari yang sungguh dari Tuhan. Mencari yang bajik berdasarkan Tuhan. Mencari yang kekal berdasarkan kehendak Tuhan. Dan kita akan mengarahkan respon kita kepada Allah dengan kejujuran, keikhlasan dan kesungguhan.

Jangan menganggap kita boleh mengabaikan faktor agama di dalam mencari pasangan hidup. Konsep agama adalah konsep dasar yang lebih kuat dan lebih berpengaruh daripada konsep-konsep yang lain. Segala konsep akan kembali kepada konsep yang mendasar yaitu agama. Itu sebabnya, jangan sembarangan. Hiduplah dalah hidup keagamaan yang baik. Hiduplah dalam hidup kebudayaan yang baik yang sesuai dengan kehendak Tuhan,

Amin.

Sumber:

Nama Buku        :  Mengetahui Kehendak Allah

Sub Judul          :  Bab V : Kehendak Allah Dalam Wahyu Umum

Penulis              :  Pdt. DR. Stephen Tong

Penerbit            :  Momentum, 2010

Halaman           :  69 – 82