lawKurang lebih satu tahun yang lalu dalam tulisan yang berjudul “Bila SPT Lebih Bayar Mengajukan Restitusi?”  penulis menjelaskan bahwa Wajib Pajak berhak untuk meminta pengembalian pajak apabila menurut penghitungan Wajib Pajak pajak yang telah dibayar lebih besar dari pajak yang seharusnya terutang, serta dijelaskan proses yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak sebelum benar-benar dikembalikan kepada Wajib Pajak.  Maka dalam tulisan kali ini penulis mencoba membahas terkait legalitas pengembalian pajak dalam tulisan yang berjudul “Bila Legalitas Restitusi Pajak Dipertanyakan?”, semoga tulisan ini memberi  informasi terkait aturan restitusi pajak.

Lebih bayar dalam konteks Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terjadi apabila Pajak Masukan (PM) lebih besar dari Pajak Keluaran (PK). Pengertian PM adalah PPN yang telah dibayar pada saat pembelian barang/jasa sedangkan PK adalah PPN yang dipungut pada saat penjualan barang/jasa.

Wajib Pajak dapat mengajukan permohoan restitusi PPN pada setiap akhir tahun (masa Desember). Dan setiap masa bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan hal-hal sebagai berikut :

  1. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak (JKP)
  2. Penyerahan BKP/JKP kepada pemungut PPN
  3. Penyerahan BKP/JKP yang PPN nya terutang namun tidak dipungut
  4. Perolehan barang modal bagi dalam tahap belum berproduksi

Mekanisme dan Jangka Waktu Restitusi

Sebagaimana dijelaskan dalam  tulisan sebelumnya bahwa terkait mekanisme dan jangka waktu pengembalian pajak (restitusi) diatur dalam :

  1. Pasal 17B UU KUP yang menyatakan “Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas ) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap”.
  2. Pasal 17D UU KUP yang menyatakan “Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu,  menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai”.

Pengertian di atas menyimpulkan bahwa atas permohonan restitusi dapat diselesaikan oleh 2 (dua) kondisi yaitu 1) melalui pemeriksaan dengan jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap dan 2) melalui penelitian dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.

Restitusi PPN & Pemeriksaan

Bagi Wajib Pajak masuk kriteria di mana Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran dapat mengajukan restitusi kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak ditempat PKP dikukuhkan. Proses restitusi sebagaimana dijelaskan di atas diatur oleh Undang-Undang yaitu pasal 17 UU KUP yang menyatakan “Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang”.

Pemeriksaan terkait permohonan restitusi Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan tertentu berdasarkan Undang-Undang hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak dengan Standar Umum Pemeriksaan, Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, dan Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan yang diatur dalam pasal 6  ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.

Umumnya fokus pemeriksaan terkait Lebih Bayar jenis PPN adalah membuktikan bahwa atas Pajak Masukan yang dilaporkan adalah benar dan sudah disetorkan ke kas negara serta berhubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak. Karena media yang digunakan adalah Faktur Pajak maka umum dilakukan adalah melakukan penelitian atas kebenaran Faktur Pajak bisa melalui konfirmasi sebagaimana diatur dalam KEP-754/PJ/2001. Maka setelah prosedur tersebut dilakukan dan terbukti memang lebih bayar maka Pemeriksa menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) yang selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).

UU KUP Sebagai Hukum Administratif

Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan (KUP) disusun dengan tujuan antara lain untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta meningkatkan keterbukaan administrasi  perpajakan dan kepatuhan sukarela Wajib Pajak yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Karena tujuan akhirnya adalah meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan maka prioritas utamanya adalah penerimaan pun bila ada sanksi pidana di dalamnya hanya karena sanksi-sanksi lainnya yang sudah diatur tidak berdaya (ultimum remidium).

Sebagai penguat bahwa UU KUP adalah bercirikan hukum administratif adalah diberikannya kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan SPT (Pasal 8 ayat (1) UU KUP)  bahkan Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidak benaran SPT (Pasal 8 ayat (3) UU KUP). Yang lebih istimewa lagi dalam rangka penerimaan negara Wajib Pajak yang melakukan pidana secara sengaja sekalipun jika membayar pajak terutang dan sanksi 400% maka penyidikan akan dihentikan (Pasal 13A UU KUP).

Kesimpulan

Bagi Direktorat Jenderal Pajak tidak perlu ada keraguan sedikitpun apabila dalam melaksanakan pekerjaan sesuai yang diamanatkan oleh ketentuan termasuk di dalamnya proses pengembalian pajak (restitusi). Bagi institusi diluar Direktorat Jenderal Pajak yang mencoba mempertanyakan legalitas pengembalian pajak yang dilakukan oleh DJP adalah suatu kekeliruan kecuali yang dipersoalkan adalah terkait penyimpangan Pasal 36A ayat (4) UU KUP yang menyatakan “Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Perubahannya.

Artikel Terkait Lainnya :