Seperti kita ketahui bahwa Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dari Pemotong PPh Pasal 21 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, termasuk penerima pensiun.
Lalu siapakah pemotong PPh tersebut? Pemotong PPh Pasal 21 adalah pemberi kerja yang dikategorikan bisa sebagai Orang Pribadi (yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas), Badan, Cabang/Perwakilan/Unit, Bendahara/Pemegang Kas Pemerintah, Dana Pensiun, BPJS dan Badan-Badan Lain serta Penyelenggara Kegiatan.
Secara mudahnya penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dapat digolongkan menjadi 5 (lima) sumber bagi penerima penghasilan yang tata cara penghitungannya masing-masing berbeda, ke lima sumber tersebut yaitu :
- Sebagai Pegawai Tetap, pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.
- Sebagai Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
- Sebagai mantan pegawai, dewan komisaris/pengawas non pegawai tetap, sebagai peserta program pensiun yang masih berstatus pegawai.
- Sebagai Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
- Sebagai peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
Dalam tulisan berikut ini kita tidak membahas masing-masing keadaan bagi penerima penghasilan tersebut di atas, namun fokus pada tata cara penghitungan penghasilan PPh Pasal 21 atas upah harian khusus Pegawai Tidak Tetap dengan judul tulisan kali ini “ PPh Pasal 21 Atas Upah Harian”. Semoga tulisan ini memberi informasi yang bermanfaat bagi pembaca setia nusahati.com.
Upah Harian
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja disebut Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas.
Namun adakalanya pegawai yang bukan Pegawai Tidak Tetap menerima upah secara harian, sehingga tidak setiap penerima upah harian adalah Pegawai Tidak Tetap.
Pengertian upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian. Sekali lagi, bahwa baik Pegawai Tetap maupun Pegawai Tidak Tetap memungkinkan untuk menerima upah harian, namun penghitungan pemotongan PPh Pasal 21nya tidaklah sama.
Dasar Pengenaan & Pemotongan PPh Pasal 21
Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), berlaku ketentuan sebagai berikut:
- Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) hal ini dikarenakan batas tidak kena pajak harian adalah Rp. 300.000,-; atau
- dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah), dan jumlah sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Dalam hal Pegawai Tidak Tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP) yang sebenarnya. PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya. PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per tahun dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari. (Bisa saja upah harian sebesar Rp. 300.000,- namun dalam sebulan melebihi Rp. 3.000.000,- misal 11 hari kerja maka PTKP adalah 11 x(36.000.000,-/360)).
Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh Pegawai Tidak Tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Tarif Pemotongan Pajak & Penerapannya
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama diterapkan atas :
- jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah); atau
- jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 8.200.000,00 (delapan juta dua ratus ribu rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan (Apabila melebih Rp. 8.200.000,- sebulan maka atas penghasilan sudah masuk tarif lapisan 2 yaitu 15%).
Penghitungan PPh 21
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan:
- Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari:
- upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;
- upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
- upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
- Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp300.000,00, dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp3.000.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong
- Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp300.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp3.000.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp300.000,00, dikalikan 5%.
- Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp3.000.000,00 dan kurang dari Rp8.200.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
- Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp8.200.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan: PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.
Contoh Perhitungan
Pramudya Rodrikos (belum menikah) pada bulan Februari 2016 bekerja pada perusahaan PT Ralon Ban Jaya, menerima upah sebesar Rp400.000,00 per hari. Perhitungan PPh Pasal 21 Sehari :
Upah sehari di atas Rp. 300.000,- adalah Rp. 400.000,- dikurangi Rp. 300.000,- maka penghasilan kena pajak adalah Rp. 100.000,-. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah Rp. 100.000,- dikalikan 5 % sebesar Rp. 5.000,-
Pada hari ke-8 dalam bulan kalender yang bersangkutan, Pramudya Rodrikos telah menerima penghasilan sebesar Rp3.200.000,00, sehingga telah melebihi Rp3.000.000,00. Dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan Pramudya Rodrikos pada bulan Februari 2016 dihitung sebagai berikut:
Upah (8 hari kerja) Rp. 3.200.000,-
PTKP : (8 x (36.000.000,-/360)) Rp. 800.000,-
Penghasilan Neto Rp. 2.400.000,-
PPh Pasal 21
5% x 2.400.000 Rp. 120.000,-
PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan hari ke 7
7 x Rp. 5.000,- = Rp. 35.000,-
Maka PPh Pasal 21 yang dipotong hari ke 8 adalah Rp. 85.000,-
Jumlah sebesar Rp85.000,00 ini dipotongkan dari upah harian sebesar Rp400.000,00 sehingga upah yang diterima Pramudya Rodrikos pada hari kerja ke-8 adalah: Rp 400.000.- dikurangi Rp. 85.000,- sebesar Rp. 315.000,-
Pada hari kerja ke-9 dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan, jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah:
Upah sehari Rp. 400.000,-
PTKP (Rp. 36.000.000/360) Rp. 100.000,-
Penghasilan kena pajak Rp. 300.000,-
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp. 300.000,- Rp. 15.000,-
Ada yang bertanya, adakalanya kami memakai kuli yang bertugas hanya sesaat dengan bayar satu hari di atas Rp. 300.000,- namun kami tidak tega memotong pajaknya, bagaimana? Terkait hal ini maka atas pajaknya akan dibebankan kepada pemberi kerja karena hal tersebut merupakan amanat yang diberikan kepada Pemberi Kerja untuk melakukan pemotongan.
….