uang-recehPada tahun 2010 disebuah desa :

UANG Rp 100 alias seratus perak pada zaman sekarang bisa dikatakan tak bernilai, meski uang itu punya nilai. Jarang sekali transaksi barang senilai Rp 100. Paling laku untuk membeli satu permen. Ini gambaran betapa nilai uang tersebut sudah jarang dipergunakan.

Akan tetapi, uang sebesar itu ternyata punya nilai lebih di satu desa yang terletak di kaki Gunung Salak yakni Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kab. Bogor. Kalau dari Kota Bogor bisa dicapai dengan perjalanan sekitar 1,5 jam (kalau tidak terjebak macet).

Ternyata dengan mengumpulkan uang Rp 100 bisa dibangun rumah warga miskin yang semula tidak layak dihuni menjadi layak, membantu sekolah anak yatim, menyantuni orang jompo, dan sebagainya. Lah, kok uang seratus perak bisa menghasilkan hal-hal yang besar?

Kepala Desa Situ Udik Enduh Nuhudawi punya konsep sederhana dalam membangun desanya yang berpenduduk 14.000 jiwa dan hampir enam puluh persen adalah keluarga prasejahtera alias miskin, yaitu dengan uang seratus perak.

Caranya, di setiap rumah penduduk disediakan kotak celengan. Setiap warga dipersilakan secara ikhlas menyumbang dengan memasukkan uang ke kotak celengan tersebut Rp 100 setiap hari. Setiap hari, ada dua petugas di masing-masing RT yang mengumpulkan uang tersebut. Kemudian, uang tersebut disetorkan ke desa. Setiap bulan di kantor desa, diumumkan uang yang terkumpul setelah dipotong sepuluh persen untuk petugas yang mengumpulkan.

Menurut Enduh, setiap hari terkumpul rata-rata Rp 300.000 sampai Rp 500.000. Setiap RT minimal bisa mengumpulkan Rp 10.000/hari dan di desa itu terdapat 34 RT. Sejak dilaksanakan pada 2009 sampai sekarang, hasil uang recehan itu telah memberikan manfaat dalam membangun desa.

Pertanyaan berikutnya, kenapa ditetapkan Rp 100? Kenapa bukan Rp 1.000 atau Rp 10.000?

Enduh mengatakan, dengan seratus perak diyakini semua orang dari berbagai lapisan kehidupan bisa menyumbang, termasuk orang miskin. Sebab, niat menyumbang juga ada pada orang miskin. Bahkan, dalam ajaran agama Islam, tidak dinilai berapa besar nilai sumbangan, melainkan keikhlasannya.

Pemikiran itu terbukti. Ini gambaran nyata bahwa soal menyumbang, tidak ada perbedaan miskin atau kaya.

Apa yang dilakukan Enduh memberikan inspirasi dalam membangun kebersamaan. Inspirasi membangun desa dan inspirasi gotong royong serta menghilangkan batas kaya dan miskin. Inspirasi seratus perak tersebut membuat Enduh diundang oleh Kementerian Perumahan Rakyat untuk presentasi di depan para pejabat. Dia menjadi pembicara mewakili Provinsi Jawa Barat awal November lalu.

Dengan seratus perak itu, pada 2010, sebanyak 22 rumah tidak layak huni milik warga tidak mampu, bisa diperbaiki.

Inspirasi seratus perak telah memberikan pelajaran berharga yang tak ternilai yang hanya digagas oleh seorang kepala desa yang berada di kaki gunung jauh dari ibu kota Provinsi Jawa Barat.

Pikiran-Rakyat