Jumlah orang kaya (billionaire) baru memang paling tinggi berasal dari Brazil, Rusia, India, dan Tiongkok. Keempat negara ini termasuk kelompok negara yang paling mengesankan pekembangan ekonominya belakangan ini sampai-sampai mendapat kelompok tersendiri, yaitu BRIC yang merupakan kependekan dari Brazil, Rusia, India, dan China. Karena pertumbuhan ekonominya tinggi, di BRIC lahir ratusan orang kaya baru yang sebagian di antaranya menjadi billionaire. Tak heran ada semacam kepercayaan, bahwa jika mau jadi billionaire, berbisnislah di keempat negara itu.
Namun seorang pengusaha asal Turki mencoba melawan arus. Hamdi Ulukaya (kini 43 tahun) pergi ke Amerika Serikat untuk belajar. Ia kemudian merintis bisnis di sana dengan berjualan yoghurt tahun 2005. Ketika memulai bisnisnya jumlah karyawannya hanya lima orang. Tujuh tahun kemudian, 2012, jumlah karyawannya menjadi 2.000 orang. Penambahan jumlah SDM itu tentu karena bisnisnya melesat luar biasa. Omzetnya tela mencapai lebih dari US$1 miliar atau lebih dari Rp10 triliun. Pada 2013, lembaga audit terkemuka Ernst & Young menganugerahinya gelar Entrepreneur Dunia Tahun Ini. Majalah Forbes, pada 2014, memperkirakan kekayaannya sekarang mencapai US$1,4 miliar.
Intuisi
Di negara asalnya, Hamdi hidup di tengah keluarga yang berternak domba. Susunya diolah menjadi yoghurt dan keju. Tahun 1994, ketika usianya 22 tahun, ia pergi ke Amerika untuk belajar bahasa Inggris sekaligus melanjutkan pendidikan ke sekolah bisnis.
Namun beberapa saat setelah sekolah di Amerika ia malah drop-out. Orangtuanya kemudian menyarankan untuk berbisnis kecil-kecilan dengan berjualan keju. “Tak ada keju yang enak di sana. Kamu buat keju saja,” begitu saran sang ayah.
Hamdi sempat terkejut atas usulan itu. Meski ia cukup mahir membuat keju, pergi jauh-jauh ke Amerika hanya untuk membuat keju itu di luar harapannya. “Saya datang ke sini bukan untuk membuat keju,” katanya membantah. Tetapi akhirnya ia menuruti nasihat ayahnya juga. Mulailah ia membangun bisnis keju kecil-kecilan. Lama-lama bisnis kejunya makin berkembang.
Sampai tahun 2005, tiba-tiba ia membaca iklan di surat kabar yang menyebutkan bahwa ada sebuah pabrik yoghurt akan dijual. Pabrik itu terletak di dekat Utica, New York, milik perusahaan raksasa industri makanan dunia, Kraft. Pabrik itu lumayan besar, dengan luas 7.500 m2. Ia pun tertarik membelinya dengan modal pinjaman.
Awalnya ia meminta nasihat pada sejumlah temannya karena membeli pabrik itu akan sangat berisiko. Hampir tak ada temannya yang menyarankan untuk membelinya. “Semua orang di sekitar saya bilang saya ini gila. Perusahaan besar sekelas Kraft saja menutup pabriknya. Jika bisnis ini bagus mereka tak mungkin menutupnya,” katanya seperti dikutip Wall Street Journal.
Tetapi Hamdi punya firasat lain. Ia memutuskan membeli pabrik tersebut dengan dana pinjaman dari Small Business Administration, lembaga pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) AS. Berbisnis, katanya, sering kali harus mengandalkan intuisi yang sulit dijelaskan alasannya. Karena itu ia tak mampu menunjukkan pada teman-temannya data apa yang bisa memperkuat keputusannya itu.
Setelah pabrik itu dimilikinya ia merekrut empat mantan karyawan Kraft untuk mengoperasikan pabrik itu kelak. Selain itu ia mendatangkan ahli pembuat yoghurt langsung dari negara asalnya, Turki. Total ia merekrut lima karyawan. Di hari pertama mereka bekerja, kelima karyawannya itu nyaris menanyakan hal yang sama: “Sekarang apa rencananya?” Hamdi justru bingung menjawabnya. Yang ada dalam pikirannya adalah membeli cat dan segera mengecat pabriknya itu.
Sejak itu, selama 18 bulan kemudian ia dan timnya menggodok resep yoghurt-nya sesempurna mungkin. Ia tak mau memproduksi yoghurt sebelum mendapatkan resep idamannya. Itulah sebabnya pabriknya tak juga beroperasi selama 1,5 tahun sejak dibeli. Ini bukannya tak berisiko. Karena modalnya pinjaman, jika pabrik itu tak juga beroperasi hingga batas waktu tertentu, ia bisa dianggap gagal total. Tapi, ia tetap bersabar. Menurutnya, meski lama, jika segalanya dilakukan dengan detail hasilnya akan sempurna. Terlebih-lebih ia tahu apa kekurangan yogurt di AS dan apa kelebihan yoghurt yang ingin dijualnya.
“Di sini (AS), yoghurt itu penuh dengan gula. Pasarnya juga adalah kaum perempuan. Saya tidak tahu bagaimana orang sini menyebut itu sebagai yoghurt,” ujarnya. Selain itu ia juga merancang kemasan dan pemasarannya. Harganya ia patok sedapat mungkin terjangkau semua kalangan. “Harga yang saya tetapkan diusahakan sebagus mungkin dan terjangkau masyarakat tetapi berbarengan dengan itu saya pun masih memperoleh keuntungan untuk mengembangkan bisnis saya,” paparnya.
Akhirnya tahun 2007, pabriknya benar-benar beroperasi dengan nama Chobani. Ia memulai produksinya dengan bahan baku satu truk susu per hari dan hasilnya ia sebar ke sejumlah toko di sekitar New York. Konsepnya adalah menawarkan yoghurt yang menyehatkan dan dibuat dari bahan-bahan alami.
Jadi Billionaire
Segera setelah diluncurkan, yoghurt Chobani-nya langsung mendapat sambutan baik dan pasarnya makin lama makin luas. Tahun 2009, raksasa retail Cosco dan BJ’s pun ikut menjajakannya yang membuat bisnisnya makin berkembang. Sejak itu, tiap tahun omzetnya meningkat dua kali lipat. Untuk memenuhi permintaan yang makin banyak, ia bahkan sampai membangun pabrik baru di Idaho seluas 93.000 m2. Pabrik ini menjadi salah satu pabrik yoghurt terbesar di dunia.
Perkembangan bisnis yoghurt Chobani memang luar biasa. Terlebih-lebih hingga tahun 2011, ia tak pasang iklan sama sekali. Pembelinya datang karena terdorong cerita pengguna lain yang menuturkan kesan-kesannya tentang Chobani di media-media sosial. Ternyata efeknya begitu besar hingga menggelembungkan pangsa pasar yoghurt-nya di AS. Ia kemudian melakukan ekspansi hingga ke Inggris dan Australia.
Apa kunci sukses bisnisnya? “Suatu bisnis harus memiliki tujuan. Jika itu dilakukan, dampaknya akan sangat luar biasa,” tuturnya. Tujuan bisnisnya adalah menyediakan yoghurt yang menyehatkan, terjangkau, dan dijaga kualitasnya.
Sedangkan mengenai bisnisnya yang berkembang di AS, menurutnya, ini membuktikan bahwa meski bisnis lain jenuh di AS, bisnis yoghurt justru sedang berkembang. Itulah sebabnya bisnisnya berkembang pesat di sana dan dalam waktu tak sampai 10 tahun sudah membawanya menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Ia juga membuktikan bahwa tak perlu membuka bisnis di BRIC untuk menjadi billionaire baru seperti yang lain.
…
Sumber : https://www.andriewongso.com/articles/details/14534/Jadi-Billionaire-Gara-Gara-Yoghurt