Allah adalah Pencipta manusia yang adalah gambar dan rupaNya. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia memiliki sifat dasar, yaitu sifat agama dan sifat budaya. Manusia disebut manusia karena manusia mempunyai sifat budaya dan sifat agama. Dengan demikian barulah manusia dapat hidup sebagai manusia di dunia. Ketika kedua sifat ini disingkirkan dari manusia, manusia tidak lagi menjadi manusia. Manusia adalah manusia karena dapat mandiri, dapat melampaui alam, mengalahkan alam, kecuali sampai pada hari di mana batasan yang alam berikan kepadanya telah sampai. Manusia bukan hanya hidup selama beberapa puluh tahun di dunia, setelah meninggal, sifat budaya masih bisa berpengaruh bagi generasi berikut, sedangkan sifat agamanya membawa dia pulang ke tempat kekekalan dengan sejahtera.
Dari manakah datangnya sifat budaya dan sifat agama yang membentuk manusia? Singkatnya memang ada secara alami. Begitu manusia lahir, dia sudah mempunyai sifat agama dan sifat budaya. Tetapi perhatikan, tujuan dari sifat agama dan sifat budaya tidak bisa disejajarkan dengan alam. Jika budaya adalah produk alam, maka kebudayaan tidak mungkin menjadi alat untuk menguasai alam. Jika sifat agama adalah produk alam, mengapa agama seringkali melampaui, menentang bahkan menggeser alam? Jadi bila yang bersifat agama dan yang bersifat budaya bukan berasal dari alam, pasti hal-hal itu berasal dari sifat yang supernatural.
Itulah sebabnya para ahli ilmu alam seperti Herbert Spencer dan Thomas Henry Huxley, di dalam keheranannya mengatakan kalimat yang istimewa: “Rasio dan hati nurani manusia sama sekali bukan produk evolusi“. Mereka sama sekali tidak memberitahukan dari mana asal rasio dan hati nurani manusia. Mereka hanya secara terpaksa mengakui adanya bagian supernatural di dalam diri manusia.
Kita menemukan dua macam unsur yang sama sekali berbeda telah membentuk sifat manusia kita yakni kita mempunyai tubuh yang hampir sama dengan binatang, membutuhkan makanan dan seks; namun di dalam diri manusia masih terdapat satu unsur lain, yang ikut membentuk bagian yang lebih dalam dan lebih penting yang bisa membuat kita tidak mengindahkan kemuliaan dan kemewahan dunia, memandang enteng akan kesengsaraan hidup, dan membuat kita mempunyai sifat-sifat transendental seperti tidak merasa iri, tidak membenci, dan tidak merendahkan mereka yang lebih hina dari kita. Jika manusia hanya mempunyai kebutuhan makan dan seks saja, hidup kita di dunia ini tidaklah memiliki nilai yang istimewa.
Dari manakah datangnya unsur transendental itu? Tidak ada satu kebudayaan yang bisa memberi jawaban pada pertanyaan tersebut, karena tatkala manusia mencari tahu tentang kebenaran ini, mereka langsung menetapkan bahwa unsur tersebut adalah produk dari kebudayaan sehingga mereka tidak betul-betul mempelajari dari mana unsur itu datang. Hanya Firman Tuhan menguraikan asal unsur-unsur itu dengan jelas. Sayang sekali, banyak orang sudah keburu meninggal dunia sebelum mereka mengerti kekristenan dengan benar. Tapi yang paling kasihan adalah orang-orang yang setiap hari memperkenalkan kekristenan kepada orang lain padahal diri mereka sendiri sama sekali tidak tahu apa-apa. Jadi bukan saja ada orang yang belum sempat memahami dan sudah meninggal dunia, ada juga orang yang belum sempat memahami sudah berani mengajar orang lain, sehingga mereka bukan hanya tidak bisa menunjukkan nilai kekristenan sesungguhnya kepada dunia, bahkan diri mereka sendiri juga tidak menikmatinya dan hidup mereka tentu tidak berbeda dengan mereka yang bergumul dengan alam: tanpa arah dan tanpa prinsip.
Kebudayaan membuat manusia berniat dan berusaha melampaui alam. Maksudnya, tak perduli di dalam masyarakat yang paling maju teknologinya atau di antara bangsa yang paling primitif dan belum beradab sekalipun, kita akan menemukan sifat yang sama, yang melampaui alam, yang menguasai alam, yang menang atas alam, yang memanfaatkan alam, dan yang membuat alam takluk di bawah dirinya.
Inilah yang menyebabkan manusia tidak dapat dimusnahkan oleh binatang buas, melainkan tetap hidup di dunia ini. Manusia telah menaklukkan alam dengan kebudayaan. Manusia dapat menggunakan benda sebagai alat, dapat menjadikan hasil tanah sebagai suplai kebutuhan hidup dan dapat memakai semua fungsi yang transendental ini untuk mengubah prinsip alam sebagai hamba manusia.
Bila kita pergi ke daerah pedalaman, kita akan menemukan alat-alat yang mereka pakai, baik yang terbuat dari batu, kayu, bambu yang sangat sederhana, tetapi mempunyai hikmat yang tinggi. Orang-orang primitif memakai alat-alat itu untuk memelihara hidup mereka dan khasiatnya tidak berbeda dengan bom atom yang digunakan oleh manusia modern.
Menaklukkan alam adalah satu fungsi terbesar dari manusia, namun manusia juga menemukan bahwa sifat manusia yang bisa menaklukkan alam ini akan dihancurkan oleh alam. Maksudnya, manusia menaklukkan alam tapi pada waktu tua dan mati, manusia akan dikebumikan oleh alam. Jadi sebenarnya manusia yang menaklukkan alam atau alam yang menaklukkan manusia? Saling menaklukkan dan akhirnya ditaklukkan.
Manusia melampaui alam, tapi akhirnya manusia harus dikebumikan oleh alam. Manusia boleh saja memiliki tanah yang amat luas, tapi yang dia peroleh hanyalah sebidang tanah yang luasnya 2×1 meter saja. Kebudayaan pada akhirnya telah mendatangkan kehancuran bagi sifat manusia. Betapa ironis!
Lalu muncullah sifat lain yang ingin melebihi sifat pertama, yaitu yang disebut sifat agama. Sifat agama bukan saja memberikan rasa tanggung jawab moral dan kelakuan, memberikan kesadaran akan kekekalan yang melampaui kesementaraan, juga memberikan arah ibadah kepada Dia yang kekal. Lalu apakah akibat dari sifat agama ini?
Kita berharap bahwa di balik fakta yang menaklukkan kita dan pengalaman yang kejam itu terdapat sesuatu yang melampaui semua ini, sehingga suatu hari pada waktu kita tinggalkan dunia ini, kita masih tetap berada bahkan sampai selama-lamanya di dalam kebahagian yang kekal, di dalam nilai pengharapan yang kekal. Itulah segala yang bersifat masyarakat, yang bersifat politik maupun yang bersifat otonomi tidak mampu membasmi yang bersifat budaya dan agama. Manusia disebut manusia karena manusia dapat melampaui dan menaklukkan alam. Manusia yang hanya dapat menaklukkan alam tidak termasuk orang hebat, tapi mereka yang bisa sungguh-sungguh melampaui alam baru disebut orang hebat. Jadi kita bukan hanya memiliki hukum untuk menaklukkan alam, tapi juga memiliki arah dan hukum kekal. Dengan demikian barulah kita memiliki pengharapan dan arah yang kekal.
Kita telah membahas tentang pentingnya sifat budaya dan sifat agama dengan jelas. Lalu dari manakah sifat agama? Darimanakah sifat budaya? Kita tidak boleh menganggap sifat budaya dan sifat agama sebagai produk alam, juga tidak dapat menyebutnya sebagai proses evolusi. Bukan saja orang Kristen menolak pendapat ini, bahkan para ahli evolusi juga mengakui bahwa sifat ini sendiri pasti mempunyai sumber lain dan sumber itu adalah Allah yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya.
Manusia dicipta sesuai dengan gambar dan rupa Allah, jadi keberadaan Allah adalah dasar dari sifat budaya dan sifat agama. Allah adalah sumber utama dari sifat budaya dan sifat agama manusia. Sifat budaya dan sifat agama membuat manusia tidak bisa tidak memikirkan kebenaran-kebenaran penting, seperti keberadaan Allah dan hubungan langsung antara manusia denganNya. Ahli agama memikirkan tentang Allah, para ahli budaya juga demikian. Ahli agama merenungkan tentang relasi manusia dengan kekekalan, ahli budaya merenungkan tentang nilai kekekalan itu sendiri. Ahli agama merenungkan tentang hal-hal yang melampaui alam, ahli budaya juga merenungkan bagaimana menaklukkan alam.
Agama dan budaya mempunyai topik dan wilayah pemikiran yang sama tapi apakah agama itu budaya atau budaya itu agama? Bolehkah kita memperlakukan kebudayaan sebagai agama atau memperlakukan agama sebagai kebudayaan? Bolehkah kita membudayakan agama atau meng-agama-kan kebudayaan? Apakah agama yang sudah dibudayakan adalah agama yang murni atau budaya yang sudah diagamakan adalah budaya yang murni? Siapakah yang menetapkan jaminan dari sifat agama ini? Siapakah yang menetapkan nilai dari sifat budaya? Di sepanjang sejarah, manusia terus mengadakan evaluasi atas kebudayaan yang telah lalu untuk dikukuhkan atau ditolak.
Tatkala orang Spanyol ingin memperingati jasa Colombus yang ke-500 tahun, banyak orang menolak karena menganggap dia sebagai seorangpembunuh, seorang yang berambisi besar, dan seorang perampok. Jadi siapa Colombus, pahlawan atau penjahat? Ini relatif sekali.
Maka penetapan nilai dari sifat agama dan sifat budaya tidaklah berasal dari dalam diri manusia karena manusia adalah relatif, tidak mempunyai kuasa dan kemampuan untuk memberikan penetapan yang mutlak. Jadi penetapan itu hanya dapat dilakukan oleh Allah.
…
Sumber : Diambil dari buku Dosa dan Kebudayaan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, DLCE halaman 9 sampai dengan 14.