africa

Kesulitan  Keuangan?

Pembaca yang berkecimpung dalam dunia perpajakan pasti mengetahui bunyi pasal 36 ayat (1) UU KUP, ya pasal ini mempunyai semangat keadilan di mana apabila Wajib Pajak diterbitkan sanksi administrasi sementara sanksi tersebut diterbitkan karena kekurang telitian petugas pajak dan atau Wajib Pajak  tidak memahami peraturan perpajakan maka sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Banyak kali penulis menuangkan dalam bentuk tulisan yang terkait dengan Pasal 36 ayat (1) ini di antaranya dapat di baca dalam link sebagai berikut :

  1. Sekilas Tentang Sanksi Administrasi Dalam Perpajakan (Bagian I)
  2. Sekilas Tentang Sanksi Administrasi Dalam Perpajakan (Bagian II)
  3. Sekilas Tentang Pengurangan Sanksi
  4. Bila Pengurangan Sanksi Dapat Diterima
  5. Dan Lain-Lainnya

Adapun fokus obrolan tulisan kali ini adalah terkait dengan fenomena yang menyimpang dari pada Pembayar Pajak atau kita kenal dengan istilah Wajib Pajak.

Adalah suatu kebijakan apabila kami (Penelaah Keberatan) mengundang Wajib Pajak datang ke Kantor Wilayah sehubungan dengan permohonan pengurangan/penghapusan sanksi yang diajukan, yaitu untuk memastikan apakah pengajuan tersebut telah sesuai dengan ketentuan atau tidak, serta untuk memberikan informasi perpajakan. Karena tanpa mengundang Wajib Pajak pun sesungguhnya dapat diputuskan karena terkait kewajiban dan kepatuhan perpajakan dapat diteliti dengan sistem informasi yang dimiliki oleh Direktorat jenderal Pajak.

Dasar Hukum Pengurangan/Penghapusan Sanksi

Bunyi Pasal 36 ayat (1a) UU KUP adalah sebagai berikut “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.

Varians Alasan Wajib Pajak

Yang menjadi alasan Wajib Pajak dalam surat permohonannya selalu beragam dan banyak dari yang masuk tidak mengacu kepada dasar hukum tersebut di atas, untuk itulah saya biasanya mengundang Wajib Pajak.

1. Tidak Khilaf

Satu waktu Wajib Pajak memenuhi undangan kami, Wajib Pajak ini diterbitkan sanksi administrasi pasal 8 ayat (2a) UU KUP karena terlambat menyetorkan jenis pajak Masa PPN. Dengan jelas dan mantap Wajib Pajak menjelaskan apa yang menjadi alasan dalam permohonan pengurangan/penghapusan sanksi tersebut, dengan dialog kira-kira seperti ini.

Wajib Pajak : Mohon pak, kalau sanksi ini harus kami bayar maka perusahaan kami terancam untuk tutup, karena omset kami semakin hari semakin turun.

Penelaah Keberatan : Baik pak, dalam surat bapak pun dijelaskan bahwa omset bapak turun yang menyebabkan berat untuk membayar sanksi. Namun perlu kami sampaikan bahwa untuk menjadi dasar bahwa pengurangan/penghapusan sanksi dapat dikurangkan/dihapuskan adalah memenuhi unsur Kekhilafan sebagaimana di amanatkan oleh undang-undang. Kekhilafan ini bisa karena kekurang tahuan peraturan perpajakan yang sering berganti-ganti ketentuan,  menyebabkan Wajib Pajak tidak tahu dan atas ketidaktahuan tersebut diterbitkan sanksi administrasi.

Wajib Pajak : Jujur pak, saya tidak khilaf. Terus terang uang PPN yang kami terima kami gunakan untuk biaya operasional, jika hal itu sudah terpenuhi maka kami baru menyetor Pajak Pertambahan Nilai, akibat keterlambatan pembayaran tersebut maka kami dikenakan sanksi. Pokok pajak saja perusahaan berat membayar apalagi ditambah bunga. Untuk itu mohon sanksi tersebut dihapuskan, jika tidak maka kami akan tutup.

Penelaah Keberatan : ?

2. Iklim Bisnis Tidak Menentu

Di waktu yang lain Wajib Pajak yang lain datang memenuhi undangan kami, sama dengan di atas Wajib Pajak ini diterbitkan sanksi administrasi pasal 8 ayat (2a) UU KUP karena terlambat menyetorkan jenis pajak Masa PPN. Dengan jelas dan mantap Wajib Pajak menjelaskan apa yang menjadi alasan dalam permohonan pengurangan/penghapusan sanksi tersebut, dengan dialog kira-kira seperti ini.

Wajib Pajak : Kondisi bisnis kali ini tidak menentu pak, beberapa perusahaan yang menjadi pelanggan setia kami tutup, menyebabkan kondisi keuangan tidak menentu menyebabkan kami terlambat menyetor PPN, atas keterlambatan tersebut kami diterbitkan sanksi administrasi. Mohon atas sanksi tersebut untuk dikurangkan/dihapuskan.

Penelaah Keberatan : Baik bu, dari hasil penelitian dari data dan informasi yang kami miliki, perusahaan ibu memang sering menunda membayar Pajak Pertambahan Nilai dan sudah biasa diterbitkan sanksi administrasi namun bapak selalu melunasinya.

Wajib Pajak : Betul pak, itu membuktikan bahwa kami memang  mengalami kesulitan keuangan akibat berkurangnya pelanggan kami, dan itu tidak kami prediksi sebelumnya.

Penelaah Keberatan : Begini bu, perlu kami sampaikan bahwa untuk menjadi dasar bahwa pengurangan/penghapusan sanksi dapat dikurangkan/dihapuskan adalah memenuhi unsur Kekhilafan sebagaimana di amanatkan oleh undang-undang. Kekhilafan bisa karena kekurang tahuan peraturan perpajakan yang sering berganti-ganti ketentuan,  menyebabkan Wajib Pajak tidak tahu dan diterbitkan sanksi administrasi.

Wajib Pajak : Kami tidak khilaf, ini memang semata-mata karena kesulitan keuangan yang menyebabkan kami tidak bisa membayar sanksi, dahulu kami membayar sanksi karena secara ekonomi kami masih mampu membayarnya. Namun kali ini berbeda, bapak kami undang untuk melihat tempat usaha kami.

Penelaah Kebaratan : ?

Karena sudah memasuki tahun ke empat bertugas sebagai penelaah keberatan, contoh di atas adalah sebagian kecil bagaimana Wajib Pajak memperlakukan uang Pajak Pertambahan Nilai yang mereka pungut dan seharusnya disetorkan ke kas negara. Dan dengan penuh kepercayaan diri menyampaikan alasannya sehingga mereka pantas untuk menerima penghapusan sanksi administrasinya.

Walaupun sebagai petugas pajak, saya merasa tidak nyaman jika penerimaan pajak bersumber dari sanksi administrasi, namun melihat kasus–kasus sebagaimana contoh di atas ada sesuatu yang hilang dan sepertinya tidak dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak. Yaitu petugas yang mumpuni yang dapat secara langsung mengawasi kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak dalam hal ini jenis Pajak PPN.

Dalam kasus di atas, sangat jelas bahwa Wajib Pajak selalu menyetor uang PPN yang dipungut sesukanya dan tidak tepat waktu serta berlangsung terus menerus, bukankah seharusnya petugas pajak dapat melakukan Pemeriksaan Khusus karena sudah menjadi modus Wajib Pajak. Namun, sepertinya petugas pajak sudah cukup puas dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak atas modus keterlambatan tersebut.

Berbicara pajak memang sangat menyebalkan, hampir semua sepakat untuk itu. Namun jika bukan karena uang pajak maka sesuatu yang lebih mengerikan akan terjadi pada negeri yang aman dan nyaman ini. Untuk itulah maka Direktorat Jenderal Pajak mengajak Pembayar Pajak untuk sama-sama mengawasi kemana uang pajak itu diberdayakan.

Selamat Menyambut Hari Raya Idul Fitri dan Selamat Berlibur, Salam