Pdt. Dr. Stephen Tong

Pdt. Dr. Stephen Tong

Firman : Yohanes 17 : 19-23

Kita telah membahas hal yang sangat penting yaitu bagaimana manusia bisa menguduskan diri. Untuk membersihkan diri, kita perlu bercermin lebih dahulu. Cermin akan melepaskan subjektivitas kita yang sempit, lalu menilai diri secara objektif. Firman Tuhan ibarat cermin. Barang siapa mendengar firman, tetapi tidak sucikan diri, ibarat orang sudah melihat cermin tetapi tetap tidak merapikan diri. Bagaimana engkau mengurus dirimu, melihat, dan menilai dirimu adalah pelajaran yang sangat besar dan tindakan yang sangat penting.

Roma 12:3 mengatakan, “Lihatlah dirimu melalui ukuran iman, yang diberikan Tuhan, jangan kelebihan.” Jika lebih, kita jadi superior, jika kurang, kita jadi inferior. Dua ekstrem dan dosa yang sulit kita lepaskan saat menilai diri. Pertama, kita menilai diri lebih dari sebenarnya. Tiga macam dosa akan timbul: (1) menjadi sombong, (2) merebut kemuliaan Allah, dan (3) menghina orang lain. Mengapa menjadi sombong? Karena engkau melihat diri lebih dari yang seharusnya. Sebenarnya engkau hanya 60, tetapi engkau lihat diri 90, lalu anggap diri begitu besar. Tambahan 30 itu adalah tipuan setan. Lalu engkau merebut kemuliaan Tuhan Allah, seolah-olah itu milikmu sendiri, tidak mengakui itu semata-mata anugerah. Jika saya diberi kesehatan, keelokan, kebijaksanaan, semuanya anugerah Tuhan, layakkah saya? Tidak! Engkau harus bersyukur kepada Tuhan jika ada kelebihan yang Tuhan percayakan padamu. Orang yang memahami ini akan hati-hati dengan segala yang ia miliki. Semua akan dipakai Tuhan untuk menghakimimu. Semua itu Tuhan percayakan kepada kita, tetapi kemudian kita menganggap itu milik kita, merasa diri kita begitu hebat.

Kedua, menilai diri kurang dari sebenarnya. Tiga macam dosa akan timbul: (1) menjadi rendah diri (minder), (2) menyalahkan Allah, dan (3) iri hati kepada orang lain. Jika kita menilai diri kurang, kita menghina diri, melihat diri tidak berguna. Setiap kali bercermin, “Buat apa saya hidup, apa perlunya saya ada?” Orang yang terbiasa tidak menghitung anugerah Tuhan, makin lama makin tidak bersandar Tuhan, dan makin mengira ia dibuang Tuhan. Jangan lupa menghitung anugerah Tuhan. Orang yang selalu menghitung anugerah Tuhan, selalu sadar ia tidak layak mendapat anugerah. Ia akan berterima kasih, bersyukur, dan bersukacita tidak habis-habisnya dalam hati. Jika ini selalu ada pada kita, kerohanian kita sehat, stabil, dan kuat. Menilai diri kurang sangatlah berbahaya.

Iblis sangat pandai menjatuhkan kita ke dalam enam jenis dosa, yaitu: sombong, rendah diri, merebut kemuliaan Allah, mencela Allah, menghina orang lain, atau iri hati kepada orang lain. Enam dosa ini merusak hubungan antarpribadi yang sulit dipulihkan. Jika terlalu rendah melihat diri, kita akan menjadi rendah diri (minder). Orang rendah diri belum tentu kalah dari orang lain, tetapi ia selalu merasa diri sudah kalah. Maka hidupnya kehilangan sukacita. Ia jadi tidak rela untuk hidup, untuk bekerja keras, menanggung kesusahan, dan menjalankan kewajibannya. Ini semua adalah tipuan Iblis yang melemahkan dan merusak kerohanian kita.

Ada orang berani mencela Tuhan, padahal sebenarnya Tuhan tidak pernah bersalah. Apa kesalahan Tuhan sehingga engkau berani mencela atau mengkritik-Nya? Ketika Tuhan melakukan hal yang tidak sesuai dengan keinginanmu, engkau yang harus bertobat. Orang yang mencela Tuhan, secara tidak sadar ia menganggap dan menjadikan dirinya sebagai tuhannya Tuhan. Kiranya Tuhan mengampuni kita dan menjadikan kita orang yang tahu bersyukur, mau diatur oleh Tuhan, dan melihat segala yang Allah kerjakan baik adanya, walau terkadang kita tidak mengerti apa yang Tuhan sedang kerjakan.

Menurut Buddhisme, keinginan adalah sumber dan dasar penderitaan. Alkitab mengajarkan juga makna ini, namun bukan dengan pengertian yang sama. Jika kita punya keinginan, kita harus mencocokkan keinginan kita dengan keinginan Allah. Jika keinginan kita sejalan dengan keinginan Allah, maka kita akan menjadi stabil dan penuh damai sejahtera. Untuk itu kita harus belajar menerima apa yang Tuhan kerjakan di dalam hidup kita. Kita harus rela menerima sesuatu yang sulit, sehingga kita mulai belajar memiliki hidup yang stabil, tidak diganggu kekacauan dan pencobaan yang merusak hidup kita.

Menilai diri dengan sepatutnya memang sangat susah. Untuk ini ia harus menjadi seorang psikolog yang baik. Percuma kita belajar psikologi dari banyak buku dan punya banyak gelar. Ia harus kembali kepada apa yang Alkitab katakan. Terkadang Alkitab hanya mengungkapkan sesuatu dalam satu kalimat, namun maknanya begitu melimpah, lebih dari ribuan halaman buku. Kita harus senantiasa mengevaluasi diri kita sesuai Alkitab, terus bersandar kepada Tuhan, setiap saat kembali kepada-Nya. Jika tidak demikian, penyelewengan pasti terus terjadi tanpa kita sadari. Tuhan Yesus menjadi standar yang paling tepat dan akurat mutlak tanpa kompromi.

Di dalam ayat 19, Tuhan Yesus berkata, “Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka.” Untuk menjadi teladan, kita harus baik-baik menguduskan diri agar orang lain bisa meneladani kita. Ayat 20 menyatakan anugerah Tuhan tidak berhenti pada para murid saja, tetapi Ia juga mendoakan semua orang yang percaya melalui pemberitaan para murid. Tuhan Yesus tidak mendoakan semua orang. Ini berbeda dengan pemikiran Arminian yang terlalu naif, karena menekankan Tuhan tidak mau seorang pun binasa. Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa tidak semua orang masuk sorga. Bahkan dikatakan, “Jangan sampai mereka melihat, mendengar, lalu mereka berbalik, sehingga Aku menyembuhkan mereka.” Apakah ini “pilih kasih”? Saya tidak mengerti istilah “pilih kasih”. Sering kali pilih kasih merupakan vonis manusia kepada Tuhan; yang tidak adil sedang mengkritik Hakim yang Mahaadil. Dua kali di ayat yang sama, Ulangan 32:4 dikatakan: “Allah itu adil dan benar adanya; Ia tidak pandang bulu.” Saya hanya dapat mengatakan bahwa Allah berdaulat, “Aku akan menganugerahi siapa yang Kuanugerahi, Aku akan mengasihi siapa yang Kukasihi.” Kedaulatan Allah tidak boleh diganggu gugat. Jika Anda bertanya, bagaimana dengan yang tidak dikasihi, maka saya akan menjawab saya tidak mengerti. Allah Mahabijak dan Maha-berdaulat. Ia Mahabijak sehingga Ia tidak mungkin salah; Ia Maha-berdaulat sehingga Ia berhak melakukan segala sesuatu sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya sendiri. Di luar itu saya tidak tahu, karena saya adalah manusia yang dicipta, yang terbatas, dan yang tercemar. Maka, saya hanya bisa berkata, “Tuhan, saya mengerti karena Engkau menganugerahkan itu kepadaku dan saya bersyukur. Saya tidak mengerti karena Engkau tidak menyatakan itu kepadaku, saya pun menerimanya dengan berharap ketika nanti saya bertemu Engkau, saya akan menjadi jelas.” Jangan heran jika ada hal-hal yang engkau tidak mengerti, karena justru itu menunjukkan bahwa engkau hanyalah seorang manusia yang berdosa.

Di dalam ayat 9 sudah ditegaskan bahwa Tuhan Yesus tidak mendoakan semua orang dan juga tidak semua orang diselamatkan. Ada pemilihan, anugerah khusus bagi mereka yang dipilih. Kemudian, ayat 20 adalah penerobosan, dengan “tetapi juga”, yang artinya ada orang lain yang turut dianugerahi oleh Allah. Jadi kini kita melihat dua kelompok yang dianugerahi: 1) para rasul dan 2) yang mendengar berita dari para rasul. Hal kedua ini memberikan kelanjutan tanpa akhir. Jika Tuhan hanya berdoa bagi kedua belas murid saja, bagaimana dengan mereka yang menerima Tuhan karena khotbah Petrus? Semua orang yang sudah Kristen harus memberitakan Injil, maka pemberitaan tidak berhenti pada lingkaran pertama. Dengan cara ini penginjilan terus berlanjut, gereja bertumbuh. Ketika seorang anak kecil datang kepada Yesus, memberikan lima roti dan dua ikan, Yesus tidak menghina, melainkan menerima persembahan anak itu dan menjadikannya banyak. Di sini terjadi performance of creation (demonstrasi karya penciptaan). Roti yang satu menjadi berlipat-lipat ganda, tidak habis multiplikasinya. Kuasa penciptaan Allah ditampilkan kembali. Dari tangan-Nya keajaiban itu muncul. Mujizat seperti ini terus terjadi hingga saat ini. Dari persembahan satu orang, di tangan Tuhan ciptaan itu terus berkembang menjadi berkat bagi banyak orang.

Ketika saya berusia 17 tahun, saya berkata kepada Tuhan, “Saya serahkan diri menjadi hamba-Mu, saya akan membagikan firman-Mu.” Melalui seorang muda berusia 17 tahun, sekarang firman itu sudah dibagikan kepada lebih 32 juta manusia. Di tangan Tuhan, mujizat terjadi dan penciptaan terulang. Jika roti sudah habis, ia kembali kepada Tuhan. Yang di tangan Tuhan tidak pernah habis; yang tidak terbatas membagi tidak habis-habisnya kebutuhan semua orang. Namun, jika para rasul sudah membagi sampai separuh lalu berhenti dan tidak mau membagi lagi, maka ia menghambat pekerjaan Tuhan. Terkadang manusia bukan merintangi, tetapi berhenti menjadi berkat dan tidak membagikan firman. Jika kita mengerti konsep ini dengan jelas, maka engkau tidak berani malas. Kekristenan harus mengerti beda antara menghambat pasif dan menghambat aktif.

Banyak orang terlalu tinggi menilai diri, menganggap diri tidak pernah melarang, padahal ia sudah melarang secara pasif. Memang kelihatannya tidak melarang secara aktif, tetapi ketika engkau tidak setuju, tidak mau membagi dan bekerja sama, sebenarnya engkau sudah menghambat dan melarang pekerjaan Tuhan. Bersyukurlah jika sudah kaukerjakan, lalu mohon kekuatan Tuhan untuk bisa terus mengerjakannya. Terkadang saya heran setelah 56 tahun [red. tahun ini sudah 58 tahun] berkhotbah setiap minggu, bahan itu bisa terus berkembang. Hanya bersandar kepada Dia yang tidak terbatas, dan terus memberi, terjadi seperti yang dikatakan di dalam Yohanes 7:38: “Dari dalam hatinya mengalir aliran-aliran air hidup,” yang terus memancar tidak habis-habis. Inilah janji Tuhan. Ketika kita melayani Tuhan, selalu ada kekuatan, kesegaran, dan bahan yang tidak habis-habisnya.

Tuhan tidak hanya memakai kita, tetapi juga melalui apa yang kita beritakan orang lain akan mendapat berkat. Saya mengamati terkadang pelayanan kita mulai berhenti karena sudah menjadi terbiasa, malas, dan tidak lagi berbeban membagikan anugerah. Kiranya Tuhan menyegarkan kita kembali.

Hal ini dilanjutkan di ayat 21 dengan menekankan kesatuan (union) antara Pencipta dan ciptaan, yang bukan unity in substance (kesatuan substansi). Bagaimanapun Allah tetap adalah Allah yang kekal dan manusia adalah ciptaan. Ada kesenjangan kualitas di antaranya. Dua hal dinyatakan Tuhan Yesus di sini, yaitu bersatu antara yang mengabarkan dan yang menerima; dan antara Bapa dan Anak. Kedua hal ini bukan sekadar slogan atau ide, melainkan fakta dan sasaran yang harus dituntut dan dicapai melalui penyangkalan diri. Jika opini berbeda, sulit dipersatukan; jika bermusuhan, sulit diperdamaikan. Jika antara gereja terjadi konflik kepentingan maka sulit sekali dipersatukan. Maka, bagaimanapun juga kita harus berusaha mengurangi perbedaan dan konflik demi menuju sasaran seperti yang Tuhan inginkan. Hal ini adalah hal yang sangat sulit.

Sulit untuk membuat dua orang berpikiran sama. Suami istri yang saling mencintai pun tetap memiliki perbedaan pikiran. Namun di dalam semua perbedaan, hal yang hakiki harus tetap sama. Dua prinsip kesatuan ditegaskan dalam ayat ini, yang tidak boleh dikompromikan, yaitu: 1) dalam nama Allah kita bersatu; dan 2) dalam firman yang diberikan Yesus kita bersatu. Ada orang yang beranggapan bahwa kekristenan itu seluruhnya sama. Tetapi setelah ia mulai masuk dan belajar, ia mulai melihat perbedaan-perbedaan. Ketika kita sudah mempelajari Theologi Reformed dengan baik, maka engkau mulai menyadari adanya perbedaan di antara berbagai aliran kekristenan. Dengan dikembangkannya STRI (Sekolah Theologi Reformed Injili bagi awam) di berbagai kota, maka banyak orang mulai menyadari perbedaan ini dan mulai serius belajar firman Tuhan.

Ayat 21 ini merupakan sasaran akhir, yaitu agar dunia tahu bahwa Bapa mengutus Anak. Ini adalah hal yang sangat penting, karena agama memberi kesan bahwa pendirinya adalah utusan Allah, meski tidak semua pendiri agama Timur berani mengklaim mereka diutus Allah. Yang menyatakan seperti itu hanya Yesus Kristus dan Muhammad. Muhammad mengaku utusan Allah, tetapi ketika kita pelajari, yang diwahyukan Muhammad berbeda dengan yang dinyatakan Alkitab. Di sini kita melihat hanya Yesus Kristus yang tiada henti, tanpa ragu, dan dengan kepastian mutlak menyatakan dan membuktikan, “Aku diutus Allah agar manusia tahu bahwa Engkau telah mengutus Aku.” Ini adalah kalimat kunci di mana kita bisa menguji siapa yang dari Tuhan dan siapa bukan. Dalam ayat 20 menyatakan yang memberitakan Injil adalah para rasul sementara yang menerima Injil bukan rasul; kemudian di ayat 21 diutarakan bagaimana orang Kristen harus bersatu agar dunia tahu bahwa kita memberitakan firman Kristus yang diutus Bapa. Maka, seberapa kita bisa membuat orang tahu bahwa Yesus adalah utusan Allah, maka penginjilan kita sukses.

Ada perbedaan yang serius. Kristus dari Allah, agama dari manusia. Manusia menuju ke Allah Bapa; sementara Kristus datang dari Allah Bapa. Sumbernya Allah, mandatnya memberitakan firman, dan tujuannya adalah dunia. Seperti telah dibicarakan di dalam Yohanes 16:28, ada empat kalimat yang menjadi dasar atau struktur Injil Yohanes. Kalimat “Aku berasal dari Bapa; Aku dan Bapa adalah satu” tidak bisa diucapkan oleh siapapun, termasuk Socrates, Konfusius, Muhammad, Sakyamuni, Abraham, atau Musa. Kalimat ini hanya bisa diucapkan oleh Yesus Kristus. Para pendiri agama ketika lahir di dunia, tidak ada rencana awal ataupun tujuan yang jelas untuk menegakkan suatu agama. Berbeda dengan Tuhan Yesus.

Ribuan tahun sebelum Yesus lahir, ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Allah telah berkata, “Benih perempuan akan meremukkan kepala ular.” Lalu 700 tahun sebelum Ia lahir, telah dinubuatkan, “Seorang dara akan hamil dan melahirkan seorang Anak.” Di saat hadir di dunia, Ia dengan tegas menyatakan dari mana asal-Nya, “Aku datang dari Bapa,” bukan dari Yusuf. Adam pertama dari dunia dan milik tanah; Adam kedua dari dan milik sorga. Tidak cukup hanya diselamatkan, manusia harus tahu bahwa Yesus berasal dari Bapa. Banyak orang tidak memerhatikan dengan teliti apa yang ia percayai, mengapa ia percaya dan kepada siapa ia percaya. Kita menjadi Kristen harus bertanggung jawab akan iman kita dengan teliti dan jelas, sampai jika dibunuh pun tidak akan meninggalkan iman. Kita bukan sembarangan percaya.

Jangan terjadi, ketika kita bertemu Allah dan menyatakan iman kita, Allah berkata, “Aku tidak mengutus dia, mengapa engkau percaya kepadanya? Ia memang seorang yang baik, tetapi Aku hanya mengutus Yesus. Mengapa engkau tidak percaya kepada-Nya?” Ketika itu terjadi semua sudah terlambat. Kita percaya kepada Tuhan Yesus karena Ia satu-satunya Yang diutus Allah ke dalam dunia. Dengan iman sedemikian, kerohanian kita diteguhkan. Kita bertanggung jawab kepada Allah dan manusia, bersaksi bagi-Nya, memberitakan Injil dengan jelas, agar mereka yang kita bawa pada Allah beribadah pada-Nya. Mereka dan kita bersatu, agar dunia tahu Allah telah mengutus Yesus.

Di dalam ayat 22, Tuhan Yesus menambahkan prinsip yang ketiga. Selain bersatu di dalam nama Allah dan bersatu di dalam firman, yang ketiga, kemuliaan Allah diberikan kepada Anak, dan kemuliaan Anak diberikan kepada kita. Yesus lahir di kandang hewan, menghirup bau kotoran binatang. Firman telah menjadi manusia yang tidak berhak asasi. Ia dihina, diremehkan, diejek, diolok, difitnah, diumpat, diadili secara tidak adil, dan dibunuh mati dipaku di kayu salib.

Ia manusia terhina sepanjang sejarah, namun, Ia menyatakan kemuliaan Allah yang terbesar. Bagaimana kita bisa melihat kemuliaan Allah dalam Kristus? Wajah-Nya tidak elok menurut Yesaya 53, tidak ada sesuatu lahiriah yang menarik. Ia adalah “Anak Sengsara”, Anak Manusia yang penuh dengan segala penderitaan. Ia telah menanggung dosa kita, menanggung sesah dan bilur-bilur memenuhi tubuh-Nya. Saat dipaku di kayu salib, ia ditelanjangi. Yesus telah dipermalukan sebegitu hebat. Penghinaan paling keji dan menakutkan Ia harus alami. Tetapi Ia berkata, “Bapa, muliakanlah Anak-Mu,” dan langsung ada suara, “Aku sudah memuliakan Engkau dan Aku akan memuliakan-Mu lagi.” Ini satu-satunya ayat menyatakan Yesus dimuliakan oleh Bapa. Bilakah itu?

Di sekitar tahun 1940-an, satu seminari di Shanghai tidak memiliki uang untuk membeli peti mati bagi rektor mereka yang meninggal. Mereka harus meminjam uang pada seorang Kristen, namun segera melunasinya. Beberapa tahun kemudian, rektor selanjutnya mengatakan bahwa meskipun mereka miskin, mereka tidak malu saat mengebumikan rektor pertama, karena mereka bersih, tidak korupsi, dan sudah melunasi hutang. Melalui hal ini, mereka membuktikan bahwa mereka bersandar kepada Tuhan. Mereka banyak menghasilkan hamba Tuhan yang baik. Tetapi para pendeta gereja yang tidak bertanggung jawab, justru memakai jas mahal, pakai cara yang tidak beres melayani Tuhan, sehingga sangat memalukan nama Tuhan. Kita terlalu naif jika menganggap semua agama sama, semua aliran sama, semua pendeta sama. Banyak pendeta yang masih berdagang. Saya menghormati mereka yang melepaskan semua, lalu dengan tangan hampa datang kepada Tuhan dan berkata, “Tuhan, saya mengikut Engkau,” lalu hidup melayani dengan sungguh-sungguh. Saya pernah berjanji kepada Tuhan, ketika saya tua, saya ingin semua pendeta yang melayani di gereja saya punya rumah atau apartemen kecil. Ada pendeta yang punya tabungan ratusan juta, tetapi ada pendeta yang sama sekali tidak punya tabungan. Kita harus menghargai pendeta yang sungguh-sungguh melayani Tuhan dan bukan mencari uang. Kemuliaan bukan dinilai dari luar, tetapi dari bagaimana menaati rencana Allah, hidup suci, dan memaparkan keadilan Allah. Inilah kemuliaan.

Kemuliaan Yesus sama dengan kemuliaan Bapa, yaitu kemuliaan rohani. Kiranya di dalam diri setiap kita boleh ada kemuliaan yang Bapa berikan kepada Yesus, di mana kemuliaan itu bisa dilihat oleh semua orang yang ada di sekitar kita. Amin.

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/kaum-pilihan-penilaian-diri-prinsip-kesatuan?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+BuletinPillar+%28Buletin+PILLAR+RSS%29#hal-1