Mendengar komentar masyarakat melalui radio (sepanjang perjalanan saya dari Karawang menuju kantor yang ada di Bekasi, dan sebaliknya) terkait rencana pemerintah untuk mewajibkan penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam setiap transaksi yang bersifat mewah sungguh sangat beragam, walau kebanyakan menolak kebijaksanaan tersebut namun ada juga masyarakat yang memahami betapa pentingnya pajak bagi negara sehingga tetap mendukung kebijakan tersebut.
Walau masih sebuah wacana, namun sepertinya pemerintah akan segera mengeluarkan aturan tersebut yang akan berlaku pada tahun 2015, adalah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, bahwa berdasarkan ketentuan pada Undang- Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) untuk transaksi tertentu harus mencantumkan NPWP. “Hanya memang pelaksanaannya tidak ketat dan menyeluruh,” sehingga harapannya aturan nanti adalah untuk menegaskan kembali perlunya pencantuman NPWP itu.
Sepertinya memang tidak ada alasan lain dari pemerintah demi menggenjot penerimaan negara melalui sektor pajak terlebih di tahun 2015, adapun dalam RAPBN tahun 2015 penerimaan negara dari sektor pajak ditargetkan sebesar 1.201,7 triliun. Disamping memang data NPWP yang sudah diterbitkan sampai dengan Oktober 2014 baru sekitar 28 jutaan masih kecil dibandingkan jumlah Wajib Pajak yang diperkirakan sekitar 60 jutaan jiwa.
Peristiwa ini mengingatkan penulis ketika pelaksanaan lelang untuk jabatan Direktur Jenderal Pajak (masih sedang berjalan), para peserta lelang diwajibkan membuat makalah dengan salah satu kontennya adalah bagaimana meningkatkan penerimaan pajak jangka pendek dan jangka panjang. Dan terlalu yakin penulis salah satu dari sekian banyak ide tersebut diantaranya adalah kewajiban ber NPWP atas transaksi di atas Rp. 100 juta ini. Dasar pemikiran ini sudah lama ada di dalam benak setiap insan fiskus namun memang implementasinya yang belum pernah diterapkan. Bahkan untuk menginventarisi pemilik mobil-mobil super mewah pun institusi paling penting di republik ini tak mampu mendeteksinya dan mengetahui pemiliknya.
Kebijakan yang mirip-mirip seperti ini bukan kali ini saja, dalam memori penulis ada beberapa aturan yang sama dengan rencana kewajiban ber-NPWP seperti ini dan sebagian masih diberlakukan, diantaranya :
- Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang akan bertolak ke luar negeri wajib membayar FLN. Dalam ketentuan ini Wajib Pajak dirangsang untuk memiliki NPWP jika tidak ingin membayar Fiskal Luar Negeri yang mencapai Rp. 2.500.000,- jika menggunakan pesawat Udara. Walaupun aturan ini sudah tidak berlaku lagi (PEM-03/PJ.09/2010), namun saat itu konon katanya terdapat cukup baik pertumbuhan NPWP.
- Kewajiban penyampaian NPWP dalam permohonan Kredit, dalam SE-06/PJ.23/1995 Direktur Jenderal Pajak melalui kerjasama dengan Direksi Bank Indonesia dan meneruskan kepada semua bank di Indonesia tentang penyampaian NPWP dalam permohonan Kredit dimulai dengan plafon kredit di atas Rp. 30 Juta. Kebijakan ini kurang mendongkrak dari sisi penerimaan karena banyak pemohon yang hanya meminjam untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumeris.
- Kewajiban NPWP bagi pelanggan PLN, dalam SE-04/PJ.23/1994 Direktur Jenderal Pajak meminta untuk mencantumkan kolom NPWP pada setiap kontrak penyambungan Listrik dan mewajibkan pelanggan baru golongan rumah tangga tertentu yang berlaku sejak Maret 1994. Penulis tidak menemukan record hasil dari kebijakan tersebut baik dari sisi penerimaan maupun peningkatan jumlah NPWP.
- Kewajiban NPWP dalam rangka Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/atau Bangunan, dalam PER-35/PJ/2008 dengan motivasi mendorong kesadaran masyarakat dalam penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan sehubungan dengan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak, maka perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Kewajiban Pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam rangka Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
- Kewajiban ber-NPWP bagi kuasa Wajib Pajak, dalam PMK-22/PMK.03/2008 dijelaskan tentang persyaratan dan kewajiban seorang kuasa yaitu memiliki NPWP, hal tersebut sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP.
- Kewajiban ber-NPWP bagi Jasa Penilai Publik, dalam PMK-101/PMK.01/2014 pengganti PMK-125/PMK.01/2008 menegaskan bahwa untuk mendapatkan izin Penilai Publik dengan klasifikasi bidang jasa Penilaian Properti Sederhana, Penilai mengajukan permohonan secara tertulis kepada Sekretaris Jenderal u.p. Kepala Pusat dengan memenuhi persyaratan salah satunya adalah memiliki NPWP.
- Kewajiban ber-NPWP bagi perusahaan pembiayaan, dalam PMK-84/PMK.012/2006 dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk mendapatkan izin usaha sebagai bukti kesiapan operasional antara lain berupa NPWP.
- Dan beberapa kegiatan lainnya yang wajib memiliki NPWP seperti penimpor produk tertentu, pengimpor limbah non-bahan berbahaya dan beracun (Non B3), pengurusan izin usaha perdagangan, transaksi pembelian valuta asing kepada bank.
Pada prinsipnya Direktorat Jenderal Pajak melalui pegawai yang ada di dalamnya telah berupaya memperluas cakupan NPWP, maka hal yang vital dan tidak bisa ditawar lagi adalah keseriusan pemerintah dalam mengawal pelaksanaan dari setiap kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan demi peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak. Karena untuk sekian kalinya lagi, Direktorat Jenderal Pajak sepertinya gagal dalam memenuhi target penerimaan pajak tahun 2014. Sampai dengan hari ini (23 Desember 2014) penerimaan baru mencapai Rp. 924 triliun atau sekitar 86.18% dari target sebesar Rp. 1.072 triliun.
Dengan kewajiban ber-NPWP setiap transaksi di atas Rp. 100 juta diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak Orang Pribadi non karyawan yang sebelumnya hanya berkontribusi sekitar Rp. 4 triliun. Seperti kita ketahui, bagi pembaca setia nusahati yang sering melalui jalan tol maupun kawasan perumahan tertentu, berseliweran mobil-mobil mewah dan rumah mewah, ini membuktikan begitu banyak orang kaya di Indonesia khususnya non karyawan semisal artis, pengacara, dokter hingga pengusaha kecil dan menengah. Maka semoga yang menjadi harapan bapak Menteri dapat terealisasi… kita tunggu